Menuju konten utama

Alasan Masturbasi (Onani) Dapat Membatalkan Puasa Ramadhan

Pendapat mazhab Syafii dan Maliki: masturbasi saat berpuasa Ramadhan membatalkan puasa.

Alasan Masturbasi (Onani) Dapat Membatalkan Puasa Ramadhan
Ilustrasi pria mandi. FOTO/iStockphoto

tirto.id - Puasa pada dasarnya adalah menahan diri dari segala sesuatu yang membatalkan sejak terbit fajar (waktu subuh) hingga terbenam matahari (magrib). Berdasarkan pendapat mazhab Syafii, Hanafi, dan Maliki masturbasi atau istimna' seorang diri hukumnya dapat membatalkan puasa.

Istimna‘ atau masturbasi didefinisikan sebagai mengeluarkan sperma (mani) tanpa melalui hubungan badan, baik dilakukan oleh laki-laki maupun perempuan, dengan tujuan memenuhi hasrat seksual. Masturbasi ini dapat dilakukan dengan tangan, anggota tubuh, atau benda tertentu.

Dalam puasa sendiri, berdasarkan Matnu Abu Syuja' oleh Syekh Abu Syuja' terdapat 10 hal yang membatalkan puasa, yaitu masuknya sesuatu ke rongga bagian dalam tubuh (jauf) atau kepala, masuknya sesuatu melalui qubul (saluran kelamin pria/wanita) atau dubur, sengaja muntah, sengaja berhubungan badan, mani keluar karena sentuhan kulit, haid, nifas, gila, pingsan sepanjang hari selama puasa, dan murtad.

Melihat rincian dalam kitab tersebut, istimna' dapat dikategorikan sebagai mani keluar karena sentuhan kulit, yang berarti, membatalkan puasa.

Hukum Masturbasi

Istimna' dapat dibedakan menjadi dua kategori berdasarkan pelakunya, yaitu istimna' oleh suami-istri dan istimna' sendirian. Mayoritas ulama tidak mempermasalahkan istimna‘ jika dilakukan beserta pasangan yang sah secara hukum. Ini dengan catatan, tidak ada perkara yang menghalangi, seperti puasa, haid, nifas, iktikaf, atau ibadah haji.

Dasarnya adalah, pasangan adalah tempatnya bersenang-senang dan menyalurkan kebutuhan seksual yang dibenarkan syariat.

Akan tetapi, jika istimna‘ dilakukan sendirian, baik oleh perempuan maupun laki-laki, terjadi perdebatan apakah itu makruh atau haram. Ulama Mazhab Maliki dan Syafi'i berpendapat, istimna' jenis ini haram.

Sementara itu, mazhab Hanafi mempertimbangkan kondisi. Pada dasarnya, istimna' sendirian haram jika hanya untuk mengumbar syahwat. Namun, jika dikhawatirkan terjadi zina, maka diperbolehkan. Pendapat mazhab Hambali sejalan dengan mazhab Hanafi. Dengan demikian, hukum makruh tersebut dalam kondisi "darurat".

Puasa Sebagai Perisai

Puasa pada dasarnya adalah perisai perlindungan bagi seorang muslim. Dengan berpuasa, ia dapat mengendalikan syahwatnya. Atas dasar itulah, Nabi Muhammad menganjurkan agar pemuda, yang identik dengan syahwat menggebu-gebu, untuk berpuasa. Dengan cara demikian, keinginan yang berkaitan dengan hasrat seksual bisa diminimalisasi.

Nabi bersabda, "Wahai para pemuda, siapa saja di antara kalian yang sudah mampu ba’at (menikah), maka menikahlah! Sebab, menikah itu lebih mampu menjaga pandangan dan memelihara kemaluan. Namun, siapa saja yang tidak mampu, maka sebaiknya ia berpuasa. Sebab, berpuasa adalah penekan nafsu syahwat baginya," (H.R. Muslim).

Dari sudut pandang ini, dapat diperhatikan bahwa puasa digunakan untuk menekan nafsu syahwat. Oleh karenanya, jika ada seseorang yang kemudian istimna' pada saat berpuasa, layak dipertanyakan, apa fungsi puasa baginya.

Dikutip dari NU Online, lebih jauh disebutkan dalam al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah, disebutkan, "Onani dengan menggunakan tangan dapat membatalkan puasa menurut Malikiyah, Syafi’iyah, Hanabilah, dan mayoritas ulama Hanafiyah, sebab bersenggama tanpa mengeluarkan mani saja dihukumi batal, apalagi mengeluarkan mani dengan adanya syahwat."

Istimna' ketika berpuasa, dapat dibedakan menjadi dua kategori berdasarkan niat mengeluarkan mani dan proses melakukannya. Kedua kategori itu sama-sama membatalkan puasa.

Pertama, jika seseorang yang berpuasa sengaja/berniat mengeluarkan mani. Misalnya, tidak bisa menahan diri dan ingin merasakan nikmatnya masturbasi dengan cara tertentu (misalnya menggosok/meremas kelamin, menonton gambar/video porno, melamun yang jorok) sehingga merangsang dan menyebabkan keluar air mani, maka hukumnya adalah membatalkan puasa.

Kedua, jika seseorang yang berpuasa tidak berniat mengeluarkan mani, tetapi mani keluar karena sentuhan atau kontak langsung antara kulit sebagai indera perasa dengan sesuatu, seperti mencium, menggenggam tangan, alat kelamin menempel pada sesuatu hingga keluar air mani. Hukumnya, tetap membatalkan puasa.

Pendapat Syaikh Nawawi dalam Nihayatuz Zain, "Jika tidak ada niat mengeluarkan air mani, tetapi keluar karena adanya persentuhan atau kontak langsung antara kulit sebagai indera perasa dengan suatu barang. Semisal mencium, menggenggam tangan atau alat kelamin menempel pada sesuatu hingga kelar air mani, maka hal itu membatalkan puasa."

Baca juga artikel terkait RAMADAN 2020 atau tulisan lainnya dari Beni Jo

Kontributor: Beni Jo
Penulis: Beni Jo
Editor: Fitra Firdaus