Menuju konten utama

Akhmad Basah, Pengarang Sunda yang Dipecat Jawatan Kereta Api

Setelah dipecat, Akhmad Basah alias Joehana menulis sejumlah karangan yang menyuarakan penderitaan rakyat.

Akhmad Basah, Pengarang Sunda yang Dipecat Jawatan Kereta Api
Ilustrasi Kode Jurnalistik {Foto/Shutterstock]

tirto.id - Gelombang aksi mogok melanda Jawa. Para buruh kereta api tak sudi diupah rendah. 8 Mei 1923, Semaoen ditangkap di Semarang. Oleh pemerintah kolonial, ia dianggap telah menyalakan api protes. Di titimangsa yang sama dengan penangkapan Semaoen, buruh kereta api di Bandung melakukan aksi serupa.

Jika para pentolan ditangkap, mereka yang turut serta dalam pemogokan dipecat. Salah seorang peserta aksi mogok di Bandung adalah Akhmad Basah alias Joehana, seorang pengarang Sunda yang tak terlalu dikenal.

Tempat dan tanggal lahirnya tak diketahui secara pasti. Orang-orang yang pernah mengenalnya secara dekat menduga bahwa ia dilahirkan dan dibesarkan di Bandung, kira-kira di sudut timur lapangan Tegallega, di pinggir jalan Ciateul sekarang.

Ia aktif di Sarekat Rakjat dan tercatat sebagai salah seorang pimpinan pengurus cabang Bandung. Istrinya bekerja sebagai guru sekolah dasar yang didirikan organisasi tersebut. Setelah diberhentikan dari jawatan kereta api, ia menulis sejumlah karangan berbentuk roman, cerita pendek, dangding, kumpulan anekdot, dan makalah.

Meski tercatat sebagai salah seorang pimpinan pengurus Sarekat Rakjat cabang Bandung, Joehana bukanlah orator. Jika menilik sejumlah karyanya yang tajam mengungkap peristiwa sehari-hari, ia kiranya seorang konseptor yang lebih nyaman mengutarakan sikapnya melalui tulisan.

“Joehana berperawakan agak pendek tetapi berisi. Ia tak dapat berpidato, bahkan terhitung orang pendiam, tetapi gerakannya cekatan. Dalam percakapan ia lebih sering mendengarkan daripada memberi komentar. Rasa humornya cukup besar, kadang-kadang ia pun membicarakan hal yang lucu-lucu.” (Yuhana Sastrawan Sunda, hlm. 5)

Dalam berbagai tulisannya, ia memakai nama “Joehana”. Nama tersebut adalah nama anak angkatnya. Nama itu pula yang kemudian lebih dikenal oleh masyarakat.

Tahun 1928, Joehana membuka badan usaha bernama Romans Bureau Joehana. Dalam Yuhana Sastrawan Sunda (1979) yang disusun oleh Tini Kartini dkk., dijelaskan bahwa biro tersebut menjual konsep-konsep roman serta menerima pekerjaan naskah iklan untuk buku programa bioskop, perdagangan, pemangkas rambut, restoran, obat-obatan, dan untuk segala macam perusahaan.

Di samping usaha tersebut, Joehana juga menerima pekerjaan menerjemahkan dari bahasa Inggris, Belanda, Melayu, dan Sunda. Sebagai seorang aktivis organisasi kemasyarakatan, ia peduli dengan lingkungannya dengan membuka kursus mengarang bagi sejumlah orang yang berminat. Kepada murid-muridnya ia berpesan, “Yullie moeten van niets tot iets kunnen maken (Jadikanlah sesuatu yang tak ada menjadi ada).”

Sikap Kepengarangan Joehana

Saat pemerintah kolonial mendirikan Komisi untuk Bacaan Rakyat yang kemudian menjadi Balai Pustaka, sejumlah karya pengarang Sunda diseleksi dan diterbitkan. Namun karena banyak bahan bacaan yang tidak lulus sensor, akhirnya karya-karya para pengarang Sunda tersebut diterbitkan oleh beberapa penerbit lain seperti Dakhlan Bekti, M.I. Prawira-winata, Kusradie (Bandung), Kurnia (Tasikmalaya), Pangadegan (Sumedang), dan Krakatau (Batavia).

Para pengarang yang karya-karyanya diterbitkan di luar Balai Pustaka selalu diintai oleh mata curiga kaum kolonial. Contohnya adalah Muh. Sanusi yang menulis roman-roman perjuangan beberapa kali diperiksa polisi rahasia dan pernah dijebloskan ke penjara Banceuy di Bandung dan dibuang ke Digul.

Demi keamanan, saat itu namanya tidak pernah disebut dalam buku-buku pengajaran sastra Sunda karena ia dianggap sebagai seorang pengarang yang berbahaya oleh pihak kolonial.

“Sikap paling aman pada waktu itu adalah berpura-pura tidak tahu, dan tidak ambil pusing,” tulis Ajip Rosidi dalam artikel “Siti Rayati Buku Roman Perjoangan Karangan Muh. Sanusi” yang terbit di Mingguan Sunda.

Sikap serupa ditempuh oleh Joehana. Sebagai seorang yang anti kolonialisme, ia tak sudi karangan-karangannya diterbitkan oleh Balai Pustaka, dan memang tak mungkin lolos seleksi.

Seperti nasib yang menimpa terhadap karya-karya Muh. Sanusi, karangan-karangan Joehana pun tidak pernah diperkenalkan dalam pengajaran sastra di sekolah-sekolah. Hal ini menyebabkan karya-karyanya tak banyak ditemukan secara utuh. Dari 14 buku yang ditulis Joehana, hanya enam buah saja yang berhasil ditemukan, termasuk sebuah cerita babad dan sebuah kumpulan anekdot.

“Karangan-karangannya yang lepas, baik yang berupa cerita pendek, makalah (artikel) dalam surat kabar berbahasa Sunda Surapati, maupun tulisannya yang lain sehubungan dengan pekerjaannya di Romans Bureau Joehana tidak satu pun yang berhasil ditemukan, apalagi karena tulisan-tulisan jenis yang terakhir ini tentu diumumkan tanpa menyebut-nyebut namanya (anonim),” tulis Tini Kartini dkk.

Salah satu karangan Joehana adalah Carios Agan Permas yang mula-mula terbit tahun 1926. Roman ini amat tegas mengisahkan ketimpangan hidup dan sikap cempala seorang haji yang memeras kaum papa dengan sejumlah pinjaman uang yang bunganya mencekik.

Si miskin meminjam uang tersebut sebagai modal bertani, tapi ternyata garapannya gagal. Ia kemudian beternak ikan, dan usaha ini pun bernasib jentaka, banjir menghanyutkan peliharaannya. Sementara itu, utangnya telah jatuh tempo.

Karena tak dapat melunasi utang, haji tersebut meminta Imas, anak gadis si miskin, sebagai pengganti bayaran uang. Dalam situasi tersebut, datang seorang pemuda miskin bernama Otong yang berhasil menolong dengan mengusir si penagih utang. Ia kemudian dinikahkan dengan Imas. Namun, malang, beberapa bulan kemudian dengan bantuan dua orang jawara, si haji menculik Imas lalu menyekap dan melampiaskan birahinya selama dua minggu. Setelah itu, Imas diusir.

Imas lalu mencari Raja Permas, seseorang yang diamanatkan ayahnya untuk menitipkan diri. Orang tua Raja Permas adalah bekas majikan bapaknya Imas. Dalam perjalanan hidup berikutnya, Imas jatuh ke tangan seorang menak bernama Raden Sukarna yang menjual Imas kepada seorang Belanda juragan perkebunan: Tuan Van der Zwak.

Suaminya, Otong, karena tak kunjung menemukan sang istri, hidup melarat bersama anak mereka di Batavia sebagai pemulung barang bekas dan tinggal di gubuk darurat.

“Barang siapa yang menyayangi orang miskin, mengasihani orang melarat, tentu akan mendapat gangguan besar, harus merasakan akan kemelaratan dan kemiskinan, kadang-kadang sampai harus menemui ajal, namun pekerjaan seperti itu merupakan pekerjaan yang paling mulia di alam dunia,” ujar Otong kepada anaknya.

Joehana yang mengarang di tahun 1920-an, saat situasi sosial tajam membedakan antara menak dan jelata. Haji, yang statusnya begitu terhormat, dilabraknya dengan berani.

“Penokohan Raden Sukarna adalah sinisme Joehana kepada kaum yang membanggakan dirinya sebagai golongan menak. Ia melihat adanya sesuatu yang terselubung di balik golongan itu yang sehari-hari dianggap golongan terhormat […] Raden Sukarna adalah tipe orang yang membanggakan diri akan keningratannya, tanpa mau mengisi hidupnya dengan kesibukan kerja atau beramal untuk sesama bangsanya,” tambah Tini Kartini, dkk.

Infografik Akhmad Basah

Dalam karyanya yang lain, yaitu Rasiah nu Goreng Patut (1928), Joehana menggugat norma-norma kehidupan yang diciptakan oleh manusia-manusia lain dalam lingkungan hidupnya. Menurutnya, sikap hidup orang ramai yang didasari oleh kesadaran diri kerap terhalang oleh norma-norma tersebut.

Alkisah, seorang penangkap kodok yang bernama Karnadi kepincut seorang perempuan cantik anak orang kaya. Karnadi telah beristri dan mempunyai anak. Rupanya tak elok, dan penghasilannya dari kodok-kodok yang ia tangkap dan dijual di pasar tak seberapa. Namun, semua itu bukan halangan baginya untuk mempersunting Eulis Awang, perempuan cantik pujaannya.

Dibantu Marjum, kawannya, Karnadi pura-pura mengalami kecelakaan dan dikabarkan meninggal. Hal ini agar istri dan anaknya tidak mengharapkan ia pulang. Sementara kepada Eulis Awang ia berbohong dengan mengaku sebagai seorang aanemer (pemborong) kaya dan terkenal.

Singkat cerita, ia berhasil mengawini Eulis Awang karena orangtua si gadis tertarik dengan kekayaan aanemer palsu tersebut. Namun, bangkai yang ditutup rapat pada akhirnya akan tercium pula. Kebohongan Karnadi akhirnya diketahui Eulis Awang. Penangkap kodok tersebut pun pulang ke rumahnya, dan mendapati anaknya telah meninggal serta istrinya tengah sakit parah. Karnadi kemudian mengakhiri hayatnya dengan menghanyutkan diri di sungai Citarum yang sedang mengamuk.

Meski kisah ini menceritakan kebrengsekan Karnadi, Joehana pada dasarnya hendak membongkar jurang kesetaraan antara orang kaya dan orang miskin. Ia mengkritik lewat tokoh Karnadi yang cukup licin menipu, yang tidak ingin didahului oleh norma-norma baku buatan segelintir pihak.

Saat berdebat dengan Marjum, kawannya, ihwal niat dia mengawini Eulis Awang, Karnadi dengan tegas membandingkannya dengan laku seorang haji tua yang bernama Haji Sirad yang beristri empat perempuan muda.

“Dia manusia, aku pun manusia, malah aku lebih muda daripada Haji Sirad, apakah karena dia kaya, orang miskin pun mengapa tidak bisa beristri dua, yang cantik,” ujar Karnadi.

Dalam karya-karyanya yang lain, Joehana tidak pernah melepaskan diri dari peristiwa kehidupan sehari-hari. Ia tak menceritakan dongeng yang indah-indah atau tentang pelaku yang tidak pernah menghadapi masalah kehidupan keseharian.

Peristiwa-peristiwa, baik atau buruk, yang pernah terjadi atau mungkin terjadi di tengah masyarakat, ia suguhkan dengan semangat menggugat. Suara-suara yang terbungkam, yang tak terucapkan dari rangkaian derita rakyat kecil, ia tampilkan ke hadapan pembaca.

Joehana tak segan membuat tokoh yang berapi-api, tokoh penjilat, tokoh yang memberontak terhadap situasi kehidupan masa itu, dan sebagainya. Ia menulis protes-protes sosial saat sastra Sunda sedang ramai dengan karya-karya yang “indah” dan menghibur.

Meski menulis sejumlah karangan, Joehana tak pernah mengaku diri sebagai pengarang, apalagi sastrawan.

“Ia lebih senang mengaku sebagai seorang wartawan, dan merasa sebarisan dengan kaum wartawan yang pada waktu itu giat menulis dalam surat-surat kabar pergerakan nasional serta tidak mengabdi kepada pemerintah jajahan Belanda,” tulis Tini Kartini, dkk.

Joehana meninggal di Tasikmalaya saat ikut mementaskan gending karasmen yang digubah berdasarkan karangannya sendiri yaitu Kalepatan Putra Dosana Ibu Rama. Jenazahnya dimakamkan di Bandung.

Baca juga artikel terkait SASTRAWAN atau tulisan lainnya dari Irfan Teguh

tirto.id - Humaniora
Reporter: Irfan Teguh
Penulis: Irfan Teguh
Editor: Maulida Sri Handayani