Menuju konten utama

Alasan ICW Tak Setuju Hukuman Mati untuk Koruptor

Peneliti Indonesia Corruption Watch Kurnia Ramadhana berpendapat hukuman mati bukan merupakan jenis pemidanaan yang ideal bagi pelaku korupsi.

Alasan ICW Tak Setuju Hukuman Mati untuk Koruptor
Terdakwa Komisaris Utama PT Trada Alam Minera Tbk (TRAM) Heru Hidayat berjalan saat mengikuti sidang lanjutan kasus korupsi pengelolaan keuangan dan dana investasi PT Asuransi Jiwasraya di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Senin (7/9/2020). ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat/wsj.

tirto.id - Tuntutan hukuman mati terhadap terdakwa perkara korupsi PT Asabri, Heru Hidayat, menuai kontroversi.

Sebab, JPU tidak mencantumkan Pasal 2 ayat (2) dalam dakwaan Komisaris Utama PT Trada Alam Minera itu. Heru sebelumnya telah divonis penjara seumur hidup dalam kasus rasuah Jiwasraya.

Kejaksaan menuntut mati Heru Hidayat karena melanggar dakwaan ke-1 primer yaitu Pasal 2 ayat (1) juncto Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, dan dakwaan kedua primer yakni Pasal 3 UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.

Atas keputusan tersebut, peneliti Indonesia Corruption Watch Kurnia Ramadhana berpendapat hukuman mati bukan merupakan jenis pemidanaan yang ideal bagi pelaku korupsi.

Sebab, hingga saat ini belum ada literatur ilmiah yang bisa membuktikan bahwa hukuman mati dapat menurunkan angka korupsi di suatu negara. Justru negara-negara yang menempati posisi puncak dalam Indeks Persepsi Korupsi atau dianggap paling bersih dari praktik korupsi tidak memberlakukan hukuman mati.

"Bagi ICW, hukuman ideal bagi pelaku korupsi adalah kombinasi antara pemenjaraan badan dengan perampasan aset hasil kejahatan atau sederhananya dapat diartikan pemiskinan. Sayangnya, dua jenis hukuman itu masih gagal diterapkan maksimal," kata Kurnia, dalam keterangan tertulis, Rabu (8/12/2021).

Dalam catatan ICW, rata-rata hukuman koruptor hanya 3 tahun 1 bulan penjara. Begitu pula pemulihan kerugian keuangan negara yang sangat rendah.

Ia mengaku pihaknya cukup kaget dengan sikap Jaksa Agung. "Kenapa perkara-perkara seperti Jiwasraya dan Asabri tuntutannya sangat tinggi, sedangkan terhadap Pinangki yang notabene berprofesi sebagai penegak hukum, melakukan banyak kejahatan, dan bekerjasama dengan buronan, malah sangat rendah?" sambung dia.

Masalah lainnya, perbaikan mendasar untuk menunjang kerja penegak hukum agar bisa menghukum maksimal pelaku korupsi juga enggan ditindaklanjuti oleh pemerintah dan DPR.

Misalnya, RUU Perampasan Aset dan Revisi UU Tipikor. Dua regulasi tersebut selalu menjadi tunggakan, bahkan dalam perkembangan terbaru, hal itu juga tidak dimasukkan dalam daftar Prolegnas Prioritas 2022.

Selain menghukum pidana mati, Heru juga dituntut membayar uang pengganti Rp12.643.400.946.226, dengan ketentuan apabila terdakwa tidak membayar uang pengganti paling lama 1 bulan setelah putusan pengadilan memperoleh hukum tetap, maka harta bendanya dapat disita oleh jaksa untuk menutupi uang pengganti. Kresna Hutauruk, kuasa hukum Heru Hidayat, mengkritik tuntutan jaksa.

“Tuntutan mati jelas adalah tuntutan yang berlebihan dan menyalahi aturan, sebab hukuman mati dalam UU Tipikor diatur dalam Pasal 2 ayat (2). Sedangkan dalam dakwaan Heru Hidayat, JPU tidak menyertakan Pasal 2 ayat (2) UU Tipikor,” kata Kresna, Selasa (7/12/2021).

Kresna mengingatkan, kliennya didakwa dengan Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor serta Pasal 3 dan Pasal 4 UU TPPU. Tuntutan di luar dakwaan jelas tidak sesuai aturan, berlebihan, dan diluar wewenang jaksa penuntut.

Baca juga artikel terkait HERU HIDAYAT atau tulisan lainnya dari Adi Briantika

tirto.id - Hukum
Reporter: Adi Briantika
Penulis: Adi Briantika
Editor: Nur Hidayah Perwitasari