Menuju konten utama

Air Sumber Konflik Baru di Masa Depan

Saat ini minyak bumi masih merupakan komoditi yang paling seksi di muka bumi. Komoditas yang disebut dengan emas hitam itu dianggap seksi karena masih merupakan penggerak energi dunia. Namun, dalam beberapa tahun ke depan, minyak bumi mungkin akan tergantikan kedudukannya, dan air tanah bisa jadi merupakan kandidat utamanya.

Air Sumber Konflik Baru di Masa Depan
Perempuan & anak-anak mengantri air bersih di kamp pengungsi Dadaab di mana ribuan warga Somalia berakhir karena kelaparan di Dadaab, Somalia, 15 Agustus 2011. [Foto/Shutterstock]

tirto.id - Manusia, hewan, dan tumbuhan, memiliki kebutuhan mutlak terhadap air. Namun, air belum dianggap sebagai benda yang sangat penting dibandingkan minyak. Beberapa dekade terakhir, mulai muncul kesadaran soal kelangkaan air.

Gesekan-gesekan sosial mulai muncul yang berlatar belakang sumber air. Diramalkan persoalan sejenis akan terus meningkat pada tahun-tahun mendatang.

Peristiwa kerusuhan di Yaman pada tahun 2009 berakar pada krisis air. Para ahli mengatakan kelangkaan air juga merupakan salah satu faktor pendukung yang mengguncang Suriah dan menyebabkan perang saudara.

Krisis Air Mengintai

Menurut Dr Neil Mcintyre dari Departemen Teknik Sipil dan Lingkungan dan Institut Grantham untuk Perubahan Iklim, Imperial College London, ada sekitar 98 persen komposisi air di bumi merupakan air asin dan hanya 2 persen yang merupakan air segar yang dapat dikonsumsi.

Dari angka 2 persen tersebut, sekitar 70 persen merupakan salju dan es, 30 persen merupakan air tanah, kurang dari 0,5 persen merupakan air permukaan seperti sungai dan danau, dan kurang dari 0,05 persen merupakan kandungan atmosfer. Komposisi air tanah merupakan satu-satunya komoditas air bersih yang terjangkau, karena letaknya tersebar di bawah daratan dangkal, atau lebih tepatnya pada lapisan akuifer.

Hitung-hitungan sederhana tadi memperlihatkan dengan sangat jelas bahwa air memang sumber daya yang terbatas. Bayangkan bila 2 persen air tawar itu menyusut jumlahnya. Apalagi saat yang bersamaan, populasi manusia dunia yang terus menanjak dan industrialisasi yang berkembang. Hal ini memicu perebutan air semakin parah. Perubahan iklim juga memperparahnya.

Richard Damania, ekonom terkemuka di Bank Dunia, memprediksi bahwa tanpa pasokan air yang memadai, pertumbuhan ekonomi di berbagai belahan dunia yang memiliki tingkat tekanan paling tinggi, dan bisa menurun enam persen dari Produk Domestik Bruto (PDB). Berdasarkan penelitian itu, dampak terparah dari perubahan iklim akan menguras persediaan air.

"Jika Anda berada di daerah kering, Anda akan mendapatkan sangat sedikit curah hujan. Run-off menurun. Orang-orang kemudian beralih pada air tanah dengan intens yang sangat tinggi,” katanya seperti dikutip dari The National Geographic.

Berbagai peringatan akan menipisnya persediaan air bawah tanah sudah banyak jadi pembicaraan di seluruh dunia. Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) memprediksi kekurangan air bersih akan terjadi pada tingkat global pada 2030.

Prediksi PBB ini sangat masuk akal. Sebanyak dua-pertiga dari air tanah yang dikonsumsi di seluruh dunia digunakan untuk mengairi pertanian, sedangkan sisanya adalah untuk persediaan air minum di berbagai kota di dunia.

Saat ini, situs cadangan air bawah tanah dunia terbesar yang berada di Afrika, Eurasia, dan Amerika memiliki tingkat stres yang tinggi. Banyak dari situs-situs cadangan air bawah tanah tersebut disedot pada tingkat yang tidak berkelanjutan. Hampir dua miliar orang yang bergantung pada air tanah mungkin berada di bawah ancaman akibat hal tersebut.

Berdasarkan laporan dari The United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO), sistem akuifer yang berada dalam tingkat stres paling tinggi dapat ditemukan pada Sistem Akuifer Arab yang memasok air bersih untuk 60 juta orang di Arab Saudi dan Yaman. Akuifer Indus Basin yang terletak di barat laut India dan Pakistan merupakan sistem akuifer kedua yang paling terancam. Sementara itu, Basin Murzuk-Djado di Afrika bagian utara adalah yang ketiga.

Sayangnya, para peneliti masih kesulitan untuk menghitung cadangan air bersih yang berada pada lapisan akuifer. Bahkan dapat dikatakan kita memiliki angka yang lebih pasti pada cadangan minyak daripada cadangan air.

Namun satu hal yang pasti, ketika ketinggian air turun di bawah 15 meter atau kurang dari permukaan tanah, memompa air pada kedalaman tersebut ke permukaan bukanlah merupakan sebuah tindakan yang praktis secara ekonomi. Selain itu, pada kedalaman tersebut yang sering ditemukan merupakan air yang payau atau mengandung begitu banyak mineral sehingga air itu tidak dapat digunakan.

Hal yang menggembirakan adalah banyak pengamat menilai bahwa krisis yang melibatkan air tanah merupakan krisis yang berjalan pada tingkat kecepatan yang rendah, sehingga masih ada waktu untuk membangun sebuah teknologi baru yang dapat mengatasi hal tersebut.

Di Australia Barat, air yang telah dihilangkan kadar garamnya (desalinated water) telah disuntikkan ke perut bumi untuk mengisi ulang akuifer besar yang digunakan oleh Kota Perth, kota terkering Australia, sebagai sumber air minum. Sementara itu, di Texas bagian barat, Kota Abernathy sedang melakukan pengeboran ke dalam akuifer lebih dalam yang terletak di bawah akuifer Dataran Tinggi dan mencampur air tanah dari kedua akuifer tersebut untuk menambah pasokan air bersihnya.

Namun demikian, apabila semua negara tidak bekerja sama dalam hal ini, bukan tidak mungkin air akan menjadi penyebab konflik di dunia yang lebih besar lagi di masa mendatang.

Baca juga artikel terkait SOSIAL BUDAYA atau tulisan lainnya dari Ign. L. Adhi Bhaskara

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Ign. L. Adhi Bhaskara
Penulis: Ign. L. Adhi Bhaskara
Editor: Suhendra