Menuju konten utama

Aktivis 98 Tolak Pasal Penistaan Agama

KA KBUI mengecam vonis pidana penistaan agama atas Ahok dan terpidana lainnya, termasuk menolak penggunaan pasal penistaan agama pasal 156 dan 156a KUHP. Menurut mereka, UU pencegahan penodaan agama tersebut merupakan produk hukum yang melanggar HAM, juga nilai-nilai keberagaman Indonesia.

Aktivis 98 Tolak Pasal Penistaan Agama
Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok (kedua kanan) selaku terpidana kasus penistaan agama menjalani sidang putusan di Pengadilan Negeri Jakarta Utara, Auditorium Kementerian Pertanian, Jakarta Selatan, Selasa (9/5). AANTARA FOTO/Sigid Kurniawan.

tirto.id - Salah satu gerakan aski pionir kelompok mahasiswa dan rakyat yang turut menumbangkan rezim orde baru tahun 1998 atau yang dikenal dengan Kesatuan Aksi Keluarga Besar Universitas Indonesia (KA KBUI), menolak penggunaan pasal penodaan atau penistaan agama pasal 156 dan 156a KUHP. Menyoroti kondisi politik Indonesia akhir-akhir ini, mereka menilai kondisi tersebut sangat mengkhawatirkan dan berpotensi menimbulkan perpecahan.

Kondisi itu ditandai dengan maraknya aksi pernyataan yang intoleran, adanya praktik-praktik diskriminatif dan terutama meningkatnya praktik-praktik politik dengan menggunakan sentimen agama. Mereka mencatat, polarisasi yang terjadi semakin tajam sejak Pemilihan Presiden (Pilpres) 2014 dan memuncak ketika sentimen agama dipolitisir dan dipakai sebagai alat dalam kontestasi Pemilihan Gubernur (Pilgub) DKI Jakarta 2017.

Bahkan, kondisi tersebut semakin diperparah dengan dijatuhkannya vonis hukuman penjara selama 2 tahun kepada Gubernur DKI Jakarta non aktif Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok atas tuduhan penistaan agama. Menurut mereka kasus Ahok merupakan bentuk kriminalisasi dari UU No 1/PNPS/1965 tentang pencegahan penyalahgunaan atau Penodaan Agama dan pasal 156a KUHP.

Mencermati perkembangan yang terjadi, KA KBUI menyerukan secara tegas dan mengecam vonis pidana penistaan agama atas Ahok dan terpidana lainnya, termasuk menolak penggunaan pasal serupa untuk yang lain. Menurut mereka, UU pencegahan penodaan agama tersebut merupakan produk hukum yang melanggar HAM, juga nilai-nilai keberagaman Indonesia.

Karenanya, mereka mendesak eksekutif, legislatif dan yudikatif untuk segera mencabut dan merevisi UU pencegahan penodaan agama dan pasal 156a KUHP. Setidaknya, menetapkan moratorium atas ketentuan perundangan tersebut. Menurut mereka, pasal tersebut bermasalah dan menjadi akar permasalahan serius yang mengancam kerukunan umat beragama Indonesia.

Lebih lanjut KA KBUI menilai, selama 19 tahun sejak reformasi bergulir, mereka melihat perkembangan situasi politik nasional menandakan belum dijalankannya agenda reformasi yang dahulu KA KBUI perjuangkan.

Salah satu aktivis KA KBUI, Dewi Astuti, mengimbau agar masyarakat tidak terjebak dalam politik identitas yang diperankan oleh elite politik. Apa yang dilakukan oleh para penguasa belakangan ini, kata dia, merupakan sebuah tindakan pembodohan masyarakat. Untuk itu, ia menuntut pemerintah bertindak dan melakukan sesuatu untuk meredam konflik yang tengah terjadi.

Terkait alasan penolakan terhadap pasal penodaan dan penistaan agama pasal 156 dan 156a KUHP, Dewi mengaku alasan tersebut tidak semata penolakan terhadap kasus yang menimpa Ahok, melainkan untuk semua korban yang telah terjerat kasus yang sama.

Menurut dia, selama ini masyarakat diam atas kasus-kasus yang menyangkut SARA sebab masyarakat sudah terlebih dahulu takut dan menghindar. Namun kemudian, kasus SARA menemukan momentumnya pada saat dijatuhkannya vonis terhadap Ahok pada Selasa (9/5/2017) lalu.

“Ini konflik sudah ada, yang penting bagaimana mendamaikannya saja. Para elit politik yang memakai politik identitas, mereka harus bertanggungjawab,” ucap Dewi kepada Tirto, di Menteng, Jakarta Pusat, Kamis (16/5/2017).

Jika konflik tersebut dibiarkan berlarut, ia khawatir politik identitas yang telah sukses diterapkan di Jakarta, akan kembali diterapkan dan ditiru oleh daerah-daerah lain dalam proses meraup suara dan memenangkan kontestasi politik.

Berbeda dengan gerakan 98, Dewi menilai gerakan turun ke jalan yang akhir-akhir ini disuarakan disebabkan atas kemuakan terhadap pemerintah yang diam terhadap ketidakadilan yang terjadi. “Setelah 98 baru kali ini. 98 adalah gerakan ketika masyarakat ditekan tetapi sekarang, ketika semua informasi bisa diterima dengan mudah, banyaknya aksi yang turun ke jalan karena sudah lama muak,” ujar dia.

Melengkapi pernyataan Dewi, aktivis lainnya, Sirait, mengatakan fenomena yang terjadi belakangan ini bukanlah suatu proses yang tiba-tiba. Menurut dia, selama ini pemerintah sudah terlau lama melakukan pembiaran terhadap tindakan-tindakan yang berbau SARA.

Sejak zaman Orde Baru, isu-isu berbau SARA merupakan isu yang sulit, karenanya tidak boleh diulik-ulik. Masyarakat pun takut untuk ikut bertindak ketika ada ketidakadilan di depan mata jika membawa isu SARA.

“Kita enggan ini urusan agama, ini urusan Ras, kita takut. Sejak Orde Baru Ras itu sulit jangan diulik-ulik, bahaya. Bagi kami, ini refleksi dari masyarakat. Kenapa kita berani berbicara, karena kalau kita melihat kalau ini gak ada yang berani menghentikan, maka ini akan terus terjadi dan kebencian semakin lama semakin bergulir,” ungkap Sirait di lokasi yang sama, Kamis (18/5/2017).

Baca juga artikel terkait SIDANG AHOK atau tulisan lainnya dari Chusnul Chotimah

tirto.id - Hukum
Reporter: Chusnul Chotimah
Penulis: Chusnul Chotimah
Editor: Alexander Haryanto