Menuju konten utama

Alasan Mengapa Janji Jokowi untuk Ibu Kota Baru Tidak Realistis

Presiden Jokowi mengumbar sejumlah janji untuk ibu kota negara baru di Kalimantan Timur, mulai dari bernuansa hijau, pelayanan publik terintegrasi dengan teknologi informasi hingga bebas emisi.

Alasan Mengapa Janji Jokowi untuk Ibu Kota Baru Tidak Realistis
Presiden Joko Widodo (kiri) berbincang dengan Gubernur Kalimantan Timur Isran Noor (kanan) saat meninjau lokasi rencana ibu kota baru di Sepaku, Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur, Selasa (17/12/2019). ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay/aww.

tirto.id - Presiden Jokwi mengumbar beragam janji saat mengunjungi lokasi ibu kota negara (IKN) di Kalimantan Timur. Menurut presiden, IKN baru tidak akan seperti kota pada umumnya. IKN akan dibangun dengan konsep hijau dan terintegrasi dengan teknologi atau smart city.

“Kawasan akan menjadi hijau dan penuh oksingan, tidak ada limbah, banyak orang berjalan kaki, banyak orang naik sepeda, transportasi umum, bebas emisi. Yang ada mobil listrik,” ucap Jokowi di Balikpapan, Rabu (18/12/2019) seperti dikutip dari Antara.

Eks walikota Solo itu juga memastikan bahwa di area ibu kota baru tidak ada klaster industri. Dengan kata lain, tak ada pabrik di dekat ibu kota baru, sehingga warga tidak akan terganggu asap buangan industri.

Pihak swasta juga dijanjikan mendapat berkah dari megaproyek IKN. Jokowi berjanji akan membagi-bagikan proyek kepada swasta dalam pembangunan IKN. Presiden beralasan peran swasta cukup penting dalam memuluskan proyek IKN.

Daftar janji Jokowi untuk IKN pun masih berlanjut. Presiden menjanjikan bahwa biaya hidup dan harga kebutuhan di IKN baru akan murah. Presiden juga optimistis IKN akan mendorong pemerataan ekonomi, terutama di Indonesia timur.

Tidak Realistis

Lantas, apakah daftar janji presiden untuk ibu kota baru itu realistis?

Menurut Pengajar Ilmu Tata Kota Universitas Trisaksi Nirwono Joga, janji Jokowi untuk IKN itu tak mudah diwujudkan, terutama soal konsep tata kota. Nirwono mengaku kesimpulan tersebut diambil setelah meninjau langsung lokasi IKN.

“Konsep green dan smart city itu sulit terwujud. Terlihat dari kendala lapangan yang belum diselesaikan. Apalagi tenggat waktu pembangunan sudah makin dekat,” kata Nirwono kepada reporter Tirto, Jumat (20/12/2019).

Salah satu kendala yang dimaksud di antaranya belum adanya solusi alternatif bagi hutan dan satwa liar di sekitar lokasi IKN. Bila pembangunan masih membabat hutan, lanjut Nirwono, konsep hijau yang digaungkan Jokowi justru kontraproduktif.

Selain tata kelola, Nirwono juga ragu pada ibu kota baru bebas polusi dan emisi. Pasalnya, sudah ada empat PLTU yang berlokasi di Kalimantan Timur. Belum lagi, jumlah itu masih akan bertambah di masa mendatang.

“Nanti kan ada tujuh PLTU tambahan disana. Tentu ini menjadi ironi belaka mengejar ibu kota bebas emisi dan hanya ada kendaraan listrik yang notabene nihil BBM di ibu kota baru itu,” jelas Nirwono.

Keinginan Jokowi bebas emisi juga makin tidak mudah manakala kebakaran hutan dan lahan (karhutla) juga kerap terjadi di Pulau Kalimantan. Alhasil, keinginan udara bersih di ibu kota tentu tinggal kenangan.

Daftar janji Jokowi untuk ibu kota baru juga disorot akademisi Universitas Indonesia Fithra Faisal, terutama perihal harga dan biaya hidup yang terjangkau. Menurutnya, target itu tidak mudah dicapai lantaran sebagian besar distribusi barang dan pangan berasal dari Jawa.

Target itu juga makin tidak realistis manakala ongkos logistik di Indonesia masih terbilang tinggi. Mengutip Kompas, ongkos logistik Indonesia masih di angka 24 persen dari PDB atau lebih tinggi ketimbang Vietnam 20 persen Thailand 15 persen, atau Malaysia 13 persen.

“Ini bukan tugas mudah. Kita bisa melihat timpangnya distribusi Jawa dan luar Jawa. Sampai sekarang harga barang-barang di luar Jawa masih mahal ketimbang di Jawa,” ucap Faisal kepada reporter Tirto.

Faisal juga tak sepakat dengan rencana Jokowi yang tidak membangun klaster industri di ibu kota baru. Menurutnya, pengembangan industri di Kalimantan justru membuka kemungkinan harga barang bisa lebih terjangkau, sebagaimana di Jawa.

Tanpa pengembangan industri, lanjut Faisal, kontribusi ibu kota baru terhadap perekonomian Indonesia juga tidak akan signifikan. Target pemerataan ekonomi yang digaungkan Jokowi pun juga akan berat bila tanpa industri.

“Janji soal bagi-bagi proyek juga saya ragu bisa dirasakan swasta. Peran swasta jadi itu-itu saja. Ada yang bangun tapi itu pun ditunjuk,” ucap Faisal.

Baca juga artikel terkait PEMINDAHAN IBU KOTA atau tulisan lainnya dari Vincent Fabian Thomas

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Vincent Fabian Thomas
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Ringkang Gumiwang