Menuju konten utama
Periksa Data

Ahok-Djarot Berhasil Memaksimalkan Ex Ante

Sebagai petahana, Ahok dan Djarot punya banyak keunggulan. Mereka bisa memamerkan capaian, sehingga mendongkrak elektabilitas.

Ahok-Djarot Berhasil Memaksimalkan Ex Ante
Pasangan Calon Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dan Djarot saeful Hidayat. Tirto.id/Andrey Gromico

tirto.id - "Dalam pemilu Amerika Serikat, menjadi petahana hampir selalu lebih baik ketimbang jadi penentang."

Kalimat itu ditulis oleh Jessica Trounstine dari Universitas Princeton sebagai pembuka pada makalah Information, Turnout, and Incumbency in Local Election. Memang ada perdebatan yang belum usai di kalangan para ilmuwan politik, apakah petahana selalu punya keunggulan dibandingkan penantang.

Gary Jacobson dan Samuel Kernell dalam Strategy and Choice in Congressional Elections menyebut petahana punya keunggulan ex ante, sebuah istilah yang kerap digunakan untuk menggambarkan prospek di masa depan, atau hasil yang diharapkan di masa depan. Petahana punya masa kerja yang bisa dinilai publik. Seorang petahana yang bekerja dengan baik, tentu akan lebih mudah menunjukkan hasil kerja dibandingkan para penantangnya. Hasil kerja yang baik itu tentu sudah menjadi senjata kampanye mereka, beberapa tahun sebelum pemilu dimulai. Karena itu wajar adanya kalau angka terpilih kembali petahana biasanya amat tinggi.

Di Amerika Serikat, misalkan. Angka kemenangan petahana di DPR mencapai angka 80 persen, kadang lebih dari 90 persen, selama lebih dari 50 tahun. Begitu pula di Indonesia. Pada pemilu serentak 2015, dari 538 calon kepala dan calon wakil kepala daerah, 278 orang-nya adalah petahana. Dan menurut Skala Survei Indonesia, sekitar 63 persen petahana menang. Lebih spesifik, di area provinsi, 71 persen petahana menang, yang kalah hanya 28 persen.

Di beberapa daerah dengan kinerja pemimpin yang baik, angka terpilih mereka amat tinggi. Joko Widodo mendapat angka lebih dari 90 persen saat maju sebagai Wali Kota Solo kali kedua. Di Banyuwangi, petahana Abdullah Azwar Anas mendapat angka 88 persen. Risma, Wali Kota petahana Surabaya mendapat sekitar 86 persen. Di Blitar, petahana Samanhudi Anwar dan Santoso yang punya julukan Samson, meraup suara sebesar 92 persen.

Ex Ante Untuk Menyerang dan Pamer

Basuki Tjahaja Purnama menempati posisi yang sedikit berbeda. Dia adalah petahana, tapi bukan sebagai Gubernur. Ahok menempati posisi teratas di DKI Jakarta karena pasangannya, Jokowi, menjadi Presiden. Karena itu Ahok harus bekerja keras untuk membuktikan dirinya. Itu tak mudah, apalagi Ahok adalah minoritas ganda (Kristen dan keturunan Cina) yang amat mudah diserang dengan isu SARA.

Ahok ternyata berhasil membuktikan kalau kinerjanya cemerlang. Perombakan birokrasi, pembangunan infrastruktur, peningkatan layanan kesehatan, hingga pendidikan, menjadi hasil kerja Ahok yang bisa dinikmati publik. Meski ini juga tak terlepas dari berbagai cela, seperti penggusuran warga Bidara Cina yang berbuntut kekalahan Pemprov DKI di Pengadilan Tata Usaha Negara, hingga kengototan reklamasi Pulau G meski sudah kalah di PTUN. Tapi masyarakat DKI merasa puas oleh kinerja Ahok.

Dari hasil survei Saiful Mujani Research Centre pada Oktober 2016, tingkat kepuasan responden terhadap kinerja Ahok mencapai 75 persen. Angka ini meningkat 5 persen dari survei serupa di bulan Agustus. Kepuasan paling besar terjadi pada kondisi rumah sakit dan puskesmas (92 persen), pelayanan di kecamatan dan kelurahan (90 persen), dan gedung sekolah (90 persen). Karena itu bisa dibilang kalau Ahok punya ex ante dalam menghadapi Pilkada 2017. Itu ditunjukkan benar dalam debat ketiga kemarin malam.

Jika membandingkan dengan dua debat sebelumnya, Ahok tampak lebih berani menyerang. Yang paling menohok terjadi di segmen ketiga. Pasangan 1 dan 3 melontarkan pertanyaan dan pernyataan terkait akses disabilitas, baik perkara transportasi maupun ruang pekerjaan, yang tentu saja menyerang Ahok dan Djarot. Namun, alih-alih defensif dan mengemukakan apa yang sudah dikerjakan, Ahok berani agresif dengan melakukan serangan balik.

"Pasangan calon nomor 1 dan 3 ini sebetulnya suka membangun opini yang menyesatkan," kata Ahok tajam.

Di sinilah ex ante Ahok kemudian diperlihatkan. Dia menunjukkan foto-foto hasil pekerjaannya. Misalkan pembangunan trotoar kurva S yang ramah kaum disabilitas. Kurva seperti ini, yang konsepnya dibawa dari Jepang, cukup untuk penyandang disabilitas lewat, tapi menghalangi motor untuk naik di trotoar. Dia juga mengatakan bahwa di Dewan Transportasi Kota Jakarta ada perwakilan yang merupakan penyandang disabilitas.

"Kami juga sudah membeli banyak bus yang shock breaker-nya miring, supaya kursi roda turunnya rata. Kami menambah suspensi 1 miliar untuk penyandang disabilitas," tambah Ahok.

Infografik Periksa Fakta 3 Ahok-Djarot perencanaan dan Rencana

Ahok juga sempat dikritik oleh Sylvi yang mengklaim bahwa Pemprov DKI Jakarta tidak memberikan kuota pekerjaan bagi kaum difabel. Kritikan ini langsung dibalas dengan sengatan Ahok.

"Saya dalam hati, astaga Bu Sylvi ini ke mana aja. Kita ini ada 1 persen CPNS yang penyandang disabilitas. Untuk UU baru, kami akan tingkatkan jadi 2 persen."

Begitu juga saat Ahok ditanya perkara narkoba. Selain membicarakan berbagai pencegahan, Ahok juga bisa dengan maksimal memberikan bukti janjinya. Dia bilang kalau ada klub malam yang terbukti menjadi tempat transaksi narkoba, mereka akan diperingatkan. Kalau sudah dua kali diperingatkan masih tetap terjadi, mereka akan ditutup dan tak dibolehkan membuka usaha serupa. Janji itu memang sudah terbukti ketika Ahok menutup Mille's dan Stadium, dua diskotek besar di bilangan Jakarta Barat.

Mengisahkan keberhasilan program kerja, menceritakan janji kampanye yang terbukti, dan program yang sedang berjalan dan perlu dilanjutkan, adalah tiga komponen ex ante yang sukar ditandingi oleh para penantang. Di debat ketiga ini, Ahok berhasil memanfaatkannya dengan maksimal.

Begitu pula Djarot yang menjadi penyeimbang bagi Ahok yang berapi-api. Gaya Djarot kalem, santai, tetapi juga bisa menyerang dan membuat lawan terlihat tak bisa apa-apa selain omong kosong. Hal ini bisa dilihat ketika Djarot mempertanyakan pada paslon 1 perihal bagaimana akuntabilitas pemberian jatah Rp1 miliar bagi tiap RW. Dua kali ditanya, jawaban Agus hanya berputar macam gasing dan sama sekali tak menjawab pertanyaan Djarot.

Namun di sisi lain, Ahok juga tampak kewalahan ketika harus menjawab tudingan terkait kekerasan verbal terhadap perempuan. Sylviana Murni menanyakan pertanyaan penting: bagaimana bisa Ahok menangani kekerasan terhadap perempuan padahal Ahok pernah mendemonstrasikan kekerasan verbal terhadap seorang perempuan di depan publik.

Ahok mencoba menanggapinya dengan tertawa dan humor. Tapi tentu saja kritik Sylvi ini kembali mengingatkan publik bahwa Ahok memang beberapa kali terlibat kekerasan verbal terhadap perempuan. Misalkan saat Ahok menuding Yusri Isnaeni sebagai maling di depan banyak orang, termasuk wartawan.

Terlepas substansi Ahok benar atau salah, tingkat kekerasan terhadap perempuan di Jakarta memang meningkat. Berdasarkan data dokumentasi Komnas Perempuan dari lembaga mitra, angka kekerasan terhadap perempuan sempat menurun. Pada 2014, ada 2.881 kasus dari dokumentasi 195 lembaga mitra di 31 provinsi, menurun menjadi 1992 pada 2015 dari dokumentasi 191 lembaga mitra di 32 provinsi, namun naik lagi menjadi 3.320 kasus pada 2016 dari dokumentasi 232 lembaga mitra di 34 provinsi.

Selain soal kekerasan terhadap perempuan, pekerjaan rumah besar lain bagi Ahok adalah kasus gizi buruk pada balita. AHY di awal debat menyerang dengan angka gizi buruk di Jakarta yang disebutnya lebih buruk dari Papua Barat. Klaim AHY tersebut tentu saja tidak tepat, karena faktanya kasus gizi buruk yang bisa diperbandingkan adalah antara Jakarta dan Papua. Jakarta dan Papua memiliki kasus gizi buruk yang tidak jauh berbeda. Menurut data dari Kementerian Kesehatan, pada 2015 ada 2.282 kasus gizi buruk terhadap balita. Itu terbanyak nomor 5 di Indonesia, tak jauh berbeda dengan kasus di Papua sebanyak 2.765 kasus. Sementara kasus gizi buruk di Papua Barat angkanya 479 kasus. Padahal soal APBD, DKI Jakarta punya Rp67,17 triliun, sedangkan Papua Barat hanya Rp7,02 triliun.

Infografik Program Pemberdayaan Perempuan Ahok Djarot

Menunggu Elektabilitas Terbaru

Setelah tiga debat terlewati, menarik menunggu survei elektabilitas terbaru. Sebab ternyata debat Pilgub DKI ternyata menjadi salah satu preferensi dalam memilih Gubernur dan Wakilnya. Jumlah penonton debat juga menjadi indikator kalau para pemilih menganggap debat adalah ajang penting dalam menentukan pilihan.

Ini bisa dilihat dari hasil survei terbaru Saiful Mujani Research and Consulting Survei periode 3-9 Februari 2017. Sebanyak 88 persen dari 800 responden menganggap debat adalah cara mengetahui dan menilai program kerja calon. Ajang ini dianggap bisa memberikan bukti kualitas pemimpin Jakarta yang akan datang. Selain itu, pendapat dari survei Litbang Kompas periode 28 Januari-4 Februari 2017 juga nyaris senada. Debat bahkan bisa mengubah pilihan seseorang. Survei ini menyebutkan bahwa sebanyak 28,4 persen dari dari 804 responden mengaku mengubah pilihan usai menonton debat.

Dari hasil debat itu, menurut hasil survei SMRC, paslon yang dinilai paling baik adalah Ahok-Djarot (44 persen), Anies-Sandi (27 persen), dan yang bontot adalah Agus-Sylvi (17 persen). Dibandingkan survei pada Desember 2016, dukungan Ahok setelah debat 13 Januari naik 6 persen, Agus-Sylvi turun 8,3 persen, dan Anies-Sandi naik 2 persen.

Sedangkan survei Kompas yang dirilis pada 4 Februari 2017, hasilnya malah membikin tim Agus-Sylvi deg-degan. Pasalnya, elektabilitas mereka turun 8,9 persen. Dari awalnya 37,1 persen menjadi 28,2 persen. Sedangkan Anies-Sandi naik 9 persen, dari 19,5 persen menjadi 28,5 persen. Sedangkan Ahok-Djarot naik 3,2 persen. Dari 33 persen pada Desember 2016, menjadi 36,2 persen.

"Karena unggul debat, elektabilitas Ahok naik atau meningkat," ujar Direktur Riset SMRC Deni Irvani dalam keterangan tertulis.

Setelah debat ketiga, tentu menarik ditunggu bagaimana elektabilitas mereka bergerak. Entah naik atau turun. Tapi yang pasti, persaingan ini sudah nyaris mendekati babak akhir. Dan empat hari lagi dari sekarang, kita akan tahu bagaimana pengaruh debat terhadap pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur.

Baca juga artikel terkait AHOK-DJAROT atau tulisan lainnya dari Nuran Wibisono

tirto.id - Politik
Reporter: Nuran Wibisono
Penulis: Nuran Wibisono
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti