Menuju konten utama

Alasan Bawaslu Tak Bisa Menindak Aksi Bagi Amplop Said Abdullah

Bawaslu menyimpulkan tidak terdapat dugaan pelanggaran pemilu dalam peristiwa pembagian amplop bergambar wajah Said Abdullah.

Alasan Bawaslu Tak Bisa Menindak Aksi Bagi Amplop Said Abdullah
Ketua Badan Anggaran (Banggar) DPR periode 2019-2024 dari Fraksi PDI Perjuangan Said Abdullah memegang palu pimpinan usai rapat penetapan Ketua Banggar di ruang Banggar, Kompleks Parlemen, Jakarta, Rabu (30/10/2019). ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja/aww.

tirto.id - Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) membeberkan alasan aksi bagi-bagi amplop yang memperlihatkan gambar wajah Plt Ketua DPD PDIP Jawa Timur Said Abdullah, bukan kategori pelanggaran pemilu. Secara hukum, masa kampanye belum dimulai.

Menilik Peraturan KPU Nomor 3 Tahun 2022 tentang Tahapan dan Jadwal Pemilu Tahun 2024, kampanye pemilu baru akan dimulai pada 28 November 2023 hingga 10 Februari 2024.

Ketua Bawaslu RI, Rahmat Bagja mengatakan PDIP merupakan partai politik peserta Pemilu 2024 yang dapat dikategorikan sebagai subjek hukum.

Namun, kata dia, fakta yang terungkap bahwa peristiwa yang terjadi dilakukan atas dasar inisiatif pribadi Said Abdullah, bukan keputusan parpol yang diketuai Megawati Soekarnoputri itu.

"Dengan pertimbangan tersebut, peristiwa yang terjadi tidak dapat dikategorikan sebagai pelanggaran sosialisasi sebagaimana diatur dalam Pasal 25 Peraturan KPU Nomor 33 Tahun 2018," kata Bagja saat jumpa pers di Bawaslu, Jakarta Pusat, Kamis (6/4/2023).

Pertimbangan lain, menurut Bagja, Said Abdullah bukan merupakan kandidat atau calon apa pun dalam Pemilu 2024, meskipun sebagai pengurus/kader PDIP dan anggota DPR.

"Hal tersebut karena tahapan pemilu belum memasuki tahapan pencalonan anggota DPR, DPRD, DPD, atau presiden dan wakil presiden," ucap Bagja.

Bawaslu pun menyimpulkan tidak terdapat dugaan pelanggaran pemilu dalam peristiwa pembagian amplop berisi uang yang terjadi di tiga kecamatan di Kabupaten Sumenep itu.

Namun, Bawaslu tetap mengingatkan kepada partai politik peserta pemilu maupun pihak-pihak lain untuk tidak melakukan politik transaksional seperti membagi-bagikan uang yang dapat terindikasi politik uang.

Politik transaksional, terutama setelah penetapan calon atau pasangan calon berimplikasi pada sanksi pembatalan sebagai calon atau paslon peserta pemilu seperti diatur dalam Pasal 286 UU Pemilu.

Politik uang juga dapat dijerat dengan pidana penjara paling lama empat tahun dan denda paling banyak Rp48 juta sebagaimana diatur dalam Pasal 523 Ayat (1), Ayat (2), dan Ayat (3) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.

Bagja mengatakan bila perbuatan tersebut terbukti berdasar putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap, maka berimplikasi ke sanksi administratif berupa pembatalan dari daftar calon tetap atau pembatalan penetapan sebagai calon terpilih, sebagaimana dimaksud Pasal 285 dalam UU Pemilu.

Selain itu, Bawaslu mengingatkan kepada partai politik peserta pemilu maupun pihak-pihak lain untuk tidak melakukan larangan-larangan dalam pemilu.

"Bawaslu mendorong semua pihak untuk menciptakan kompetisi yang adil, melakukan kegiatan politik yang meningkatan kesadaran politik masyarakat, serta mempererat persatuan," pungkas Bagja.

Baca juga artikel terkait SAID ABDULLAH atau tulisan lainnya dari Fransiskus Adryanto Pratama

tirto.id - Hukum
Reporter: Fransiskus Adryanto Pratama
Penulis: Fransiskus Adryanto Pratama
Editor: Fahreza Rizky