Menuju konten utama

Alasan AIDA Desak Pemerintah Terbitkan PP Hak-Hak Korban Terorisme

Aliansi Indonesia Damai (AIDA) mendorong pemerintah agar segera menerbitkan PP soal hak korban terorisme sebagai aturan turunan dari UU No. 5 tahun 2018.

Alasan AIDA Desak Pemerintah Terbitkan PP Hak-Hak Korban Terorisme
Direktur Lingkar Perdamaian Ali Fauzi, Direktur AIDA Hasibullah Satrawi (tengah) dan Rini Agustina, kelurga korban bom Kedubes Australia, di Hotel The Royal Haritage Solo, Minggu. tirto.id/Abdul Aziz

tirto.id - Aliansi Indonesia Damai (AIDA) mendesak pemerintah segera menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) terkait hak-hak korban terorisme. Sebab, kompensasi bagi korban terorisme yang tertuang dalam UU Nomor 5 Tahun 2018 hingga saat ini belum ada aturan turunannya.

“Ini penting karena UU [terorisme] yang baru memberikan peluang itu,” kata Direktur Aliansi Indonesia Damai (AIDA) Hasibullah Satrawi usai kegiatan Short Course Penguatan Perspektif Korban dalam Peliputan Isu Terorisme 2019, di Hotel The Royal Haritage Solo, Minggu (8/12/2019).

Masalahnya, kata Hasibullah, ada limit waktu yang diatur dalam UU, yakni dalam jangka waktu 3 tahun masa pengajuannya. Sementara saat ini sudah berjalan tahun kedua, tapi belum juga ada aturan turunan berupa PP yang khusus mengatur soal kompensasi.

“Kalau sampai tahun ketiga PP tidak dikeluarkan, kami khawatir peraturan mengenai kompensasi akan menjadi peraturan yang kedaluwarsa,” kata Hasibullah.

Hal senada diungkapkan Reni Agustina, keluarga korban bom Kedubes Australia Kuningan 2004. Ia berharap agar pemerintah segara menerbitkan PP supaya hak-hak korban terpenuhi.

Selain itu, ia berharap pemberian kompensasi kepada korban ini tidak menggugurkan hak-hak lain di luar kompensasi karena hak-hak korban pada prinsipnya berdiri sendiri.

“Kami mendorong pemenuhan hak-hak korban terorisme didasarkan atas asas keadilan dan kesetaraan,” kara Reni di lokasi yang sama.

Dalam acara tersebut, AIDA menghadirkan mantan narapidana terorisme Ali Fauzi Manzi atau adik kandung dari Ali Gufron dan Amrozi asal Lamongan, Jawa Timur, serta sejumlah korban bom terorisme, seperti Rini Agustina (korban Bom Kuningan 2004), Wenny Angelina (Bom Surabaya 2018) dan Kadek serta Nyoman Pasarini (korban Bom Bali II 2005).

Narasi Perdamaian

Hasibullah menyebutkan ada dua narasi penting sebagai edukasi kampanye perdamaian untuk masyarakat dengan mempertemukan mantan pelaku dan korban bom.

Misalnya, Ali Fauzi Manzi, mantan narapidana terorisme menyampaikan, “Jangan pernah membalas ketidakadilan dengan ketidakadilan, dan tidak ada orang yang tidak punya masa lalu, serta tidak ada orang yang tidak pernah punya dosa.”

Seluruh manusia adalah pendosa. Akan tetapi, sebaik-baiknya pendosa adalah mereka yang mengakui kesalahan dan memperbaiknya.

Hasibullah melanjutkan, "Jangan suka menghakimi para pendosa, apalagi keluarganya, karena mereka masih mempunyai harapan jika mau berbagi, berempati, mendorong untuk melakukan perubahan. Aida memilih titik harapan dibanding penghakiman."

"Kami mendorong siapa pun yang mau berubah dan kami fasilitasi untuk bersama-sama menjadi gerakan Indonesia lebih damai," kata Hasibullah usai forum silaturahim antara korban dan mantan pelaku.

Selain itu, kata Hasibullah, narasi dari para korban dalam aksi perdamaian yang menyampaikan agar tidak membalas kekerasan dengan kekerasan. Ia menyebut bangsa ini mengalami kekerasan akut secara historis.

Menurut dia, dari korban perlu dikembangkan jangan pernah berpikir kekerasan bisa selesai dengan kekerasan.

“Tidak ada orang yang tidak pernah terpuruk, tidak ada orang yang tidak pernah menangis, tidak ada orang tidak pernah gagal. Semua bisa diubah menjadi sebuah harapan dan senyuman bagi sebanyak-banyaknya manusia,” kata Hasibullah.

Baca juga artikel terkait HAK KORBAN BOM atau tulisan lainnya dari Abdul Aziz

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Abdul Aziz
Penulis: Abdul Aziz
Editor: Maya Saputri