Menuju konten utama

Akar Konflik Maroko-Aljazair, Mengapa Berlanjut Sampai Sekarang?

Aljazair membentuk diskursus bangsa-negara via sejarah penjajahan. Maroko, sebagai "saudara" Aljazair, menarik diskursus ke masa lalu, Greater Morocco.

Akar Konflik Maroko-Aljazair, Mengapa Berlanjut Sampai Sekarang?
Header Mozaik Maroko. tirto.id/Ecun

tirto.id - Piala Dunia 2022 kembali menelan korban. Seorang direktur televisi di Aljazair bernama Chabane Lounakel dipecat gara-gara menyiarkan cuplikan kemenangan Maroko atas Portugal. Ya, Pemerintah Aljazair memang melarang setiap media memberitakan kemenangan Maroko.

Larangan ini muncul seiring ketegangan kedua negara beberapa tahun terakhir. Pada 24 Agustus 2021, Aljazair memutuskan hubungan diplomatik dengan Maroko. Mereka juga menutup wilayah udaranya bagi setiap pesawat sipil dan militer yang terdaftar di Maroko.

Permusuhan kedua negara ini bisa digali pada tahun-tahun lampau saat mereka tidak mengenal yang namanya perbatasan wilayah.

Berdiri kokoh sebagai benteng pertahanan terpanjang yang aktif digunakan hingga saat ini, Berm bukan hanya membelah gurun pasir seluas dua kali lipat pulau Jawa bernama Sahara Barat. Ia juga menjadi saksi bisu dahaga Maroko yang tak pernah usai akan pembangunan kembali kejayaan Greater Morocco.

Usai menggenggam kembali kedaulatannya dari Prancis per 2 Maret 1956, Maroko punya wilayah seluas 419.888 kilometer persegi. Menurut Anthony S. Reyner dalam “Morocco's International Boundaries” (The Journal of Modern African Studies, 1963), wilayah Maroko tumbuh 27.992 kilometer persegi sebulan kemudian kala Spanyol melepaskan Protektorat Utaranya, padang pasir belum berkembang di sepanjang Selat Gibraltar.

Lima bulan setelahnya, dimotori transfer kekuasaan dari Tangier International Committee of Control, tambahan tanah seluas 372 kilometer persegi masuk dalam pelukan kedaulatan Maroko. Itu masih dilanjutkan dengan tambahan wilayah seluas 34.439 kilometer persegi dari tangan Spanyol yang menyerah menguasai Protektorat Selatannya pada April 1958.

Perluasan wilayah itu belum usai di situ. Diinisiasi sentimen nasionalisme yang digembar-gemborkan Partai Istiqlal, Maroko mengklaim secara sepihak penguasaan atas wilayah Sahara Barat sepanjang 2.700 kilometer.

Wilayah itu merupakan bekas jajahan Spanyol, tempat tembok Berm berdiri membelah sisi Barat Laut dan Tenggara. Namun, klaim Maroko atas Sahara Barat tak bisa dibenarkan. Pasalnya, itu merupakan wilayah Republik Demokratik Arab Sahrawi (diplokamasikan pada 27 Februari 1976) hidup bersama pasukannya Front Polisario.

Seperti dilaporkan Nicolas Niarchos dalam “Is One of Africa's Oldest Conflicts Finally Nearing its End?” (The New Yorker, Desember 2018), Polisario-lah yang sebenarnya berhasil mengusir penjajah Spanyol.

Catatan historis juga melemahkan klaim itu. Berlandaskan surat yang dikirim Sultan Maroko pada Raja Spanyol pada 1767, Maroko pernah menyatakan bahwa Sahara Barat, "Sangat terpisah dari kekuasaan saya dan saya tidak memiliki kuasa atas mereka."

Sengketa Maroko dan Sahara Barat menggiring pada konflik berdarah yang memakan korban tak kurang dari 21.000 jiwa dan hingga kini belum usai. Sayangnya, atas kedekatan Polisario dengan Soviet, Muammar Qaddafi, serta Kuba di masa-masa perjuangannya melawan penjajahan, Maroko berhasil meyakinkan Barat, khususnya Amerika Serikat, bahwa klaimnya tepat dilakukan.

Terlebih, Maroko percaya bahwa Polisario merupakan kelompok paramiliter ciptaan Aljazair—bangsa serumpun yang dianggap musuh utama, bukan masyarakat lokal Sahara Barat.

Maroko-Aljazair

Tatkala Perancis menaklukkan wilayah yang kini menjadi Aljazair modern, "Perancis tidak memiliki rencana untuk merebut seluruh (wilayah) Aljazair (modern)," tutur Alf Andrew Heggoy dalam “Colonial Origins of the Algerian-Moroccon Border Conflict of October 1963” (African Studies Review, 1970).

Ini terjadi karena masyarakat Aljazair tidak mengenal konsep perbatasan ala Barat, bahkan tak juga mengenal konsep bangsa atau negara. Hubungan kekuasaan maupun kesadaran sebagai satu kesatuan di masa pra-kedatangan Barat umumnya ditunjukkan melalui kesamaan agama atau klan.

Kelompok-kelompok masyarakat Aljazair dulunya hidup tak tersekat batas-batas negara karena sama-sama didominasi penganut Islam via semangat "atamanaa an yaeish alrijal mean" (semua orang hidup bersama) dalam pondasi "Union du Maghreb Arabe" (Serikat Arab Maghrib).

Oleh karena itu, saat Perancis menaklukan seluruh "Kabupaten Aljazair" pada 1837, tidak ada yang tahu pasti seberapa luas Aljazair itu sebenarnya.

Namun, dimotori kedatangan Barat, "nasionalisme akhirnya muncul di Aljazair [...] sebagai bentuk perlawanan terhadap penjajahan," tulis Heggoy. Singkat, dalam relung sosio-kultural Aljazair, bangsa atau negara "dibentuk oleh sejarah penjajahan."

Karena sejarah kolonialisme yang berbeda, perjalanan Aljazair kemudian terpisah dari “saudaranya”, Maroko. Berbeda ketimbang Aljazair yang sama-sekali tidak mengenal konsep bangsa-negara, Maroko membentuk diskursus kebangsaannya dan identitas kesatuan via sejarah kejayaan Greater Morocco.

Padahal, bahkan dalam keyakinan pejabat-pejabat kolonial Perancis sekalipun—semisal ditunjukkan oleh Eugene Etienne pada 1912, tidak ada alasan apapun bagi Maroko dan Aljazair terpisah sebagai dua bangsa dan negara berbeda.

Maroko lebih dulu melakukan perlawanan terhadap penjajahan Barat. Maroko bertarung melawan pasukan Perancis pada 1844, misalnya, demi memperebutkan pelabuhan yang terletak di bagian Barat regional Maghrib.

Ditengahi Inggris yang tiba-tiba membela pasukan Maroko, pertarungan tersebut berbuah Konvensi Lalla Marnia pada 1845. Berdasar konvensi itu, Maroko mendapat kuasa atas teritorial Maghrib bagian barat dengan garis delineasi yang disepakati hanya berjarak sekitar 160 kilometer ke arah Teniet Sassi dan Figuig.

Dalam penyerahan kekuasaan tersebut, semua suku yang mendiami wilayah itu diberikan untuk dikuasai Maroko. Namun, karena Maroko masih awam soal konsep perbatasan teritorial, penyerahan kuasa suku-suku tersebut tak mengikutkan wilayah-wilayah padang rumput yang dikuasai suku-suku itu.

Bahkan, Maroko tak keberatan jika gurun tak berpenghuni atau "res nullius" milik suku-suku tersebut—kini dikenal sebagai Tindouf—dikuasai Perancis.

Infografik Mozaik Maroko

Infografik Mozaik Maroko. tirto.id/Ecun

Sebagaimana dipaparkan Karen Farsoun dalam “War in the Sahara” (Middle East Research and Information Project, 1976), Perancis kemudian menemukan endapan bijih besi bermutu tinggi serta minyak dan gas alam yang besar di awal 1950-an.

Kala benar-benar merdeka pada 1956, Maroko mempertanyakan status kedaulatan Tindouf pada Perancis. Terlebih, Maroko mulai menyadari wilayah tersebut secara tradisional merupakan milik suku-suku yang dikuasinya via Konvensi 1845.

Namun, Perancis bergeming. Perancis tegas menetapkan bahwa Tindouf adalah bagian Aljazair Perancis—setidaknya untuk sementara waktu.

Mengapa sementara? Kala pejuang-pejuang memperoleh momentum mengalahkan Perancis pada awal 1950-an, Perancis terdesak dan menawarkan konsolidasi pada Maroko. Dengan mahar berupa wilayah Tindouf, Perancis meminta pasukan Maroko mengatasi pasukan-pasukan Aljazair yang saat itu juga tengah menekannya di segala penjuru.

Awalnya, Maroko tak mau bekerja sama dengan Perancis karena membenci kolonialisme. Bahkan, pada Juli 1961, Maroko memberikan perlindungan terhadap pasukan-pasukan Aljazair.

Tahu wilayah Tindouf secara tradisional dimiliki suku-suku yang dikuasi Maroko, Aljazair lalu membalas perlindungan tersebut dengan menyepakati persoalan Tindouf akan dibahas bersama-sama pasca kedua negara merdeka.

Nahas, kala merdeka sebulan kemudian, penguasa Aljazair yang baru menolak mengakui kesepakatan tersebut. Musababnya, penguasa Aljazair secara tegas menetapkan bahwa wilayah mereka harus sesuai dengan apa yang ditinggalkan Perancis.

Akibatnya, tepat pada Juli 1962, pasukan Maroko merangsek menyerang Aljazair dari pelbagai penjuru, khususnya melalui Colombbechar. Sempat hiatus, serangan yang lebih besar dilanjutkan pada Juli 1963. Aljazair tentu saja melawan serangan itu dengan gempuran balik besar-besaran.

Konflik itu memuncak pada terjadinya Perang Pasir 1963 yang berlangsung selama empat bulan, tiga minggu, dan lima hari. Atas lobi Aljazair, Dewan Keamanan PBB dan Liga Arab pun ikut serta menengahi konflik dua negara itu.

Pada Januari 1964, Mesir mensponsori kesepakatan damai di antara Aljazair dan Maroko dengan mahar berupa penyerahan Tindouf pada Aljazair. Sebagai gantinya, Maroko diberi hak pengelolaan bersama atas mineral yang dikandung di perut wilayah tersebut.

Kesepakatan damai itu, sialnya, ternoda karena dukungan Aljazair terhadap Republik Demokratik Arab Sahrawi. Itu menuntun pada babak baru panasnya relasi Maroko-Aljazair yang berlangsung hingga saat ini.

Baca juga artikel terkait MAROKO atau tulisan lainnya dari Ahmad Zaenudin

tirto.id - Politik
Penulis: Ahmad Zaenudin
Editor: Fadrik Aziz Firdausi