Menuju konten utama

Aktivis SPI: Program Pangan Jokowi Belum Sejahterakan Petani

Serikat Petani Indonesia (SPI) mengkritik program kedaulatan pemerintahan Jokowi belum meningkatkan kesejahteraan petani.

Aktivis SPI: Program Pangan Jokowi Belum Sejahterakan Petani
Petani membajak sawah menggunakan kerbau di desa Mandala, Kab. Cirebon, Jawa Barat, Rabu (13/9/2017). ANTARA FOTO/Dedhez Anggara

tirto.id - Dewan Pengurus Pusat (DPP) Serikat Petani Indonesia (SPI) mengkritik realisasi program kedaulatan pangan pemerintahan Presiden Joko Widodo. Sekertaris Umum DPP SPI, Agus Ruli Ardiansyah menyatakan hasil dari program itu hingga kini belum berpengaruh bagi peningkatan kesejahteraan petani.

"Kenyataannya, Kementrian Pertanian tidak menempatkan petani sebagai tulang punggung pembangunan pertanian," kata Agus pada Senin (25/09/2017).

Kritik itu sempat disampaikan DPP SPI saat menggelar aksi peringatan Hari Tani Nasional di Jakarta pada hari ini. Di aksi itu, SPI juga mendesak Kementan membentuk Badang Pangan Nasional sesuai amanat UU Nomor 18 tahun 2012.

Menurut Agus, organisasinya menyesalkan arah program Kementrian Pertanian (Kementan) yang mereduksi tujuan kedaulatan pangan menjadi sekedar swasembada beras, gula, jagung dan kedelai.

"Konsep kedaulatan itu tidak sekedar ketersediaan pangan,” kata Agus.

Dia melanjutkan, “Tetapi mulai dari bagaimana pangan itu dihasilkan oleh petani, petani sendiri yang memproduksi, dan bagaimana pangan itu terjangkau baik kualitas dan harga oleh petani itu sendiri.”

Menurut dia, kebijakan pertanian di era Jokowi masih menyandarkan ketersediaan pangan kepada sokongan korporasi dan bukan petani sebagai produsen utama. "Kebijakan korporatisasi pertanian berpotensi meminggirkan petani," kata dia.

Agus mengimbuhkan konsep kedaulatan pangan semestinya juga berfokus menjamin harga-harga komoditas pertanian bisa menguntungkan para petani sekaligus terjangkau bagi masyarakat miskin.

Faktanya, menurut dia, berdasar data Badan Pusat Statistik (BPS), nilai tukar petani tanaman pangan tercatat mencapai angka tertinggi, yaitu 104,1, pada November 2015 saja.

Selanjutnya, nilai tukar petani tanaman pangan merosot tajam hingga angka 95,4 pada Maret 2017 lalu. Angka nilai tukar petani berada di bawah 100 sejak April 2016 hingga Mei 2017.

“Akibatnya, kemiskinan di pedesaan tidak berkurang dan tetap lebih tinggi dari perkotaan,” ujar dia.

Selain itu, Agus juga mengkritik program pemberdayaan organisasi petani di level akar rumput, seperti untuk Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan), masih sebatas formalitas. “Kementan belum memberdayakan kelembagaan petani dengan sungguh-sungguh,” kata dia.

Menurut Agus, program pemberdayaan kelembagaan petani selama ini juga terlalu jauh melibatkan TNI yang sebenarnya bertugas di bidang pertahanan. Sementara penguatan kelembagaan petani secara jangka panjang, semisal melalui koperasi dan pendidikan yang komprehensif, justru terabaikan.

Sebaliknya, Kementan mengklaim berhasil mendorong peningkatan produksi dan menjamin ketersediaan pangan strategis sekaligus memperbaiki kinerja perdagangan komoditas pertanian.

Berdasar rilis laman resmi Kementan pada 22 September 2017 kemarin, Kepala Pusat Data dan Sistem Informasi Kementan, Suwandi memaparkan, berdasar data BPS, nilai ekspor komoditas pertanian bulan Januari hingga Agustus 2017 mencapai USD 22,18 miliar.

Sedangkan nilai impor komoditas yang sama hanya USD 11,20 miliar. Jadi, ada surplus USD 10,98 miliar yang naik 101 persen dibandingkan periode yang sama pada 2016. Pencapaian ini dianggap bisa berdampak kepada kesejahteraan petani.

Baca juga artikel terkait PERTANIAN atau tulisan lainnya dari Suparjo Ramalan

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Suparjo Ramalan
Penulis: Suparjo Ramalan
Editor: Addi M Idhom