Menuju konten utama
11 Agustus 2003

Akhir Pelarian Hambali, Gembong Teroris Asia Tenggara

Tiktok detektor.
Catatan sarat horor
kombatan teror.

Akhir Pelarian Hambali, Gembong Teroris Asia Tenggara
Nurjaman alias Riduan Isamudin alias Hambali. tirto.id/Sabit

tirto.id - Nurjaman bin Isamudin. Orang ini pernah menggemparkan Indonesia di awal 2000-an. Kita semua lebih mengenal nama aliasnya yang paling populer, dari banyak nama alias yang dimilikinya: Hambali. Pria kelahiran Cianjur, 4 April 1964 ini adalah anak kedua dari 12 bersaudara.

Dalam Intelijen: Medan Tempur Kedua (2008), Ken Conboy menyebut pria berbadan gempal dan pendiam ini mengalami masa muda yang sulit. Ia merasa tak punya prospek masa depan yang cerah usai lulus SMA. Setelah menganggur enam bulan, ia mengambil keputusan frustrasi untuk merantau ke Malaysia secara ilegal tanpa dokumen dan uang pada pertengahan 1982. "Di Malaysia ia memulai hidup baru dan berganti nama jadi Riduan Isamudin," tulis Ken (hlm. 50).

Kenekatan itu membuat kehidupannya lumayan membaik. Menetap di Selangor, ia kerap menjual ayam di pasar tiap pagi dan beralih pekerjaan menjual peci dan buku agama di pelabuhan saat malam. Pernah juga ia bekerja di sebuah restoran roti canai. Uang yang dia peroleh cukup menghidupi kehidupannya yang sederhana di distrik Klang, Selangor. Sesekali ia pun mengirim uang untuk orang tua dan adik-adiknya di Cianjur.

Di Malaysia pula ia mulai menjalin kedekatan dengan Abdullah Sungkar. Saat Sungkar membuka kuota kedua pemberangkatan relawan ke Afghanistan untuk berjihad sebanyak 20 orang, Riduan bersemangat menyambutnya. Hanya saja, dia diberi satu syarat: seluruh biaya keberangkatan mesti ditanggung sendiri. Riduan pun berusaha keras memenuhi syarat ini.

Kombatan di Afghanistan

Tiba di Afghanistan pada 1986, ia bergabung dalam Kamp Sadda di perbatasan Afghanistan dan Pakistan. Ada sebuah aturan tak tertulis yang dikenakan kepada para relawan saat tiba di Peshawar. Demi keamanan, mereka diminta memakai nama samaran alias kunya. Mulai saat itulah Encep alias Riduan lebih akrab disapa dengan panggilan Hambali.

Kalah dalam perang, Uni Soviet perlahan mulai menarik pasukan pada musim dingin 1987. Hambali pun kembali ke Malaysia pada April 1988. Dua tahun Hambali digembleng di Afghanistan. Ia mendapat pelajaran dan pengalaman dasar-dasar kemiliteran mulai strategi komunikasi, logistik, intelijen hingga hal teknis dan taktis di medan pertempuran. Di Afghanistan pula ia mulai akrab dengan RPG, AK-47, granat, mortir, dan bom rakitan.

Pulang ke Malaysia, ia kembali ke rutinitas normal dan membosankan. Pada 1990, Hambali ditawari Sungkar berdakwah di Tawi-Tawi, Filipina selatan. Dalam Membongkar Jamaah Islamiyah (2005), Nasir Abas menyebut Hambali tak sekadar jadi guru mengaji, ia dikirim ke sana untuk memperkuat jaringan alumni Afghanistan. Saat itu, mereka adalah pionir perlawanan rakyat Mindanao melawan Manila. Separatisme memang sudah mengakar di Flipina selatan sejak abad ke-18.

Bumbu ketidakadilan Manila yang dicap representasi Katolik terhadap rakyat Mindanao yang mayoritas Muslim selalu jadi pemantik api perlawanan di sana. Di Filipina, Hambali pun sempat berjumpa dengan pemimpin Moro Islamic Liberation Front (MILF), Salamat Hashim, yang ternyata juga alumnus Kamp Sadda. Kelak, hubungan ini yang jadi penyebab mengapa Al Qaeda dan Jamaah Islamiyah diizinkan mendirikan kamp militer Hudaibiyah dan Abu Bakar di Provinsi Lanao del Sur.

Nasir Abbas, yang kala itu juga mengembangkan Kamp Abu Bakar, menyebut kepatuhan Hambali pada Sungkar membuat relasi mereka kian akrab (hlm. 61). Pada 1995, Sungkar kembali mengaktifkan gerakan jihad yang ia konsep sejak 1980-an. Gerakan ini bernama Jamaah Islamiyah. Dan Hambali punya posisi penting dalam organisasi ini. Ia diangkat sebagai ketua Mantiqi 1 yang wilayahnya mencakup Singapura dan Malaysia.

Selama dipimpin Sungkar, proganda JI hanya sebatas retorika seruan. Maka wajar saja bila mereka tak dianggap ancaman serius. Namun semua itu berubah pada 1998 saat Sungkar meninggal karena komplikasi hati dan Hambali naik ke tampuk kekuasaan.

Di sisi lain, pada tahun yang sama, muncul Fatwa 98 (PDF) yang diserukan Osama bin Laden. Isi fatwa menyerukan seluruh sel jihad untuk menjadikan Amerika Serikat dan sekutunya sebagai target yang sah untuk dibunuh. Aksi teror pun secara beruntut terjadi di Indonesia, dimulai dari pengeboman malam Natal yang terjadi pada 2000.

Kala itu Hambali mulai jadi buronan nomor satu di Asia Tenggara. Di sisi lain, ia mulai dipuji bos-bosnya di Afghanistan. Pada Maret 2001, Ia diundang untuk datang ke Kabul berjumpa dengan Osama dan Ayman Al Zawhiri (tangan kanan Osama yang kini jadi pemimpin Al Qaeda setelah Osama tewas).

Hambali kian dicari setelah Bom Bali I meletus pada 12 Oktober 2002 dan menewaskan 202 orang. Ia ditengarai memberi mandat kepada Mukhlas, Amrozi, dan Imam Samudera untuk melakukan aksi.

Kurang dari setahun kemudian, tepatnya pada 5 Agustus 2003, bom dengan daya besar meledak di Hotel J.W Marriot. Bom ini membunuh 11 orang dan melukai 81 orang lainnya. Sebagai pemimpin JI, Hambali mendapat dana dari Al Qaeda senilai 15.000 dollar yang kemudian ia teruskan pada Noordin M. Top dan Dr. Azhari lewat perantara seseorang bernama Lillie. Uang ini dipakai untuk modal membeli bahan baku bom. Informasi ini tertuang dalam dakwaan untuk Hambali yang dirilis pemerintah AS pada 21 Juni 2017.

Tahanan Indonesia Termahal

Hambali memantau aksi terorisme itu dari Bangkok, Thailand. Ia sadar bahwa hari akhirnya sebagai pelarian sudah dekat. Untuk menghindari kejaran polisi, ia sempat mencoba kabur ke Laos, Kamboja, dan Vietnam. Namun, opsi untuk tetap di Thailand dirasanya lebih aman.

Meski begitu, ia sudah merasa akan ditangkap polisi Thailand. Penyebabnya bukan aksi bom di Jakarta, melainkan kabar penangkapan Aziz Hajincheming, Ismael Smann, dan sel-sel JI lain di Kamboja pada Mei 2003.

Di sisi lain, petinggi Al Qaeda yang sering memberinya uang saku, Khalid Sheikh Mohammed dan Ammar al-Baluchi, ditangkap CIA di Pakistan. Hasil interogasi mengungkap adanya transaksi uang yang cukup besar ke Bangkok. Dari sinilah CIA dan intelijen Thailand mulai bergerak. Dari nomor rekening dan ponsel, terlacaklah posisi Zubair—tangan kanan Hambali yang kemudian tertangkap pada Juli 2003. Zubair dibekuk saat hendak menyeberang ke luar Thailand.

Beberapa minggu kemudian, sosok yang menemani pelarian Hambali, Lillie, tertangkap di Bangkok saat hendak mengurus perpanjangan paspor palsu milik bosnya. Ketika bersembunyi di Thailand, Hambali memang memakai paspor Pakistan.

Sama seperti Zubair, Lillie menolak untuk bekerjasama. Berdasarkan laporan The Nation pada 21 Agustus 2003, ternyata tanpa harus mengorek informasi dari Lillie, secara beruntung polisi Thailand menemukan sebuah kunci kamar Apartemen Boon Yarak di Ayutthaya, kota wisata 75 kilometer dari Bangkok.

Trithos Ronnatthiwichai, komandan pasukan khusus Divisi 2, malam itu juga langsung menelepon kantor polisi di Ayutthaya. Sialnya, kantor polisi saat itu sudah lewat jam kerja. Beberapa petugas polisi sudah pulang meninggalkan pos masing-masing. Beruntung wakil kepala polisi Ayutthaya, Nares Nanthachote, masih ada di kantor. Dengan sigap Nares membawa 10 petugas yang ada mendatangi apartemen itu.

Nares langsung meminta salinan terbaru wajah Hambali pada atasannya. Agak sedikit sukar memang mengenali buronan nomor satu di Asia Tenggara ini sebab dia seringkali mengoperasi wajah untuk mengelabui polisi.

Penggerebekan dirancang sedemikian hati-hati sebab Hambali berpotensi mencelakai tim penyerbu atau penghuni lain. Strategi pun dirancang agar memancing Hambali keluar dari apartemennya. Caranya dengan meminta manajer apartemen memanggilnya ke lobi dengan dalih ada panggilan telepon penting. Hambali pun terpancing.

Infografik Mozaik Jejak Pergerakan Hambali

Seorang lelaki bertubuh gempal berjalan menuju lobi tanpa ada rasa curiga. Ia muncul dengan setelan kasual, tanpa jenggot, dengan mengenakan celana jins, kaos oblong, topi baseball, dan kacamata hitam. Tampilannya tampak seperti pria Asia normal.

Dengan cekatan, polisi berpakaian preman langsung membekuk pria tersebut. Sebelum diciduk, Hambali sempat mengambil pistol 9 mm yang terselip di pinggangnya. Namun, seorang letnan polisi menyergapnya hingga jatuh.

Itulah akhir dari pelarian Hambali selama bertahun-tahun. Proses penangkapan Lillie yang kemudian mengarah pada Hambali berlangsung kurang dari enam jam. Penangkapan ini terjadi pada 11 Agustus 2003, tepat hari ini 15 tahun lalu.

Pejabat kontra-terorisme AS dan beberapa negara Asia Tenggara termasuk Indonesia bertempik sorak merayakan kesuksesan ini. Usai ditangkap, Hambali dibawa ke fasilitas interogasi CIA di Yordania dengan pesawat carteran. Nasibnya terdeteksi saat ia dibawa ke penjara Guantanamo, Kuba setahun berikutnya.

Sampai sekarang, pria yang akrab disapa Encep di kampungnya ini masih ditahan di sana. Hanya tahanan kelas wahid—petinggi Al Qaeda—yang ditahan di Guantanamo. Penjara ini memang dikenal memiliki pengamanan ekstra ketat. Itulah mengapa wajar saja bahwa Hambali layak mendapat gelar sebagai tahanan Indonesia termahal. Total biaya pengamanannya hingga 2015 mencapai 10 juta dollar atau Rp144 miliar.

Baca juga artikel terkait TERORISME atau tulisan lainnya dari Aqwam Fiazmi Hanifan

tirto.id - Humaniora
Penulis: Aqwam Fiazmi Hanifan
Editor: Ivan Aulia Ahsan