Menuju konten utama

AJI Kecam Kekerasan Terhadap Jurnalis Saat Aksi 112

Kekerasan terhadap jurnalis saat meliput aksi 112 dinilai mencerminkan pelaku yang tidak menghargai dan menghormati‎ profesi jurnalis. AJI mengimbau agar kasus kekerasan tersebut dilaporkan ke pihak kepolisian.

AJI Kecam Kekerasan Terhadap Jurnalis Saat Aksi 112
Ilustrasi. Sejumlah jurnalis menggelar aksi demo memprotes penganiayaan yang dilakukan oknum prajurit Raider Yonif Para Raider 501/Bajra Yudha Kostrad Madiun terhadap jurnalis Net TV Sony Misdananto, Madiun, Jawa Timur, Selasa (4/10). ANTARA FOTO/Siswowidodo.

tirto.id - Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta mengecam keras intimidasi dan kekerasan yang menimpa dua jurnalis Metro TV dan seorang jurnalis Global TV di lingkungan Masjid Istiqlal, Jakarta Pusat saat hari ini, Sabtu (11/2/2017). Insiden tersebut diduga dilakukan oleh peserta aksi 112.

"AJI Jakarta mendorong jurnalis yang menjadi korban dan perusahaan persnya untuk melaporkan kasus kekerasan ke kepolisian agar kasus ini diusut hingga tuntas agar kekerasan tidak berulang," tulis Ahmad Nurhasim selaku Ketua AJI Jakarta melalui rilis yang diterima Tirto.id.

Tak hanya itu, para jurnalis juga diimbau AJI untuk tetap mengutamakan keselamatan saat meliput aksi massa yang berpotensi konflik dan tidak menghargai para jurnalis.

Untuk diketahui, tindakan intimidasi dan kekerasan terhadap jurnalis yang sedang melakukan kegiatan jurnalistik ini bertentangan dengan Undang-Undang Pers Nomor 40 tahun 1999. "Tindakan kekerasan terhadap jurnalis jelas melawan hukum dan mengancam kebebasan pers," kata Nurhasim.

Menurut AJI, tindakan kekerasan ini mencerminkan pelaku tidak menghargai dan menghormati‎ profesi jurnalis. Padahal, Nurhasim menambahkan, jurnalis dilindungi oleh Undang-Undang Pers dalam melaksanakan kegiatan jurnalistik yang meliputi mencari bahan berita, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, hingga menyampaikan informasi yang didapat kepada publik.

"Pasal 8 UU Pers dengan jelas menyatakan dalam melaksanakan profesinya jurnalis mendapat perlindungan hukum. Pers mempunyai fungsi sebagai media informasi, pendidikan, dan kontrol sosial, seperti diatur Pasal 3," jelasnya.

Tekanan dan tindakan kekerasan terhadap jurnalis dinilai akan menghalangi hak publik untuk memperoleh berita yang akurat dan benar karena jurnalis tidak bisa bekerja dengan leluasa di lapangan. “Padahal jurnalis bekerja untuk kepentingan publik," kata Nurhasim.

Sebagaimana diketahui, kasus kekerasan itu bermula saat dua jurnalis Metro TV, Desi Bo (reporter) dan Ucha Fernandes (kameraman), sedang meliput aksi 112 sekitar pukul 11.00 WIB di lingkungan Masjid Istiqlal‎, Jakarta. Karena mengetahui kedua jurnalis dari Metro TV, tiba-tiba dari kerumunan massa mengusir mereka.

Dari keterangan yang dikumpulkan AJI, kedua jurnalis Metro TV tersebut saat itu mengambil gambar di depan pintu masuk Al Fatah Masjid Istiqlal di sisi timur laut, seberang Gereja Katedral. "Belum sempat masuk, terdengar suara dari belakang 'Usir Metro TV... usir Metro TV'," demikian seperti yang dilansir dari penyataan AJI Jakarta.

Keduanya kemudian digiring oleh massa dan dicaci maki, diintimidasi, serta diperintahkan keluar dari lingkungan masjid. Adapun Ucha Fernandes dipukuli di bagian perut, leher, dan kaki, sedangkan kepala Desi dipukuli pakai bambu dan terluka. Setelah babak belur, keduanya baru bisa dikeluarkan dari kerumuman massa.

Sementara itu, juru kamera Global TV Dino juga diintimidasi saat meliput aksi tersebut. Dia dituduh tidak sopan saat menyebut nama pemimpin Front Pembela Islam Rizieq Shihab, tanpa menyertakan sebutan “Habib”. Massa memaksa dia untuk menambahkan kata “Habib” saat menyebut Rizieq Shihab.

Kasus lainnya, pada Jumat (10/2/2017) malam, mobil Kompas TV diusir oleh massa aksi 112 dari lingkungan Masjid Istiqlal.

Menurut Koordinator Divisi Advokasi AJI Jakarta Erick Tanjung, selain bisa dijerat dengan pasal pidana KUHP, pelaku intimidasi dan kekerasan terhadap jurnalis bisa dijerat Pasal 18 UU karena mereka secara melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan yang berakibat menghambat atau menghalang-halangi kemerdekaan pers dan kerja-kerja jurnalistik. Ancamannya hukuman dua tahun penjara atau denda Rp 500 juta.

“Karena itu, kami mendorong jurnalis yang menjadi korban dan perusahaan pers melaporkan tindakan kekerasan ini ke kepolisian,” ujar Erick. “Kekerasan terhadap jurnalis berulang karena pelaku dalam kasus sebelumnya tidak diadili”.

AJI mengimbau agar anggota masyarakat seharusnya tidak main hakim sendiri. Bila keberatan dengan pemberitaan di media, gunakan mekanisme protes secara beradab dengan cara melaporkan media ke Dewan Pers. Sementara itu, para jurnalis juga diingatkan untuk bekerja dengan mentaati kode etik jurnalistik dan bekerja profesional.

Atas timbulnya kejadian ini, AJI Jakarta mendorong pemimpin redaksi memperhatikan keselamatan dan keamanan jurnalisnya yang meliput aksi massa yang berpotensi konflik dan mengancam kerja-kerja jurnalistik. "Perusahaan media harus bertanggung jawab terhadap keselamatan dan keamanan jurnalisnya yang sedang bertugas," ujar Nurhasim.

Sebelumnya, kasus kekerasan serupa juga pernah dilakukan peserta aksi pada 4 November dan 2 Desember 2016 lalu. Sampai detik ini, laporan di Kepolisian Jakarta Pusat yang disampaikan oleh jurnalis Kompas TV yang pada awal November menjadi korban bahkan belum jelas pengusutannya. Karenanya, AJI Jakarta juga mendorong Polres Jakarta Pusat untuk serius mengusut pelaku kekerasan yang menimpa jurnalis Kompas TV pada awal November tahun lalu.

Baca juga artikel terkait AKSI 112 atau tulisan lainnya dari Yuliana Ratnasari

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Yuliana Ratnasari
Penulis: Yuliana Ratnasari
Editor: Yuliana Ratnasari