Menuju konten utama

Alasan Kenapa Larangan Perayaan Valentine di Sekolah Tak Mendidik

Pengamat pendidikan Itje Chodijah menilai remaja saat ini mesti diberi pemahaman yang memuaskan, bukan sekadar melarang perayaan valentine.

Alasan Kenapa Larangan Perayaan Valentine di Sekolah Tak Mendidik
Perajin menyelesaikan pesanan buket bunga di Desa Bareng, Kabupaten Jombang, Jawa Timur, Selasa (11/2/2020).ANTARA FOTO/Syaiful Arif/foc.

tirto.id - Valentine Day yang diperingati tiap 14 Februari menjadi salah satu tanggal yang ditunggu Soraya (16 tahun) dan pelajar SMAN 6 Jakarta lainnya. Pasalnya OSIS sekolah di kawasan Kebayoran Baru itu akan menggelar perayaan bertajuk “Menfess Day”.

Pada perayaan itu, pengurus OSIS akan berkeliling ke kelas-kelas membawa kotak. Murid-murid akan memasukkan surat, bunga, cokelat, atau hadiah apa pun ke dalam kotak tersebut. Biasanya ini dilakukan pada jam istirahat pertama sehingga tak mengganggu jam pelajaran.

Saat jam istirahat kedua atau sepulang sekolah, hadiah yang dikumpulkan tadi akan diserahkan kepada orang dituju. Biasanya kemeriahan membuncah pada sesi ini. Soraya mengaku ajang ini tak cuma dilakukan mereka yang memiliki hubungan romantis, tetapi juga kepada sahabat.

"Banyak banget yang nungguin acara menfess day OSIS tahun ini," kata Soraya kepada reporter Tirto pada Kamis (13/2/2020).

Siska (20 tahun) pun punya kenangan serupa saat masa SMA. Sama seperti Soraya, di sekolahnya yang berlokasi di Serpong, Tangerang Selatan, hari kasih sayang juga dirayakan, biasanya berbarengan dengan perayaan Imlek.

Selain kepada sesama siswa, hadiah juga sering diberikan kepada guru. Pengurus OSIS juga menjadikan perayaan “Valentine Day” sebagai ajang berjualan cokelat dan bunga. Keuntungannya digunakan sebagai kas untuk membiayai kegiatan.

"Yang muslim ada dan mereka enjoy-enjoy saja, gurunya juga yang muslim enjoy-enjoy aja, intinya semua happy sih," kata Siska.

Akan tetapi, keseruan itu tampaknya tak bisa dirasakan siswa di Kota Bandung, Kota Depok, dan Kota Bekasi. Sebab, dinas pendidikan di tiga kota itu kompak mengeluarkan surat imbauan yang melarang perayaan hari valentine di sekolah atau di luar sekolah.

Untuk Kota Bandung, surat itu dibuat pada 10 Februari 2020, diberi nomor surat 420/1014-Disdik dan disebut bersifat penting.

“Agar menjadi hal yang mendapatkan perhatian serius untuk disampaikan ke siswa atau orangtua," ujar Sekretaris Dinas Pendidikan Kota Bandung Cucu Saputra kepada reporter Tirto, Rabu (12/2/2020).

Cucu menilai edukasi untuk melarang perayaan tersebut sudah mendesak. Pasalnya, banyak anak sekolah yang ikut merayakan tanpa mengetahui apa itu perayaan valentine.

"Pertama, ketika itu ditempatkan dalam perspektif pendidikan, Valentine Day itu entah dari mana dan dari negara entah berantah mana, enggak jelas," kata Cucu.

Ia menambahkan, “dari perspektif sosial, budaya, agama, yang ada di kita pun itu tidak menempatkan hari kasih sayang.”

Tak Penting dan Tak Mendidik

Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) Ubaid Matraji menilai imbauan itu tidak penting. Sebabnya sederhana, pelarangan perayaan hari valentine tidak memengaruhi kualitas pendidikan di wilayah tersebut.

Menurut Ubaid, banyak hal yang lebih urgen yang mesti ditangani dinas, misalnya pemerataan kualitas sekolah di tengah sistem zonasi.

“Ini potret dinas yang gagal melihat yang penting dan mana yang tidak penting," kata Ubaid saat dihubungi reporter Tirto, pada Kamis (13/2/2020).

Ubaid juga beranggapan bahwa tugas pendidikan ialah membuka cakrawala murid. Karenanya, yang harus dilakukan pendidik adalah berdiskusi dan memberi pemahaman sehingga murid mampu berpikir kritis sebelum mengambil keputusan.

Terkait hari valentine, kata Ubaid, mestinya dinas mendorong guru untuk berdiskusi dengan murid tentang sejarah perayaan tersebut, filosofi kasih sayang, dan konteks sosial budaya di Indonesia.

"Dinas-dinas itu harus ditegur, supaya tidak lagi mengurusi yang tidak urgent dan tidak penting, apalagi tidak terkait dengan pembelajaran di sekolah dan peningkatan mutu sekolah," ujar dia.

Pendapat senada disampaikan pengamat pendidikan Itje Chodijah. Ia menilai remaja saat ini mesti diberi pemahaman yang memuaskan, bukan sekadar melarang. Umumnya yang terjadi, remaja justru ogah peduli dengan larangan yang tak beralasan.

Selain itu, Itje juga mempertanyakan bagaimana dinas akan melakukan pengawasan sebab mustahil guru mengawasi aktivitas murid di luar sekolah. Karena itu, kata dia, imbauan tersebut ia rasa tak berguna dan tidak dilandasi pada cara berpikir yang kritis.

"Imbauan anak-anak untuk berpikir kritis itu harus dimulai para birokrat yang bepikir kritis," kata Itje.

Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Retno Listyarti menyadari pelarangan perayaan hari kasih sayang dilandasi kekhawatiran akan pergaulan bebas. Namun tetap saja, pelarangan bukan solusi yang benar.

Mantan kepala sekolah SMAN 3 Jakarta itu mengatakan, orang tua dan sekolah mestinya menyelenggarakan pendidikan seks terhadap remaja, dan dinas mestinya mendorong hal itu.

“Sebenarnya seks edukasi seperti itu yang harus ditanamkan, bukan anak ditakut-takutin, tapi dididik,” kata dia.

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan enggan berkomentar banyak mengenai hal ini. Plt Direktur Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini dan Pendidikan Dasar Menengah (Dirjen PAUD Dikdasmen) Harris Iskandar mengaku memang banyak menemukan adanya surat edaran yang "nyeleneh”. Ia menilai itu bagian dari dinamika di daerah.

Namun, kata Harris, Kemendikbud tidak bisa melakukan intervensi atas hal itu, sebab dinas pendidikan di daerah berada di bawah wewenang pemerintah daerah, bukan Kemendikbud.

“Kami tidak ada, itu kan kewenangan mereka A sampai Z. Kebijakan kami, kan, di standar, di kurikulum" kata Harris.

“Tanyain saja kepada dinasnya,” kata Harris menambahkan.

Baca juga artikel terkait HARI VALENTINE atau tulisan lainnya dari Mohammad Bernie

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Mohammad Bernie
Penulis: Mohammad Bernie
Editor: Abdul Aziz