Menuju konten utama

AJI Nilai Pemerintah dan DPR Belum Serius Wujudkan Kebebasan Pers

AJI Indonesia menilai pemerintah dan DPR belum menunjukkan komitmen serius dalam mewujudkan kebebasan pers. Salah satu buktinya, pasal-pasal yang mengancam jurnalis tak kunjung direvisi.

AJI Nilai Pemerintah dan DPR Belum Serius Wujudkan Kebebasan Pers
Komisioner Komnas HAM Amiruddin al Rahab (kanan) didampingi Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Abdul Manan (tengah), dan Ketua YLBHI Asfinawati (kiri) memberikan paparan saat diskusi publik di Kantor Komnas HAM, Jakarta, Jumat (8/2/2019). ANTARA FOTO/Rivan Awal Lingga/foc.

tirto.id - Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia Abdul Manan menilai pemerintah dan DPR belum serius menunjukkan komitmen untuk menjamin kebebasan pers.

Manan mencontohkan pasal-pasal dalam KUHP dan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang mengancam jurnalis tidak kunjung direvisi.

Sejumlah pasal yang menjadi sorotan Manan itu adalah yang memuat frasa “menyebarkan berita bohong” dan “pencemaran nama baik”. Dia mengatakan pasal-pasal seperti itu bisa menjadi dasar kriminalisasi terhadap jurnalis dan membuat iklim kebebasan pers di Indonesia jadi tidak kondusif.

“Pemerintah dan DPR RI kurang menunjukkan semangat untuk merevisi [pasal-pasal] itu. Iklimnya belum mendukung untuk kebebasan pers,” kata Manan saat dihubungi reporter Tirto pada Minggu (10/2/2019).

Manan menambahkan penegakan hukum terhadap banyak kasus kekerasan terhadap jurnalis juga lemah. Kondisi ini membuat kualitas kebebasan pers di Indonesia rendah.

Berdasarkan data yang dihimpun AJI pada penghujung 2018, setidaknya ada 64 kasus kekerasan terhadap jurnalis yang terjadi di sepanjang tahun lalu. Peristiwa yang digolongkan sebagai tindak kekerasan itu meliputi pengusiran, penganiayaan, hingga pemidanaan terkait karya jurnalistik.

Menurut Manan, tingginya kasus kekerasan itu dikarenakan masih adanya impunitas pelaku. Dia mengatakan banyak pelaku kekerasan terhadap jurnalis tidak diproses secara hukum. Hal itu membuat kasus kekerasan terus berulang.

“Kekerasan itu salah satu faktor yang berkontribusi terhadap kondusif atau tidaknya iklim kebebasan pers,” ujar Manan.

Dia menambahkan kesejahteraan jurnalis yang rendah juga menjadi faktor yang membuat kualitas kebebasan pers di Indonesia masih buruk.

Menurut Manan, kesejahteraan menjadi salah satu faktor yang dapat memengaruhi kualitas kinerja jurnalis. AJI Indonesia telah meluncurkan survei terkait upah layak jurnalis di Indonesia baru-baru ini. Dari temuan AJI Indonesia itu, jumlah perusahaan media massa yang menggaji jurnalisnya secara layak tercatat tidak banyak.

“Belum lagi kalau kita lihat [jurnalis] di daerah, masih banyak yang tidak memenuhi standar upah minimum. Peran yang dilakukan pemerintah bisa dengan mendorong perusahaan media untuk mematuhi, setidaknya memberi upah sesuai ketentuan pemerintah,” kata Manan.

Dia menjelaskan UU Ketenagakerjaan sebetulnya sudah mengatur soal pengawasan pemerintah terhadap perusahaan yang menggaji karyawannya di bawah standar upah minimum. Pemerintah, kata dia, bisa menerapkan pengawasan ke perusahaan-perusahaan media. Namun, Manan menilai pengawasan dari pemerintah masih lemah.

Baca juga artikel terkait KEBEBASAN PERS atau tulisan lainnya dari Damianus Andreas

tirto.id - Hukum
Reporter: Damianus Andreas
Penulis: Damianus Andreas
Editor: Addi M Idhom