Menuju konten utama

AJI Sebut Sanksi Media di RUU Cilaka Seperti Masa Orba

Aliansi Jurnalis Indepeden Indonesia kritik pasal sanksi administratif di RUU Cipta Kerja Omnibus Law karena membawa ke masa orde baru.

AJI Sebut Sanksi Media di RUU Cilaka Seperti Masa Orba
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto didampingi Menteri BPN Sofyan Djalil, Menkum HAM Yasonna Laoly, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya, Menteri Keuangan Sri Mulyani menyerahkan surat presiden (surpres) tentang RUU Cipta Kerja kepada pimpinan DPR Puan Maharani di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Rabu (12/2/2020). ANTARA FOTO/Puspa Perwitasari/ama.

tirto.id - Aliansi Jurnalis Indepeden (AJI) Indonesia mengkritik salah satu pasal yang ada di dalam RUU Cipta Kerja Omnibus Law, khususnya yang berkaitan dengan media dan pers. Salah satu yang dikritik adalah pasal 18 yang mengalami perubahan di dalam UU Pers No. 40 tahun 1999.

Sebelumnya, pasal 18 di dalam UU tertulis : "Perusahaan pers yang melanggar ketentuan Pasal 9 ayat (2) dan Pasal 12 dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah)."

Namun, dalam RUU Cipta Kerja Omnibus Law, pasal 18 menjadi : "Pasal 18 Perusahaan pers yang melanggar ketentuan Pasal 9 ayat (2) dan Pasal 12 dikenai sanksi administratif. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis, besaran denda, tata cara, dan mekanisme pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah."

Klausul "sanksi administratif yang diatur oleh Peraturan Pemerintah" tersebut dikritik oleh Ketua AJI Indonesia Abdul Manan dalam rapat dengar pendapat umum (RDPU) bersama Badan Legislasi DPR RI, Dewan Pers, dan akademisi, Kamis (11/6/2020) siang.

"Kita melihat bahwa dengan memberikan kesempatan untuk mengatur hal detail tentang pers kepada pemerintah ini kurang sejalan dengan prinsip dari UU Pers yang semangatnya self-regulatory. Di mana diberi kepercayaan untuk mengatur dirinya sendiri," kata Abdul Manan dalam paparannya.

Ia mengatakan pers saat Orde Baru nyaris tak punya kewenangan untuk mengatur dirinya sendiri karena dikendalikan sepenuhnya oleh rezim melalui instrumen Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SUIPP), yang dikontrol oleh Kementerian Penerangan kala itu.

Abdul Manan menilai, klausul seperti memberikan kembali kewenangan kepada pemerintah untuk mengatur pers, kendati sifatnya hanya administratif. Ia khawatir pemerintah akan sesuka hati membuat Peraturan Pemerintah tanpa melibatkan pegiat pers itu sendiri.

"Menurut saya ini ini bukan sebuah kemajuan bagi sebuah RUU yang akan dibuat," katanya.

Abdul Manan mengaku sangat yakin kalau penggunaan diksi "sanksi administratif" bagi dunia pers akan ditafsirkan berbeda dengan pemerintah, dan akhirnya akan berdampak secara substantif efeknya. Ia meminta para anggota dewan untuk belajar dari Orde Baru mengekang pers.

"Karena di masa Orde Baru, khususnya Kementerian Penerangan, selalu bilang bahwa SIUPP itu instrumen administratif yang hanya membatalkan izin. Tapi dalam praktik kita tahu hal yang administratif itu bisa menjadi substantif. Ketika pers dicabut izinnya, dia tidak terbit. Itu administratif tapi dampaknya substantif. Dalam istilah politiknya itu pembredelan," katanya.

Baca juga artikel terkait RUU CIPTAKER atau tulisan lainnya dari Haris Prabowo

tirto.id - Hukum
Reporter: Haris Prabowo
Penulis: Haris Prabowo
Editor: Reja Hidayat