Menuju konten utama

Alasan Kenapa Polisi Harus Hentikan Laporan Dewi Tanjung Soal Novel

Alasan kenapa polisi harus tolak laporan Dewi Tanjung karena secara tak langsung ia menuduh aparat, Komnas HAM, dan Jokowi tidak bekerja berdasarkan fakta hukum dalam kasus Novel.

Alasan Kenapa Polisi Harus Hentikan Laporan Dewi Tanjung Soal Novel
Penyidik KPK Novel Baswedan berdiri di samping layar yang menampilkan hitung maju waktu sejak penyerangan terhadap dirinya saat diluncurkan di gedung KPK, Selasa (11/12/2018). ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A/ama.

tirto.id - Dewi Ambarwati atau akrab disapa Dewi Tanjung melaporkan penyidik KPK Novel Baswedan ke Polda Metro Jaya terkait penyebaran berita bohong soal sakit yang diderita. Dewi melaporkan itu karena “menuding” kejadian penyiraman air keras ke Novel hanya rekayasa belaka.

Politikus PDIP itu berdalih, beberapa hal yang janggal dari penyiraman air keras Novel, antara lain dari hasil rekaman CCTV, bentuk luka, kepala yang diperban, tapi malah mata Novel yang buta.

Seharusnya, kata Dewi, saat disiram air keras, kulit wajah Novel juga ikut terluka, tidak hanya matanya saja. Lalu, ketika berada di rumah sakit, Dewi juga mencurigai Novel. Sebab, hanya wajahnya saja yang diperban, tetapi matanya tidak. Bahkan ia menduga mata kiri Novel menggunakan softlens.

“Faktanya kulit Novel, kan, enggak apa-apa, hanya matanya. Yang lucunya kenapa hanya matanya, sedangkan kelopaknya, ini [sekitar mata] semua tidak [rusak]," kata Dewi di Polda Metro Jaya, Jakarta Selatan, Rabu (6/11/2019).

Selain itu, Dewi juga meragukan hasil rekam medis Novel Baswedan selama dirawat di Singapura. Sehingga ia meminta kepada tim dokter independen dari Indonesia ikut mengecek Novel.

Saat melapor ke Polda Metro Jaya, Dewi membawa bukti berupa rekaman video Novel saat berada di rumah sakit di Singapura, rekaman kejadian penyiraman, rekaman saat Novel keluar dari rumah sakit, hingga foto-foto Novel yang diperban di bagian kepala dan hidung.

Laporan polisi itu tertuang dalam berkas nomor LP/7171/XI/2019/PMJ/Dit. Krimsus. Dewi melaporkan Novel dengan Pasal 26 ayat (2) junto Pasal 45 A Ayat (2) UU RI nomor 19 tahun 2016 tentang ITE dan atau Pasal 14 A ayat 1 UU RI nomor 1 tahun 1946 tentang peraturan hukum pidana.

Tak hanya Novel, Dewi juga pernah melaporkan sejumlah politikus di Indonesia. Di antaranya politikus PAN Eggi Sudjana, Amien Rais, Rizieq Shihab hingga Bachtiar Nasir atas tuduhana makar dan people power.

Polisi Harus Hentikan Laporan

Pengamat kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies (ISeSS) Bambang Rukminto mengatakan seharusnya polisi menghentikan laporan terkait tudingan terhadap Novel. Sebab, ia menilai tudingan itu hanya opini dan tidak disertai dengan bukti-bukti yang kuat.

Selain itu, kata Bambang, juga mencoreng nama baik Polri yang sudah berusaha mengungkap kasus Novel Baswedan selama dua tahun lebih. Apalagi tim pencari fakta yang dibentuk Tito Karnavian saat menjabat Kapolri sudah bekerja untuk mengusut kasus itu.

Seharusnya, kata Bambang, polisi menyaring terlebih dahulu laporan yang layak dilanjutkan atau tidak.

“Kalau ditindaklanjuti itu akan jadi preseden buruk, semua orang bisa melaporkan pada polisi hanya berdasar asumsi. Kacau nanti, semua orang yang tak disenangi, akan dilaporkan," kata dia kepada reporter Tirto, Jumat (8/11/2019).

Bambang juga mengatakan, jika laporan Dewi Tanjung maupun aduan yang serupa lolos di tahap awal, maka ia menyangkan karena hanya akan membuang-buang anggaran saja.

"Saya masih optimis, Polri masih menjunjung profesionalisme dan memegang teguh Catur Prasetya dan Tridharma," kata Bambang.

Hal senada diungkapkan Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati. Ia mengatakan seharusnya polisi dapat menghentikan laporan Dewi Tanjung soal Novel dan tidak melanjutkan proses hukumnya.

"Pertama secara kasat mata dan pengetahuan polisi, sudah ketahuan laporannya enggak berdasar,” kata perempuan yang akrab disapa Asfin ini saat dihubungi reporter Tirto.

Asfin menilai, jika polisi terus menerus menerima laporan pasal karet, seperti Dewi Tanjung itu, maka dampaknya polisi akan menjadi alat politik. Bahkan lebih jauh lagi, proses penegakan hukum akan kehilangan kepercayaan dan kewibawaan.

“Nanti ada proses hukum yang benar, tapi masyarakat sudah keburu tidak percaya. Ini sangat berbahaya di negara hukum," kata Asfin menegaskan.

Apalagi, kata Asfin, melihat latar belakang Dewi sebagai pemain sinetron yang memiliki rekam jejak sering melaporkan orang ke polisi. Asfin menilai, Dewi melaporkan sejumlah tokoh itu hanya untuk “panjat sosial” saja.

“Seharusnya partai [PDIP] kasih peringatan ke dia, bikin malu. Kan setiap partai punya kode etik, bikin citra buruk bagi parpol,” kata Asfin.

Asfin pun merasa heran dengan aparat yang justru menerima laporan politikus PDIP itu .Sementara, masyarakat yang selama ini YLBHI dampingi, kata Asfin, laporannya justru selalu dipersulit.

“Ada yang akhirnya di terima setelah berjam-jam berdebat dan ada juga yang tidak diterima,” kata Asfin.

Dalih Polda Metro Jaya

Polda Metro Jaya berdalih pada prinsipnya, semua orang berhak untuk melaporkan kepada pihak kepolisian selama disertai bukti.

"Ya tentunya laporan itu didukung dengan data," kata Kombes Pol Argo Yuwono saat masih menjadi Kabid Humas Polda Metro Jaya, di Kantornya, Jakarta Selatan, Kamis (7/11/2019).

Argo menerangkan, setiap orang yang hendak melaporkan suatu kasus tindak pidana, selain harus melampirkan barang bukti, juga konsultasi dengan anggota di bagian Sentra Pelayanan Kepolisian Terpadu (SPKT).

“Tentunya harus ada pendukung [barang bukti dan data] yang dibuat, yang dibawa, baru nanti dilaporkan ke Polda atau ke Polres. Tentunya nanti di sana ada tempat konsultasi, dikonsultasikan dulu," ucap Argo.

Setelah itu, kata Argo, polisi nanti akan pelajari laporan yang masuk sesuai Standar Operasional Prosedur (SOP) Kepolisian.

Setelah pelapor, terlapor, dan saksi ahli dimintai keterangan, maka polisi akan menentukan apakah laporan itu memenuhi unsur pidana atau tidak. Polda akan menaikkan status kasus tersebut ke tingkat penyidikan.

“Tapi kalau tidak memenuhi unsur pidana perkara tersebut, nanti kami hentikan. Kita tunggu saja nanti seperti apa nanti penyidik yang akan melakukannya,” kata pria yang saat ini menjabat sebagai Karopenmas Divisi Humas Mabes Polri.

Respons PDIP dan Kuasa Hukum Novel

Anggota Komisi III DPR RI dari Fraksi PDIP Masinton Pasaribu menolak bila laporan Dewi Tanjung terhadap Novel dianggap sebagai sikap partai.

Masinton menjelaskan, laporan Dewi ke Polda Metro Jaya yang menuding Novel melakukan rekayasa kasus penyiraman air keras itu murni sikap pribadi Dewi.

"Terkait Dewi Tanjung tidak ada kaitan dengan PDIP. Itu tindakan dia sendiri. Bahwa dia pernah sebagai caleg [PDIP] iya, tapi dia tidak [mewakili partai], bukan sikap partai,” kata Masinton kepada wartawan, Jumat (8/11/2019).

Meski begitu, Masinton juga tak menyalahkan Dewi yang telah menuding Novel merekayasa kasusnya itu. Menurut Masinton, tudingan Dewi itu murni sebagai sebuah opini yang disampaikan di media sosial, sehingga ia pun tak bisa menyalahkan Dewi atas tudingannya itu.

"Kan dirawat di RS, kalau ada yang bilang direkayasa, ya saya enggak tahu, enggak beropini saya. Itu [tudingan rekayasa] kan di sosmed, di sosmed siapa saja bisa beropini," kata Masinton.

Sementara itu, Muhammad Isnur, kuasa hukum Novel Baswedan mengatakan, tindakan Dewi Tanjung sudah di luar nalar dan batas kemanusiaan. Ia menyebut, laporan Dewi soal Novel ke Polda Meto Jaya sangat “ngawur.”

“Ini tindakan yang sudah mengarah pada fitnah dan merupakan tindakan di luar nalar dan rasa kemanusiaan," kata Isnur.

Penyerangan itu, kata Isnur, mengakibatkan Novel mengalami kebutaan jelas dan telah terbukti sebagai fakta hukum. Hal tersebut sudah diverifikasi melalui pemeriksaan medis maupun penyelidikan dan penyidikan aparat.

Tidak hanya itu, kasus ini juga diselidiki Komnas HAM dan direspons oleh Presiden Jokowi dengan perintah menuntaskan pengungkapan kasus ini, meski sampai 2,5 tahun kasus ini belum berhasil diungkap.

“Secara tidak langsung pelapor sebenarnya telah menuduh bahwa kepolisian, Komnas HAM termasuk Presiden Jokowi tidak bekerja berdasarkan fakta hukum benar. Oleh karena itu, semestinya kepolisian tidak memproses laporan ini lebih lanjut," tambah Isnur.

Isnur mengatakan, laporan itu adalah bentuk kriminalisasi dan serangan terhadap korban seperti halnya serangan yang selama ini diterima Novel di media sosial menggunakan pendengung (buzzer), pernyataan-pernyataan politikus, tokoh ormas, dan orang-orang yang tidak suka dengan KPK.

“Tim Advokasi Novel Baswedan meminta kepolisian untuk tidak melanjutkan proses hukum terhadap laporan yang diajukan oleh politikus PDIP, kami juga akan mengambil langkah hukum, baik perdata maupun pidana terkait dengan fitnah yang ditujukan kepada Novel Baswedan,” tambah Isnur.

Selanjutnya, kata Isnur, tim advokasi juga mendesak Presiden Jokowi segera menuntaskan pengungkapan kasus Novel dengan membentuk tim independen yang bertanggung jawab secara langsung kepada presiden.

Baca juga artikel terkait KASUS NOVEL BASWEDAN atau tulisan lainnya dari Riyan Setiawan

tirto.id - Hukum
Reporter: Riyan Setiawan
Penulis: Riyan Setiawan
Editor: Abdul Aziz