Menuju konten utama

AJI Kritik Pengusiran 8 Jurnalis Asing di Jakarta & Papua

Pemerintah Indonesia melakukan pengusiran terhadap delapan jurnalis asing yang meliput di Jakarta dan Papua, Aliansi Jurnalistik Indonesia memprotes keras tindakan tersebut.

AJI Kritik Pengusiran 8 Jurnalis Asing di Jakarta & Papua
Diskusi Publik "Kebebasan Pers dan Kebebasan Berekspresi di Papua" di Hotel Atlet Century, Jakarta, Selasa, (3/5). tirto.id/Andrey Gromico.

tirto.id - Beberapa hari setelah jadi tuan rumah Hari Kebebasan Pers Dunia 2017, pemerintah Indonesia justru melakukan pengusiran terhadap delapan jurnalis asing yang meliput di Jakarta dan Papua. Aliansi Jurnalistik Indonesia (AJI) memprotes keras tindakan pemerintah Indonesia yang dinilai mengancam kebebasan pers tersebut.

Dua jurnalis dipaksa keluar dari Jakarta oleh pihak Imigrasi, sementara enam lainnya dipulangkan dari Papua. Kedelapan jurnalis ini dianggap melakukan aktivitas jurnalistik secara ilegal, karena tidak memiliki visa jurnalis.

Informasi yang didapatkan AJI Indonesia menyebutkan, dua jurnalis yang dipaksa keluar dari Jakarta adalah Vilhelm Stokstad dan Axel Kronholm. Keduanya adalah jurnalis foto dan pembuat film dokumenter asal Swedia. Sementara enam jurnalis yang keluar dari Papua bekerja untuk rumah produksi Nagano di Jepang.

Vilhelm dan Axel dibuntuti oleh petugas imigrasi Jakarta, seusai keduanya meliput demonstrasi pada Jumat (5/5/2017) yang digelar oleh Gerakan Nasional Pengawal Fatwa Majelis Ulama Indonesia (GNPF MUI) di sekitar Masjid Istiqlal, Jakarta.

“Mereka mengikuti kami dari demonstrasi ke restoran di mana mereka mendekati kami dan membawa kami ke kantor mereka untuk diinterogasi satu per satu. Setelah menanyai Axel selama dua puluh menit, saya juga dibawa masuk ke ruangan itu. Kami kemudian terpaksa menghapus semua gambar dari demonstrasi tersebut, terutama yang memiliki bendera, dan berjanji untuk tidak mempublikasikan apapun tentang hal itu,” jelas Vilhelm dalam email tertulisnya.

Keduanya didekati di sebuah restoran, sebelum ditangkap untuk dibawa ke kantor imigrasi. Keduanya lantas diinterogasi satu per satu. Setelah diinterogasi, Vilhelm dan Axel dipaksa menghapus semua gambar dari demonstrasi yang diliputnya, khususnya hasil bidikan yang di dalamnya terdapat bendera-bendera yang dibawa demonstran.

Proses tersebut berlanjut ke apartemen tempat mereka menginap. Di situ petugas memotret paspor kedua jurnalis, serta berulang kali mengatakan bahwa aktivitas mereka dalam meliput demonstrasi tersebut ilegal karena tidak memiliki izin meliput. Mereka akhirnya meninggalkan Indonesia beberapa waktu lalu.

Vilhelm mengatakan bahwa dirinya dan Axel telah berusaha dengan keras untuk mendapatkan visa jurnalis sebelum masuk ke Indonesia, prosesnya sudah lebih dari satu bulan. Proses birokrasinya rumit, menurut Vilhem, mulai dari permintaan untuk mengirimkan daftar narasumber, hingga meminta salah satu narasumber tujuan mereka, yakni Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), untuk menuliskan ‘surat penerimaan.’

“BNPT mengatakan harusnya bukan kami yang menulis surat permohonan kepada mereka, tetapi langsung dari kedutaan kami,” kata Vilhelm.

Dan dengan alasan hal yang diminta merupakan hal yang sangat internal, Vilhelm dan Axel kemudian diberitahu bahwa surat permohonan mereka kepada BNPT tidak dapat diteruskan.

Sementara di Papua, Kyodo News memberitakan, enam jurnalis dari Jepang ditangkap di Kota Wamena, Jayawijaya, Rabu (10/5/2017). Keenam orang itu dalam proses membuat video dokumenter Suku Mamuna dan Suku Korowai di Papua bagian tenggara.

Selain keenam jurnalis Jepang, Imigrasi Papua juga menangkap dua pemandu wisata asal Indonesia yang ketika itu mendampingi mereka, meski akhirnya dibebaskan. Setelah ditahan dan diperiksa selama sehari penuh, keenam jurnalis Jepang itu diminta keluar dari Indonesia pada Kamis (11/5/2017).

Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Suwarjono menegaskan, pengusiran delapan jurnalis asing adalah bukti bahwa Indonesia memang belum sepenuhnya terbuka bagi aktivitas jurnalistik, terutama jurnalis asing. Adanya “clearing house”—melibatkan sejumlah kementerian atau lembaga negara—untuk menyaring nama-nama jurnalis yang akan masuk ke Indonesia, menjadikan Indonesia wilayah yang gelap bagi jurnalis asing.

“Keterangan yang didapatkan AJI, proses penerbitan visa jurnalis sangatlah berbelit dan cenderung lama. Dalam kasus dua jurnalis Swedia ini, misalnya, mereka diminta untuk mengungkapkan sumber, daftar orang yang akan diwawancarai, sampai memiliki ‘surat penerimaan’ dari Badan Nasional Penanggulangan Terorisme atau BNPT,” jelas Suwarjono, Minggu (14/5/2017).

Mekanisme ini, dikatakan Suwarjono, menjadi alat pemerintah membatasi jurnalis-jurnalis yang ingin melaporkan berita-berita dari Indonesia secara langsung. Parahnya, mekanisme “clearing house” ini tidak transparan karena memang tidak memiliki dasar hukum yang jelas.

“Padahal, dengan membuka akses seluas-luasnya bagi jurnalis asing justru menguntungkan Indonesia. Jurnalis asing menjadi salah satu pintu masuk untuk mengabarkan berbagai hal positif di Indonesia. Bila ada hal-hal negatif yang ikut diberitakan, pemerintah punya kesempatan untuk menjelaskannya secara terbuka pula.” jelas Suwarjono.

Penutupan akses liputan, lanjut Suwarjono, justru merugikan pemerintah Indonesia. Karena media asing tidak mendapatkan sumber-sumber langsung, sesuai fakta lapangan, namun informasi dari pihak lain yang bisa jadi tidak akurat.

“Internet membuat semua informasi terbuka, sangat aneh kalau masih ada pembatasan secara fisik. Media tetap akan mendapat sumber yang sama dari sumber lain,” kata dia.

Khusus untuk Papua, menurut Suwarjono, pengusiran enam jurnalis Jepang memperpanjang daftar kasus kekerasan pada jurnalis di Papua. Pada 1 Mei 2017 lalu, atau dua hari menjelang Hari kebebeasan Pers Dunia 2017, kekerasan dialami jurnalis di Papua.

Yance Wenda, jurnalis Koran Jubi dan tabloidjubi.com dipukuli polisi hingga terluka, saat meliput penangkapan para aktivis Komite Nasional Papua Barat (KNPB). Sebelumnya, pada 28 April lalu, tiga wartawan televisi dari Metro TV, Jaya TV, dan TVRI diintimidasi saat meliput sidang lanjutan pidana Pilkada Kabupaten Tolikara di Pengadilan Negeri (PN) Wamena pada 28 April 2017, oleh pengunjung sidang. Polisi yang mengetahui peristiwa itu tidak berupaya melindungi ketiga jurnalis.

Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Jayapura mencatat, sepanjang tahun 2015 hingga awal 2016, hanya ada 15 jurnalis asing yang diizinkan masuk ke Papua.

Tabloidjubi.com menulis, jurnalis Radio New Zealand International, Johnny Blades mengaku membutuhkan waktu tiga bulan untuk mendapatkan visa masuk ke Papua. Meski memiliki visa peliputan, Blades ditolak oleh kepolisian dan TNI Papua saat hendak mengkonfirmasi beberapa liputan yang didapatnya.

Jurnalis Radio France, Marie Dumieres, juga dicari-cari polisi saat melakukan liputan di Papua. Maret tahun ini, Franck Jean Pierre Escudie dan Basille Marie Longchamp, jurnalis dari The Explorers Network, dideportasi.

Berdasarkan data yang dihimpun AJI Indonesia, sepanjang Mei 2016 hingga April 2017 telah terjadi 72 kasus kekerasan yang dialami oleh para jurnalis yang menjalankan profesinya. Kasus kekerasan itu bahkan didominasi bentuk kekerasan fisik, yang mencapai 38 kasus. Pengusiran dan atau pelarangan liputan juga masih marak, dengan temuan sebanyak 14 kasus.

Baca juga artikel terkait KEBEBASAN PERS atau tulisan lainnya dari Maya Saputri

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Maya Saputri
Penulis: Maya Saputri
Editor: Maya Saputri