Menuju konten utama

Aktivis Desak Jokowi Tidak Pertahankan Aturan yang Diskriminatif

Komnas HAM sudah sering mendesak pemerintah agar segera membereskan peraturan-peraturan yang diskriminatif, namun respons yang didapat hanya bersifat normatif.

Aktivis Desak Jokowi Tidak Pertahankan Aturan yang Diskriminatif
Presiden Joko Widodo menyampaikan sambutan saat pembukaan Musyawarah Nasional (Munas) pertama Persatuan Umat Budha Indonesia (Permabudhi) Tahun 2018 di Istana Negara, Jakarta, Selasa (18/9/2018). ANTARA FOTO/Wahyu Putro A

tirto.id - Diskriminasi adalah masalah akut di Indonesia. Dan ini bisa terjadi di antaranya karena peraturan-peraturan dan kebijakan-kebijakan negara—atau biasa disebut "diskriminasi sistemik".

Salah satu contoh peraturan diskriminatif adalah Instruksi Kepala Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor K.898/I/A/1975 tentang Penyeragaman Policy Pemberian Hak atas Tanah Kepada Seorang WNI Non Pribumi.

Peraturan tersebut tidak memberikan kesempatan kepada "non-pribumi" untuk memiliki tanah di Yogyakarta, terutama etnis Tionghoa. Padahal, dalam UUD 1945, tak ada pembeda antara "pribumi" maupun "non-pribumi", atau dengan kata lain semua warga Indonesia harus diperlakukan sama.

Ada juga Fatwa Majelis Ulama Indonesia tahun 2005 yang mengatakan bahwa jemaah Ahmadiyah tergolong sesat. Fatwa tersebut kemudian didukung oleh SKB 3 Menteri Tahun 2008 yang diteken pada era Susilo Bambang Yudhoyono. Aturan ini membuat jemaah Ahmadiyah kerap dipersekusi.

Kemudian Keppres Nomor 28 tahun 1975 tentang Perlakuan Terhadap Mereka Yang Terlibat G.30.S/PKI Golongan C, yang terbit ketika era Orde Baru, juga bisa disebut aturan yang tergolong diskriminatif.

Pada tahun 2015, pernah ada wacana penghapusan Keppres ini dengan tujuan merehabilitasi para korban dan penyintas. Namun beberapa pihak menolak karena menganggap itu sama saja dengan pemerintah ingin minta maaf kepada PKI.

Direktur Amnesty Internasional Usman Hamid menilai kebijakan diskriminatif tak bisa terus dipertahankan. Dia meminta Presiden Joko Widodo segera membereskannya. Lebih spesifik: menghapus keputusan-keputusan itu.

"Ini semua harus diambil alih oleh negara, oleh kepala negara. Jangan dibiarkan," kata Usman saat ditemui Tirto setelah acara dialog nasional Koalisi Keadilan untuk Pengungkapan Kebenaran (KKPK) di Jakarta, Selasa (18/9/18).

Pendapat serupa disampaikan Deputi Direktur Riset ELSAM Wahyudi Djafar.

"Peraturan tersebut harus disinkronisasi dengan instrumen HAM dan diajukan amandemen atau revisi jika ditemukan permasalahan. Ini penting. Hingga sekarang belum dieksekusi," kata Wahyudi, pada kesempatan yang sama.

"Sulit"

Komisioner Komnas HAM Beka Ulung Hapsara mengaku pihaknya sudah sering mendesak pemerintah agar segera membereskan peraturan-peraturan yang diskriminatif, namun respons yang didapat hanya bersifat normatif.

"Sebenarnya kami sudah sedang sering mendesak pemerintah pusat. Tanggapannya hanya normatif, bahwa mereka akan me-review, kaji, atau hapus," kata Beka.

Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden (KSP) sekaligus Ketua Komnas HAM periode 2007-2012 Ifdhal Kasim mengatakan, merevisi dan mengkoreksi peraturan diskriminatif memang sudah jadi kewajiban Joko Widodo. Revisi dan koreksi tersebut penting guna menyelaraskan peraturan yang ada dengan UUD 1945. UU dan hukum lain tak boleh bertentangan dengan konstitusi.

"Jadi, salah satu tugas kepala negara itu untuk setia kepada UUD, Pancasila. Seharusnya presiden membereskan peraturan diskriminatif," katanya kepada Tirto.

Menurut Ifdhal, sejak dua tahun lalu presiden sudah meminta jajaran pemerintah agar segera melakukan pembenahan, kewenangannya diberikan kepada Kementerian Dalam Negeri dan Bappenas. Namun ternyata, katanya, tak semudah itu.

Salah satu hambatannya adalah aturan tersebut banyak yang berbentuk Peraturan Daerah (Perda), sementara kewenangan Kemendagri untuk itu telah dipangkas Mahkamah Konstitusi Juni tahun lalu.

MK memutus Pasal 251 ayat 7 serta pasal 251 ayat 5 Undang-undang 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah bertentangan dengan UUD 1945. Dari putusan ini, Kemendagri tak lagi punya kewenangan membatalkan Perda. Pengujian atau pembatalan perda adalah kewenangan konstitusional Mahkamah Agung.

"Ini sangat disayangkan. Padahal dari 3.000-an Perda telah disisir dan banyak yang bermasalah," katanya.

Baca juga artikel terkait DISKRIMINASI atau tulisan lainnya dari Haris Prabowo

tirto.id - Hukum
Reporter: Haris Prabowo
Penulis: Haris Prabowo
Editor: Rio Apinino