Menuju konten utama

Alasan Bareskrim Cekal 4 Petinggi ACT

Bareskrim khawatir empat petinggi ACT lari ke luar negeri di tengah penyidikan perkara dugaan penyelewengan dana.

Alasan Bareskrim Cekal 4 Petinggi ACT
Pegawai beraktivitas di kantor Aksi Cepat Tanggap (ACT), Menara 165, Jakarta, Rabu (6/7/2022). ANTARA FOTO/Indrianto Eko Suwarso

tirto.id - Direktorat Tindak Pidana Ekonomi Khusus (Dittipideksus) Bareskrim Polri mencekal empat petinggi Aksi Cepat Tanggap (ACT) yang telah ditetapkan tersangka dalam perkara dugaan penggelapan dana donasi masyarakat.

Pengajuan pencegahan ke luar negeri itu telah disampaikan Bareskrim Polri kepada Direktorat Jenderal Imigasi Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham).

"Bareskrim Polri meminta bantuan kepada Dirjen Imigrasi Kementerian Hukum dan HAM untuk melakukan pencekalan atau pencegahan ke luar negeri empat tersangka atas nama (inisial) A, IK, NIA dan HH," kata Kabag Penum Divisi Humas Polri, Kombes Pol Nurul Azizah dikutip dari Antara, Kamis (28/7/2022).

Nurul menjelaskan, permohonan pencekalan itu sesuai Surat Nomor: B/5050/VII/RES.1.24./2022/_Dittipideksus tanggal 26 Juli 2022. Pencekalan, lanjut dia, dilakukan untuk kepentingan penyidikan lebih lanjut serta dikhawatirkan para tersangka melarikan diri ke luar negeri.

"Bahwa untuk kepentingan penyidikan lebih lanjut serta dikhawatirkan akan melarikan diri ke luar negeri maka dalam hal ini Bareskrim Polri meminta bantuan kepada Dirjen Imigrasi Kementerian Hukum dan HAM," ujarnya.

Dalam kasus ini, penyidik menetapkan pendiri dan mantan Presiden ACT Ahyudin (A) sebagai tersangka, bersama Ibnu Khajar (IK) yang juga menjabat Presiden ACT aktif.

Kedua tersangka lainnya yakni Hariyana Hermain (HH) yang merupakan salah satu pembina ACT dan memiliki jabatan tinggi lain di ACT, termasuk mengurusi keuangan. Lalu Novariandi Imam Akbari (NIA), selaku Ketua Dewan Pembina ACT.

Keempat tersangka diduga melakukan tindak pidana penggelapan dan atau penggelapan dalam jabatan dan atau tindak pidana informasi dan transaksi elektronik dan atau tindak pidana yayasan dan atau tindak pidana pencucian uang.

Adapun dugaan penggelapan dalam jabatan yang dilakukan terhadap sisa dana CSR dari Boeing untuk ahli waris korban kecelakaan pesawat Lion Air JT-610 senilai Rp34 miliar.

Uang sisa dana Boeing digunakan untuk keperluan yang tidak sesuai dengan peruntukannya, yaitu pengadaan armada truk, kurang lebih Rp2 miliar, untuk program big food bus Rp2,8 miliar, kemudian pembangunan pesantren peradaban Tasikmalaya Rp8,7 miliar.

Kemudian untuk Koperasi Syariah 212 kurang lebih Rp10 miliar, untuk dana talangan CV CUN Rp3 miliar, dana talangan PT MBGS Rp7,8 miliar, sehingga totalnya Rp34,6 miliar (pembulatan dari Rp34.573.069.200).

Para pengurus juga diduga menyalahgunakan dana Boeing untuk gaji para pengurus.

Selain itu, Ahyudin dan rekannya diduga melakukan pemotongan donasi dana masyarakat yang dikelola ACT sebesar 20 sampai 23 persen. Adapun besaran gaji yang diterima pengurus ACT untuk Ahyudin sebesar Rp400 juta, Ibnu Khajar Rp150 juta, Hariyana Hermain Rp50 juta dan Novariadi Rp100 juta.

Keempatnya dijerat pasal berlapis yakni Pasal 372 KUHP dan Pasal 374 KUHP dan Pasal 45 a ayat (1) juncto Pasal 28 ayat (1) Undang-Undang Nomor 19 tahun 2019 tentang perubahan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang ITE.

Para tersangka juga dijerat Pasal 170 juncto Pasal Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 sebagaimana telah diubah Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2004 tentang Perubahan UU Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan Pasal 3,4 dan 6 UU Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Pencucian Uang, dan Pasal 55 KUHP juncto Pasal 56 KUHP.

Baca juga artikel terkait KASUS ACT

tirto.id - Hukum
Sumber: Antara
Editor: Fahreza Rizky