Menuju konten utama

Aksi 22 Mei: Upaya Penggembosan Malah Bikin Penasaran

Pemerintah mengimbau agar masyarakat tak ikut aksi. Tapi bagi dua pengamat, imbauan itu justru bikin orang penasaran.

Aksi 22 Mei: Upaya Penggembosan Malah Bikin Penasaran
Menko Polhukam Wiranto (tengah) didampingi Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo (kiri) dan Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko (kanan) memberikan keterangan pers seusai rapat koordinasi khusus (Rakorsus) tingkat menteri di Kemenko Polhukam, Jakarta, Rabu (24/4/2019). ANTARA FOTO/Renald Ghifari/hma/pras.

tirto.id - Pemerintah dan aparat keamanan tak tinggal diam menghadapi "people power" pada 22 Mei nanti. Berbagai upaya mereka lakukan, dari mulai yang sifatnya persuasif hingga cenderung koersif.

People power digerakkan oleh kubu Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, pasangan yang kemungkinan kalah dari Joko Widodo-Ma’ruf Amin di Pilpres 2019. Mereka mencoba menggagalkan hasil pilpres (tapi tidak dengan pileg) karena merasa dicurangi.

Kepala Kantor Staf Presiden (KSP), Moeldoko, misalnya, meminta masyarakat tidak ikut aksi karena menurutnya itu akan dimanfaatkan oleh kelompok tertentu.

“Pokoknya saya mengimbau kepada masyarakat untuk tidak perlu berbondong-bondong, berkumpul pada sebuah tempat tertentu. Itu tidak menguntungkan,” kata bekas Panglima TNI ini Jumat (17/5/2019) lalu.

Ma’ruf Amin pun juga menyerukan hal serupa. Ia meminta para pihak menahan diri dan mendahulukan kepentingan rakyat.

“Saya harap tidak terjadi. Menjaga negara, mengutamakan negara dan bangsa harus lebih kita utamakan,” ujarnya Jumat lalu.

Polri pun tak mau ketinggalan. Mereka bahkan menyebut demonstrasi nanti akan jadi tempat Jamaah Ansharut Daulah (JAD), kelompok yang pernah dituding ada di balik serangan bom Surabaya, melakukan aksi teror.

“Kami tidak ingin ini (serangan teroris) terjadi,” kata Kadiv Humas Irjen Pol M Iqbal di Mabes Polri, Jumat.

Selama Januari-17 Mei 2019, Densus 88 Antiteror telah menangkap 68 tersangka terorisme. 29 di antaranya ditangkap pada Mei 2019. Penangkapan ini seolah menegaskan bahwa imbauan Polri itu bukan main-main.

Tak hanya anjuran, polisi juga melakukan razia. Polres Pelabuhan Tanjung Perak, dibantu TNI, sempat melakukan razia di sepanjang Jalan Suramadu.

“Kami akan memantau masyarakat yang akan berangkat ke Jakarta. Mohon maaf kami akan sweeping,” kata AKBP Antonius Agus Rahmanto.

Sweeping ini tak hanya di pelabuhan, tapi juga di seluruh Jawa Timur. Hal ini ditegaskan Kapolda Jatim Irjen Pol Luki Hermawan. Luki bilang selain sweeping, mereka juga melakukan upaya persuasif lain seperti meminta tokoh masyarakat turut serta membantu melarang masyarakat ke Jakarta.

Apa yang dikatakan Kapolda Jatim ini selaras dengan permintaan Menko Polhukam Wiranto. Di Hotel Grand Paragon, Jakarta Barat, Kamis (16/5/2019) lalu, Wiranto bilang: "saudara-saudara sekalian, dari daerah, tolong ya. Forkompimda, Pangdam, Kapolda, jangan biarkan masyarakat keluar daerah menuju Jakarta."

Wiranto bilang jika aparat daerah tidak berhasil membendung masyarakat ke Jakarta, maka itu akan semakin memperbesar potensi konflik sosial.

Upaya Penggembosan Malah Bikin Penasaran

Analis sosial politik dari Universitas Negeri Jakarta, Ubedilah Badrun, menilai apa yang dilakukan pemerintah bisa dikategorikan sebagai upaya penggembosan. Padahal, katanya, aksi 22 Mei itu masih dalam kategori penyampaian pendapat di muka umum sehingga dijamin Undang-Undang.

“Itu cara penguasa menggembosi rakyat yang akan menyampaikan aspirasi,” kata Ubedilah kepada reporter Tirto, Sabtu (18/5/2019).

Kendati demikian, Ubedilah yakin langkah itu tak berhasil. Yang terjadi mungkin sebaliknya: upaya pemerintah justru akan membuat yang datang lebih banyak.

Direktur Eksekutif Indonesia Political Review, Ujang Komarudin, mengatakan hal serupa. Menurutnya masyarakat justru semakin penasaran ketika para politikus beramai-ramai melarang datang ke Jakarta.

Ujang lantas mencontohkan demo-demo yang terkait dengan kasus penistaan agama bekas Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok.

“Waktu aksi 411 tidak terlalu banyak, lalu 212 jadi lebih banyak. Saya tidak heran kalau proses ini bisa membuat masyarakat malah ingin bergabung,” kata Ujang.

Jumlah peserta aksi 212 yang digelar 2 Desember 2016 memang lebih banyak dari 411 yang digelar pada 4 November 2016. Di antara tanggal itu imbauan tak ikut aksi juga keluar dari mulut politikus.

Belakangan angka '212' bahkan jadi simbol kelompok ini sampai sekarang.

Baca juga artikel terkait PEMILU 2019 atau tulisan lainnya dari Vincent Fabian Thomas

tirto.id - Politik
Reporter: Vincent Fabian Thomas
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Rio Apinino