Menuju konten utama

Alasan DPR Ingin Mempidanakan Asusila dan LGBT Lewat KUHP

DPR berencana memperluas delik tindak pidana asusila dengan dalil moral dan agama.

Alasan DPR Ingin Mempidanakan Asusila dan LGBT Lewat KUHP
Suasana Rapat Paripurna ke-14 di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (11/12/2017). ANTARA FOTO/Wahyu Putro A

tirto.id - Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) melalui Panitia Kerja Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) berencana memperluas delik tentang tindak pidana asusila seperti "kumpul kebo" dan LGBT. Disebut "perluasan" karena dua hal itu sebenarnya telah ada dalam KUHP. Pembahasan soal ini rencananya diselenggarakan dalam sidang setelah reses pada Januari mendatang.

Peraturan mengenai kumpul kebo sudah ada dalam Pasal 284 KUHP. Aturan itu mengatur sanksi bagi pria atau perempuan sudah menikah namun berhubungan badan dengan yang bukan pasangannya.

Sementara aturan soal LGBT terdapat dalam Pasal 292 KUHP. Di sana tertulis, "Orang dewasa yang melakukan perbuatan cabul dengan orang lain yang sama jenis kelaminnya, dengan dia yang diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya belum dewasa, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun."

Dengan memperluas delik tersebut, aturan pemidanaan terhadap pelakunya dianggap bisa lebih jelas.

Anggota Komisi III DPR Fraksi Partai Keadilan Sejahtera Muhammad Nasir Djamil mengatakan perluasan delik diusulkan karena selama ini aturan yang ada kurang memberi efek jera bagi pelaku. LGBT dan “kumpul kebo”, katanya, "mengangkangi" ajaran agama.

"Mana ada agama memperbolehkan perbuatan itu," kata Nasir kepada Tirto, Selasa (19/12) kemarin.

Ia berpendapat “kumpul kebo” dan LGBT bukanlah budaya "orang timur", melainkan berasal dari "orang barat"--masyarakat Eropa dan Amerika. Karena dua perbuatan itu "produk impor", maka jika aturan tentangnya tidak diperketat, maka "budaya Indonesia akan rusak".

Mengenai kelompok yang tidak sepakat dengan landasan Hak Asasi Manusia (HAM), Nasir menganggap pandangan tersebut keliru. Katanya, baik “kumpul kebo” dan LGBT tidak perlu dikaji dengan perspektif HAM karena pelakunya jelas-jelas "abnormal dan perlu diobati."

"Bukan malah dikasih panggung atas nama HAM," katanya.

Nasir merupakan anggota dewan yang cukup sering berkomentar soal LGBT. Tahun lalu, misalnya, ia mengatakan LGBT merupakan "ancaman serius bagi bangsa". Ia mengatakan bahwa kelompok LGBT tidak boleh diberi ruang. "Apalagi komunitas LGBT disinyalir masuk ke kampus-kampus," katanya.

Terlalu jauh mengurusi ruang privat warga

Peneliti Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan (LeIP) Arsil mengatakan dengan memperluas delik terhadap “kumpul kebo” dan LGBT sama saja membuka ruang bagi aksi-aksi persekusi lebih luas.

"Ini memberikan legitimasi untuk melakukan hal tersebut [persekusi] lagi," ujar Arsil kepada Tirto.

Selain itu, menurutnya, perluasan delik “kumpul kebo” dan LGBT bukti bahwa pemerintah terlalu jauh mengurusi persoalan privat warga negara. Pemerintah, katanya, tidak perlu mengurus itu, apalagi sampai memidanakan mereka yang melakukan perbuatan tersebut.

"Apakah 'bagaimana warga negara akan menggunakan anggota tubuhnya sendiri' perlu diatur-atur negara? Negara boleh saja tidak mengakui perkawinan sesama jenis, namun tidak bisa memidana orang yang memiliki orientasi seks berbeda," katanya.

Kalau DPR ngotot memperluas delik LGBT dan “kumpul kebo”, kata Arsil, sebaiknya mereka juga memidanakan orang-orang yang masturbasi karena juga menyalahi nilai agama.

"Tidak semua perbuatan yang menurut agama dan moral tidak baik itu dapat dan perlu dipidana. Kalau iya, ya, sekalian saja pidanakan [pelaku] masturbasi," katanya.

Alasan-alasan Arsil yang menolak perluasan delik disanggah Wakil Ketua Komisi III DPR RI Desmond J Mahesa. Soal ketakutan terhadap meningkatnya persekusi, misalnya, menurut Desmond hal tersebut mengada-ada.

"Jangan melihat persekusi itu sesuatu yang luar biasa," katanya.

Desmond berada "satu gerbong" dengan Nasir. Menurutnya perluasan delik LGBT dan “kumpul kebo” harus terealisasikan karena itu adalah bentuk nyata norma yang selama ini berlaku di masyarakat.

"Norma, kan, bicara sesuatu yang normatif, norma yang harus dikonkretkan oleh langkah hukum. Nah, tinggal bagaimana ke depan merumuskan secara baik," kata Desmond.

Polemik Atas Putusan MK

Wacana perluasan delik tindak asusila ini tidak terlepas dari keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menolak permohonan Aliansi Cinta Keluarga Indonesia (AILA) dan sejumlah pihak lain untuk merevisi pasal terkait kesusilaan dalam KUHP, yaitu Pasal 284, 285, dan 292. AILa ingin MK memperluas subjek yang dijerat dalam pasal-pasal tersebut.

Untuk pasal 284, AILA meminta bukan hanya orang yang sudah menikah saja yang dijerat pasal ini, tetapi mereka yang berstatus belum menikah.

Untuk pasal 285 yang berkaitan dengan perkosaan, pihak pemohon mengajukan perluasan konteks untuk sesama jenis serta perkosaan yang dilakukan perempuan terhadap laki-laki.

Sementara Pasal 292 yang mengatur soal pencabulan orang dewasa ke anak-anak sesama jenis, pemohon mengusulkan MK menghilangkan batasan umur, sehingga siapa pun yang melakukan persetubuhan sesama jenis bisa dipidanakan.

Majelis berpendapat pasal-pasal yang diajukan untuk judicial review tidak bertentangan dengan konstitusi. Kalau pun pihak pemohon ingin pelaku diperkarakan, semestinya mereka usul ke legislatif.

MK menolak mengabulkan permohonan karena itu sama saja dengan membuat aturan baru, sementara kewenangan mereka bukan itu. Hanya DPR yang bisa melakukannya.

Menanggapi putusan ini Majelis Ulama Indonesia (MUI) merasa heran. Wakil Ketua Sekretaris Jenderal MUI Muhammad Zaitun Rasmin mempertanyakan putusan itu mengingat mayoritas warga Indonesia beragama. "Kita prihatin dan berharap ada sesuatu ke depan ini bagaimana caranya ditinjau," katanya.

Sebelum itu, pada Februari 2016, MUI juga menyerukan pemidanaan aktivitas LGBT di Indonesia. Mereka menganggap hal tersebut sebagai kejahatan. MUI juga turut mendorong pemerintah untuk menolak masuknya dana dari luar negeri yang mendukung kampanye dan sosialisasi LGBT di Indonesia.

"Kami dukung pemerintah untuk melarang masuknya dana asing oleh pihak mana pun, termasuk oleh organisasi serta perusahaan internasional," kata Ketua Umum MUI KH Maruf Amin.

Baca juga artikel terkait LGBT atau tulisan lainnya dari Lalu Rahadian

tirto.id - Hukum
Reporter: Lalu Rahadian
Penulis: Lalu Rahadian
Editor: Rio Apinino