Menuju konten utama

Aktivis Lintas Agama Kritik RUU Pesantren Soal Sekolah Minggu

Pasal yang mengatur soal katekisasi dan sekolah minggu dalam RUU Pesantren dinilai keliru dan tak sesuai dengan kondisi lapangan.

Aktivis Lintas Agama Kritik RUU Pesantren Soal Sekolah Minggu
Jerry Sumampow. ANTARA/Sigid Kurniawan

tirto.id - Aktivis Kristen dan Lintas Agama Jeirry Sumampow mengkritik beberapa pasal yang terdapat dalam RUU Pesantren dan Pendidikan Keagamaan yang sedang dirancang DPR RI. Ia mengatakan beberapa pasal di dalam RUU itu tidak sesuai dengan realitas di lapangan.

Salah satu yang dikritik Jeirry adalah pasal soal penerapan sekolah minggu dan katekisasi dalam RUU tersebut yang ia nilai keliru. Ia mengatakan bahwa apa yang tertulis dalam RUU tidak sesuai dengan kegiatan di lapangan.

"Ada beberapa hal tidak sinkron, contohnya sekolah minggu untuk anak-anak tak pernah ada pengajar yang tetap, biasanya kakak pelayan jadi pengajar, jadi bisa berbeda tiap minggu, katekisasi juga begitu. Namun pasal 69-70 mengatur itu," kata Jeirry saat dihubungi wartawan Tirto, Minggu (28/10/2018).

Jeirry yang pernah menjabat sebagai Kepala Humas Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI) ini menilai pemberlakuan minimal 15 peserta didik di sekolah minggu dan katekisasi tidak tepat dan justru akan menjadi pembatasan beribadah.

Mengenai perizinan agenda ibadah ke Kantor Wilayah Kementerian Agama pun menurut Jeirry tak bisa dilakukan.

"Sekolah minggu sudah berlangsung sejak gereja ada, jadi tak perlu lapor ke Kanwil Kemenag. Kegiatan ini sangat internal," katanya.

Ia menilai, agenda sekolah minggu dan katekisasi untuk anak-anak cukup berbeda dengan agenda peribadahan umat agama lainnya. Biasanya anak-anak datang ke sekolah minggu dan katekisasi karena mengikuti orang tuanya yang beribadah, sehingga perlu pendekatan yang berbeda dan tak bisa diatur seketat itu.

"Kalau diatur secara publik, sangat rumit dan repot. Pasti tidak akan cocok dan tidak akan tepat disamakan dengan agama lain. Lebih baik tak usah diatur. Harusnya enggak usah masuk UU. Itu sudah bagian hakiki dan kultural. Tak perlu diregulasikan. Lagi pula agenda itu tidak menimbulkan gangguan ke umat agama lain," katanya.

Jeirry mengapresiasi RUU tersebut yang sejatinya bermaksud baik, namun menurutnya pembahasan itu terlalu cepat dan kurang diskusi dalam membahas substansi dengan pihak-pihak lintas iman dan agama.

"Umat Kristen tidak menolak RUU ini, tapi pengaturan sekolah minggu dan katekisasi-nya yang kami permasalahkan," katanya.

PGI juga mengeluarkan rilis sebagai respons terhadap RUU Pesantren dan Pendidikan Keagamaan yang baru. Mereka mengkritik beberapa pasal dari RUU tersebut, khususnya pasal 69-70, yang terlalu mengatur secara detail aktivitas keagamaan sekolah minggu dan katekisasi.

Beberapa hal yang dipermasalahkan seperti jumlah minimal peserta didik hanya 15 orang dan harus mendapat izin dari Kanwil Kemenag daerah setempat. Hal tersebut dirasa tidak cocok mengingat sistem pendidikan sekolah minggu dan katekisasi sangat kultural.

Baca juga artikel terkait RUU PESANTREN atau tulisan lainnya dari Haris Prabowo

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Haris Prabowo
Penulis: Haris Prabowo
Editor: Dipna Videlia Putsanra