Menuju konten utama
Seri Pahlawan Revolusi

Ajal M.T. Haryono Dijemput Boengkoes dari Cakrabirawa

Mayor Jenderal MT Haryono tewas ditembak di kediamannya sebelum dibawa ke Lubang Buaya pada dini hari awal Oktober 1965 itu.

Ajal M.T. Haryono Dijemput Boengkoes dari Cakrabirawa
Letjen MT Haryono. FOTO/id.wikipedia.org

tirto.id - “Gelap. Saya coba cari stop kontak, saya raba-raba dinding. Tiba-tiba ada bayangan putih lari. Anak buah saya berteriak, 'Pak, ada bayangan putih!' Saya mengangkat senjata dan dor...,” demikian pengakuan Sersan Mayor Boengkoes, salah seorang komandan pasukan pengawal Presiden Sukarno, Cakrabirawa.

Bayangan putih yang didor Boengkoes dengan senapan Thompson-nya itu tidak lain adalah Mayor Jenderal M.T. Haryono, Deputi III Menteri/Panglima Angkatan Darat. Boengkoes mengaku tidak tahu bahwa yang ditembaknya adalah adalah M.T. Haryono. Ia menembak semata karena refleks usai mendapat peringatan dari anak buahnya.

Belakangan, pria asal Madura itu menyesali perbuatannya kendati menjemput Haryono memang menjadi misi yang ditugaskan kepadanya. “Karena ditugaskan, saya lakukan,” ucap Boengkoes yang harus mendekam di LP Cipinang selama 33 tahun atas perkara tersebut (Tempo, 5 Oktober 2009).

Haryono adalah salah satu dari tiga perwira tinggi TNI-AD yang dibawa dalam keadaan sudah tidak bernyawa ke Lubang Buaya, selain Jenderal Ahmad Yani dan Mayjen D.I. Pandjaitan, pada subuh 1 Oktober 1965 (Maulwi Saelan, Dari Revolusi 45 Sampai Kudeta 66: Kesaksian Wakil Komandan Tjakrabirawa, 2008:210).

Tanggal 3 Oktober 1965, mayat ketiganya ditemukan di dalam sumur di Lubang Buaya, Jakarta Timur, bersama 4 jasad lainnya.

Dokter yang Menjadi Perwira

Mas Tirtodarmo Haryono dilahirkan di Surabaya dalam perjalanan dari Gresik menuju Sidoarjo pada 20 Januari 1924. Embel-embel “mas” biasanya disematkan kepada mereka yang diyakini masih memiliki pertautan darah dengan Sunan Giri, salah seorang ulama besar Wali Songo (R.M. Subantardjo, Letnan Jenderal M.T. Haryono, 1984:5).

Ayahnya bernama Mas Harsono Tirtodarmo, seorang asisten wedana di Gresik pada masa kolonial Hindia Belanda. Pada awal 1924, Mas Harsono Tirtodarmo mendapat tugas baru sebagai jaksa di Sidoarjo. Maka itu, ia pun segera berangkat bersama istrinya yang sedang hamil tua. Dalam perjalanan itulah Haryono lahir.

Sebagai anak pejabat lokal lagi berdarah ningrat, Haryono mendapatkan pendidikan yang sangat baik sejak dini. Berkarier di ranah militer sebenarnya bukan tujuan Haryono. Cita-citanya adalah dokter. Haryono adalah mahasiswa di sekolah tinggi kedokteran Ika Dai Gakko yang dibentuk Jepang semasa menduduki Indonesia sejak 1942.

Belum sempat lulus, Jepang kalah perang dan bangsa Indonesia pun menyatakan kemerdekaannya. Haryono harus melupakan cita-citanya demi berjuang mempertahankan kedaulatan Indonesia karena Belanda ingin berkuasa kembali. Ia bergabung dengan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) dan memperoleh pangkat mayor (Julinar Said, dkk., Ensiklopedi Pahlawan Nasional, 1995: 84).

M.T. Haryono rupanya piawai berdiplomasi. Pembawaannya tenang dan bersahaja, namun tetap terukur sebelum mengeluarkan kata-kata. Ia pun masuk Kementerian Keamanan Rakyat untuk urusan gencatan senjata. Haryono kerap dilibatkan dalam perundingan dengan Belanda, termasuk Konferensi Meja Bundar (KMB) pada akhir 1949 sebagai Sekretaris Delegasi Militer lndonesia.

Baca Juga:

Setelah pengakuan kedaulatan usai KMB pada 1950, M.T. Haryono ditunjuk sebagai Atase Militer Indonesia di Belanda. Penunjukan itu tentu mempertimbangkan kemampuan dan pengalamannya di bidang diplomasinya. Setelah itu, kariernya di jenjang ketentaraan terus meningkat, hingga akhirnya menjabat Deputi III Menteri/Panglima Angkatan Darat dengan pangkat mayor jenderal sejak 1 Juli 1964.

Namun, jabatan itu tidak terlalu lama diembannya. Setahun kemudian, ia dijemput pasukan Cakrabirawa yang dipimpin Sersan Mayor Boengkoes. Malam 30 September 1965 itu menjadi malam terakhir M.T. Haryono.

Akhir Tragis Misi Penjemputan

Boengkoes berkisah, ia ditugaskan menjemput Haryono yang ditengarai terlibat upaya kudeta terhadap Presiden Sukarno. Informasi sekaligus perintah tersebut didapatnya dalam rapat pada 30 September 1965 sekitar pukul 3 sore, atau beberapa jam sebelum eksekusi penjemputan yang berakhir dengan kematian itu.

“Dalam briefing itu dikatakan ada sekelompok jenderal yang akan meng-kup Bung Karno, yang disebut Dewan Jenderal. Wah, ini gawat menurut saya,” kata Boengkoes (Tempo, 5 Oktober 2009).

“Pada saat itu, saya diangkat menjadi komandan pleton dan pimpinan kompi dipegang Letnan Satu Doel Arif. Atas perintah Komandan Resimen Cakrabirawa, kami ditugaskan untuk menggagalkan usaha Dewan Jenderal yang akan mengadakan kup terhadap keselamatan presiden,” lanjutnya.

Boengkoes menjalankan tugasnya selepas tengah malam tanggal 30 September 1965. Dini hari pukul 3 itu, tiga truk penuh tentara berangkat menuju ke rumah Mayjen M.T. Harjono yang terletak di kawasan Menteng, Jakarta Pusat. Sesampainya di lokasi, Boengkoes selaku komandan peleton yang pertamakali turun untuk mengetuk pintu.

“Selamat pagi!” serunya dengan lantang. Nyonya Haryono yang terbangun karena ketukan amat keras itu lantas ke depan untuk membuka pintu. Ada Boengkoes dan beberapa orang petugas Cakrabirawa lainnya di situ.

“Mana Bapak? Sekarang harus menghadap Presiden Soekarno di Istana Merdeka. Situasinya dalam keadaan gawat,” tanya Boengkoes kepada Nyonya Haryono seperti dikutip dari buku Misteri Angka di Balik Kegagalan Pemberontakan G30S/PKI karya I Ketut Riana (2007:73).

Baca Juga:

Infografik Mayjen MT Haryono

Nyonya tuan rumah meminta agar para prajurit itu berangkat ke istana duluan, suaminya akan segera menyusul. Namun, Boengkoes tetap bersikeras. Nyonya Hartono pun bergegas kembali ke dalam untuk menemui suaminya. Haryono kemudian memberikan kode istri dan anak-anaknya agar segera pergi ke halaman belakang dan mematikan lampu.

M.T. Haryono bersiap, menunggu para penjemputnya datang dan berencana merebut senjata salah satu tentara yang akan masuk secara paksa ke dalam kamarnya. Namun, upaya itu gagal dan justru berakhir dengan tembakan Boengkoes yang memungkasi nyawanya.

Upaya Meredam Dendam

Insiden tersebut masih terekam dengan jelas dalam ingatan Rianto Nurhadi, anak ketiga Haryono. “Bapak tewas di dalam kamar, dibawa ke truk yang sudah menunggu di depan rumah lalu dilempar tubuhnya," kenangnya (Merdeka, 30 September 2016).

“Saya trauma, bahkan masuk rumah sakit selama empat hari setelah peristiwa itu,” imbuh lelaki yang akrab disapa dengan panggilan Riri ini.

Meskipun yang menjemput ayahnya adalah anggota Cakrabirawa yang tidak lain adalah pasukan pengawal Presiden Sukarno, namun Riri yakin keterlibatan Partai Komunis Indonesia (PKI) pimpinan DN Aidit cukup besar dalam tragedi berdarah tersebut.

Menurut Riri, Aidit dikenal sangat dekat dengan Presiden Sukarno sehingga tidak mudah untuk dilumpuhkan. “Aidit sosok yang berambisi besar untuk berkuasa,” sebutnya (Tempo, 1 Oktober 2007).

Baca Juga:

Lantas, apakah Riri masih dendam dengan Aidit dan PKI atas peristiwa terbunuhnya M.T. Haryono oleh pasukan Cakrabirawa itu?

“Kebencian kepada Aidit dan PKI tetap ada,” tandasnya. Namun, ia enggan memelihara kesumat sepanjang hidup. Riri sudah memaafkan apa yang terjadi pada malam itu, “Kami tidak mau benci dan dendam itu berlarut-larut. Kami keluarga Pahlawan Revolusi dan keluarga PKI sama-sama jadi korban.”

Baca juga artikel terkait SEJARAH INDONESIA atau tulisan lainnya dari Iswara N Raditya

tirto.id - Humaniora
Reporter: Iswara N Raditya
Penulis: Iswara N Raditya
Editor: Zen RS