Menuju konten utama
Obituari

Akhir Hayat Ginger Baker, Drummer Legendaris Cream

Kokain, jazz, dan drum: tiga elemen yang membentuk perjalanan hidup Ginger Baker.

Akhir Hayat Ginger Baker, Drummer Legendaris Cream
Eric Clapton (kiri), Ginger Baker (tengah) dan Jack Bruce, anggota kelompok rock and roll Cream tahun 1960-an, berpose saat upacara induksi untuk Hall of Fame Rock and Roll di Los Angeles. (AP Photo/Chris Martinez)

tirto.id - Ginger Baker tahu betul bagaimana cara untuk bersenang-senang dengan musik. Ketika namanya melejit bersama Cream, ia tak sekadar dikenal sebagai drummer mumpuni, melainkan juga simbol rock 'n roll, yang saat itu tengah digandrungi anak-anak muda di (hampir) seluruh dunia.

Baker mendobrak segala atribut yang melekat pada seorang drummer. Alih-alih duduk di kursinya, Baker tampil mencuri perhatian. Ia ikut menyanyi, berimprovisasi, dan kerap mengambil alih panggung dengan solo-solo maut nan panjang.

Minggu (6/10), seperti diwartakan Pitchfork, Baker menutup mata untuk selama-lamanya setelah melewati masa kritis. Ia menyusul John Bonham dan Keith Moon, dua kawan satu angkatannya, yang lebih dulu meninggal dunia.

Dari Atlet Sepeda ke Panggung Dunia

Perang Dunia II baru meletus tatkala Baker lahir dengan nama Peter Edward Baker pada Agustus 1939 di London. Sewaktu kecil, Baker bercita-cita menjadi atlet sepeda yang kelak berpartisipasi dalam gelaran Tour de France. Menurutnya, ia punya modal fisik yang prima: tubuh kurus dan tinggi. Namun, cita-cita itu terpaksa lenyap usai ia tertabrak taksi.

Baker pun mengalihkan perhatiannya ke drum. Antusiasmenya melambung dan sadar bahwa ia punya cukup bakat untuk memainkan alat musik ini. Di bawah asuhan Phil Seamen, drummer yang dihormati di kancah jazz Inggris era 1950 dan 1960-an, Baker mengasah kemampuannya.

“Hi-hat, bass drum, simbal. Aku tak tahu bagaimana [memainkannya], tapi aku yakin bisa melakukannya,” tegas Baker.

Sebelum usianya genap 18 tahun, Baker menancapkan reputasinya di Soho, pusat kancah jazz di Inggris kala itu. Bersama Diz Disley dan Terry Lightfoot, ia memainkan repertoar yang terinspirasi bebop-jazz garapan Charlie Parker sampai Dizzy Gillespie.

Memasuki dekade 1960-an, saat blues menyapu daratan Inggris, Baker bergabung dengan Alexis Korner’s Blues Incorporated, mendampingi Graham Bond, Jack Bruce, dan Dick Heckstall-Smith. Baker sendiri menggantikan posisi Charlie Watts yang kemudian dikenal sebagai drummer The Rolling Stones.

Band tersebut tak berlangsung lama. Didorong keinginan untuk mendapatkan uang, Baker, bersama Bond dan Bruce, memilih pecah kongsi dan mendirikan Graham Bond Organization. Popularitas mereka menanjak dan menjadi salah satu band panas di skena blues Inggris.

Tapi, sekali lagi, nasib Graham Bond juga tak abadi. Pangkalnya: konflik antara Bruce dan Baker yang sulit didamaikan. Dalam satu konser, misalnya, Baker melempar stik drum ke kepala Bruce. Konflik ini berujung pada pemecatan Bruce.

Kendati begitu, keduanya bertemu kembali pada 1966 ketika Cream dibentuk. Eric Clapton, yang tengah jadi bahan pembicaraan di khalayak karena kemampuan gitarnya, setuju bergabung dengan band Baker asalkan Bruce juga direkrut. Baker tak bisa menolak.

Tak butuh lama bagi Cream untuk menjelma band rock bernas di Inggris. Mereka dicatat sejarah sebagai salah satu peletak fondasi heavy metal dan rock psikedelik—sesuatu yang ditolak oleh Baker.

“Kami luar biasa hebat dan itulah mengapa kami memanggil diri kami Cream,” katanya, seperti yang termaktub dalam film dokumenter Beware of Mr. Baker (2012).

Dalam kurun waktu empat tahun, Cream merilis empat buah album, dari Fresh Cream (1966), Disraeli Gears (1967), Wheels of Fire (1968), sampai Goodbye (1969). Nomor-nomor andalan yang mereka hasilkan antara lain “Sunshine of Your Love”, “Strange Brew”, sampai “White Room”. Album Cream menguasai jagat radio, tangga lagu, dan berhasil terjual lebih dari 15 juta kopi di seluruh dunia.

Namun, masa keemasan itu tidak berlangsung lama akibat serangkaian masalah internal yang tak kunjung reda: kredit penciptaan lagu, royalti, hingga pertengkaran abadi Baker-Bruce.

“Cream sudah kena kutukan tiga bulan setelah berdiri,” terang Baker. “Itu bandku, dan Bruce mencoba memecatku! Aku bahkan tidak mendapatkan kredit dari lagu yang ada. Itu membuatku muak sepanjang hidup.”

Setan di Balik Perkusi

Baker pernah mengatakan ia tak memainkan rock dan lebih suka musisi jazz. Ungkapan Baker tak sepenuhnya salah. Permainannya memang kerap berbau jazz daripada rock.

Permainan drum Baker adalah ruang improvisasi yang luas. Dengan piawainya ia mampu memadukan pukulan snare, tom, hi-hat, dan hentakan double bass drum menjadi satu kesatuan yang kokoh. Permainannya rapi, ritmis, bertenaga, liar, dan kadang tak mudah ditebak.

Salah satu contoh terbaik yang menggambarkan hal tersebut adalah kala ia bermain solo sepanjang lima menit lebih di nomor “Toad”. Dalam solo tersebut, Baker menggabungkan bermacam sensibilitas: dari tradisi jazz yang dipelopori Louie Bellson, Rufus Jones, hingga kecepatan musik-musik rock klasik era 1960-an. Bruce menyebut solo drum Baker bisa membuatnya “rehat sejenak di atas panggung sembari mengisap rokok.”

Ada banyak nomor yang memperlihatkan kedahsyatan gebukan drum Baker, terutama ketika nomor-nomor ini dibawakan secara live. Di “Spoonful,” misalnya, Baker memainkan drumnya seperti orang kesurupan.

Sentuhan magisnya tak luntur meski Cream bubar di akhir 1960-an. Bahkan, kemampuannya kian berkembang dengan referensi warna musik yang sangat beragam: afrobeat (“Let’s Start”), world music (“Ikoyi Mentality Versus Mushin Mentality”), sampai fusion (“Ginger Space” dan “Da Da Man”).

Neil Peart, drummer Rush, pernah mengatakan bahwa pukulan drum Baker “sangat inovatif” sehingga bikin drummer lainnya terpengaruh—entah disadari atau tidak.

Dipenuhi Masalah

Kehidupan Baker usai Cream bubar penuh gejolak, sekalipun ia tetap disibukkan dengan pelbagai proyek seperti Public Image Ltd, Hawkwind, Blind Faith, sampai Masters of Reality.

Pada akhir 1970, seperti dicatat Jay Bulger dalam “The Devil and Ginger Baker” yang terbit di Rolling Stone, Baker memutuskan pindah ke Nigeria. Penyebabnya: kematian Jimi Hendrix yang tersedak muntahannya sendiri setelah menikmati kokain.

Kematian Hendrix membuat Baker terpukul. Ia kehilangan salah satu sahabatnya. Selain itu, Baker sendiri juga seorang pecandu. Ia takut nasibnya bakal berakhir sama dengan Hendrix.

“Aku harus pergi dari London,” ungkapnya. “Aku punya uang dan waktu. Jadi, aku pergi ke Afrika.”

Di Nigeria, tepatnya di Lagos, Baker membangun studio rekaman bernama Batakota untuk menampung bakat-bakat musisi lokal. Ia juga menjalin pertemanan dengan Fela Kuti—ikon afrobeat sekaligus musuh junta militer Nigeria—serta membikin beberapa karya kolaborasi.

Tony Allen, anggota band Fela, menyebut Baker “memahami beat Afrika ketimbang musisi Barat lainnya.” Tak hanya bermusik, di Nigeria, Baker juga mengembangkan hobi lain seperti olahraga polo bersama Lagos Polo Club yang beranggotakan tentara.

Hidup Baker di Nigeria tak berlangsung lama. Ia terbentur masalah dengan rekan bisnisnya yang punya bekingan polisi lokal. Baker pun diancam untuk segera meninggalkan Nigeria.

Dari Nigeria, Baker kembali ke London dengan kondisi bangkrut. Untuk mengisi dompetnya lagi, Baker bekerja sebagai penjual narkoba. Yang lucu, atau mungkin ironis, ia cukup sering menjual barang dagangannya di studio tempat Clapton merekam lagu.

Kondisinya tak kunjung membaik termasuk ketika ia memutuskan cabut ke Tuscany, Italia, pada awal 1980-an. Niatnya jadi petani, Baker malah tersandung kasus dengan mafia setempat karena urusan obat-obatan. Hidupnya berantakan sebelum akhirnya diselamatkan oleh seorang produser bernama Bill Laswell.

Infografik Ginger Baker

Infografik Ginger Baker. tirto.id/Sabit

“Tidak ada listrik dan ia tidur di tempat yang mungil bersama anjing-anjingnya. Sungguh ajaib bahwa ia masih hidup,” ucapnya menjelaskan kondisi Baker di Tuscany.

Oleh Laswell, Baker lalu diboyong ke New York untuk diajak merekam album Horses & Trees dan Middle Passage yang menggabungkan jazz serta world music.

Hidup Baker masih seperti seorang gelandangan: berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat yang lain. Ia pernah tinggal di California, Colorado, hingga Afrika Selatan. Pemicunya pun juga macam-macam: masalah ketergantungan heroin sampai kasus pajak dengan otoritas Inggris. Keadaan itu berimbas pada kesehatannya yang makin hari makin menurun.

Meski begitu, Baker menolak kalah. Ia tetap berupaya menikmati hidup dengan membikin album dan melangsungkan reuni dengan kawan-kawannya di Cream, walaupun tak berakhir mulus. (Baker terlibat konfrontasi dengan Bruce saat di panggung karena sound bass Bruce dianggap “kelewat keras.”)

Mantan istri Baker, Elizabeth Ann, pernah mengungkapkan bahwa jika pesawat terbang yang jatuh dan hanya ada satu penumpang yang selamat, maka orangnya pasti adalah Baker. “Karena ia iblis yang bisa menjaga dirinya sendiri,” ujar Ann.

Kini iblis itu telah pergi.

“Kamu tahu, suatu hari, mereka akan membawa semua manusia ke Mars dan meninggalkan kita. Itu yang akan terjadi!” ucapnya pada 2009 silam. “Tapi, kematian adalah petualangan terakhir yang hebat! Saat aku mati nanti, aku ingin dimasukkan di dalam peti mati dan tolong larung aku ke laut!”

Baca juga artikel terkait OBITUARI atau tulisan lainnya dari Faisal Irfani

tirto.id - Musik
Penulis: Faisal Irfani
Editor: Windu Jusuf