Menuju konten utama

Agenda Greenwashing di Balik Langkah Unilever Sponsori COP26

Langkah Unilever mensponsori COP26 dilambari agenda greenwashing. Program "hijau" mereka tidak mencapai tujuan "netralitas plastik".

Seekor kambing mencari makan di antara tumpukan sampah di Pelabuhan Muncar, Banyuwangi, Jawa Timur, Selasa (11/8/2020). ANTARA FOTO/Budi Candra Setya/hp.

tirto.id - Naiknya isu serta kesadaran lingkungan dari sisi konsumen membuat banyak perusahaan menggunakan strategi “hijau” untuk memasarkan produk. Meski begitu, sebetulnya mereka tidak benar-benar peduli dan terus saja mencetak laba dari pencemaran dan kerusakan bumi.

Greenwashing begitulah istilah yang digunakan untuk menyebut strategi bisnis tersebut. Aksi ketika sebuah perusahaan atau merek besar membodohi konsumen dengan kampanye ramah lingkungan. Ia sering dipakai untuk menutupi agenda dan kebijakan perusahaan yang tidak berkelanjutan. Mereka bersembunyi di balik klaim produksi berkelanjutan, pemasaran hijau, dan iklan ramah lingkungan.

Bicara soal tipu muslihat ramah lingkungan, jika ada penghargaan tentang aksi greenwashing paling mengesankan di tahun ini, gocekan ekstrem Unilever mungkin akan jadi pemenangnya. Unilever dengan lihai bisa masuk menjadi sponsor utama KTT perubahan iklim (COP26) di Glasgow.

Padahal, Unilever pernah masuk dalam tiga besar perusahaan pencemar plastik terbanyak sepanjang 2021 berdasar audit dari gabungan organisasi Break Free from Plastic. Fakta tersebut tertuang dalam laporan bertajuk Branded Volume IV: Holding Corporations Accountable for the Plastic & Climate Crisis (PDF) rilis 25 Oktober 2021.

Organisasi nirlaba itu melakukan 440 audit lapangan di 45 negara dengan bantuan lebih dari 11 ribu relawan untuk mengumpulkan sampah. Di lapangan, para relawan Break Free from Plastic menghitung dan mendokumentasikan merek yang tertera pada sampah plastik.

Dalam ringkasan laporan Branded Volume IV tertulis, “Secara total, 330.493 potong sampah plastik dikumpulkan dan dianalisis untuk mengidentifikasi perusahaan yang paling banyak mencemari lingkungan dengan limbah plastiknya.”

Dari total volume sampah yang disurvei itu, 63 persen di antaranya masih dapat diidentifikasi mereknya. Seturut survei itu, Coca-cola menjadi perusahaan teratas yang mencemari bumi pada 2021 dengan jumlah potongan sampah plastik sebanyak 19.826 potong. Posisi kedua ditempati oleh PepsiCo dengan jumlah potongan sampah plastik mencapai 8.231. Lalu, Unilever dengan 5.079 potong sampah plastik menempati posisi ketiga.

Coca-Cola bahkan sudah empat tahun berturut-turut menduduki jabatan sebagai penghasil sampah plastik terbanyak. Begitu pula dengan PepsiCo yang menduduki posisi kedua selama tiga tahun berturut-turut.

Sementara itu, Unilever baru pertama kali berada di posisi ketiga pencemar plastik terbanyak. Tapi, perusahaan ini sudah sering melakukan aksi pencemaran, mulai dari memproduksi minyak RSPO di lahan ilegal menggunakan pekerja anak, mencemari bukit di India dengan merkuri, hingga menyumbang emisi gas rumah kaca.

Dengan sederet jejak buruk itu, langkah Unilever mensponsor KTT Perubahan Iklim COP26 agaknya bisa dinobatkan sebagai aksi greenwashing paling epik tahun ini.

Audit Break Free From Plastic juga memasukkan catatan bahwa data yang dikirim merupakan sampel sampah plastik. “Tidak dapat diklaim mewakili semua polusi plastik,” tulis mereka.

Menilik Semangat Keberlanjutan ala Unilever

Sejak 2010, ketika Paul Polman mengambil alih kursi kepemimpinan Unilever, perusahaan raksasa menjadikan keberlanjutan sebagai inti strategi bisnisnya. Polman bahkan mengklaim perusahaannya dapat mengurangi separuh dampak lingkungan sekaligus mengembangkan bisnis.

Jargon “Unilever Sustainable Living Plan” mengarah pada perusahaan yang sadar terhadap tantangan besar ekologi dan sosial, seperti pemanasan global, kekurangan pangan, dan melebarnya kesenjangan antara kaya dan miskin.

Mereka mengeluarkan ide bisnis berkelanjutan yang sepertinya berpihak pada lingkungan, misal melakukan daur ulang kemasan plastik, pengelolaan sampah, atau menyediakan stasiun isi ulang produk. Tapi, apakah usaha tersebut berdampak signifikan?

Mari kita lihat dari salah satu contoh program Unilever, yakni proyek galian gunung sampah Unilever di TPA Bantar Gebang. Sampah itu nantinya akan diolah menjadi Refuse Derived Fuel (RDF). Proses RDF memisahkan limbah berharga seperti kaca dan logam, kemudian menyisakan plastik, biomassa, dan kertas yang memiliki nilai pembakaran. Campuran limbah ini lantas diolah menjadi pelet bahan bakar.

Pelet itu bakal digunakan untuk menyuplai energi dalam proses produksi semen—sehingga menghindari penggunaan batu bara. Pada akhir 2020 lalu, Unilever mendanai proyek RDF untuk menyuplai industri semen Solusi Bangun Indonesia (SBI) di Jawa Barat.

Program itu sekilas nampak seperti win-win solution, bukan?

Namun, pembakaran yang melibatkan plastik melepaskan zat berbahaya—salah satunya dioksin—ke udara. Insenerator di udara terbuka juga turut berperan dalam gas rumah kaca. Sementara itu, Unilever juga tak menyajikan secara transparan rincian peningkatan polusi udara dalam proyek RDF ini.

Laporan Greenpeace Amerika bertajuk The Climate Emergency Unpacked baru-baru ini turut menunjukkan kurangnya transparansi Unilever tentang perhitungan emisi terkait penggunaan plastik.

Tak cuma Unilever, laporan ini juga menyasar delapan perusahaan multinasional lainyang juga masuk dalam audit Break Free from Plastic, yakni Coca-Cola, PepsiCo, Nestlé, Mondelez, Danone, Colgate-Palmolive, Procter & Gamble dan Mars.

Dengan dalih daur ulang, pemanfaatan, dan mencapai netralitas plastik, jenama multinasional itu tetap saja menjual miliaran produk berbagai ukuran dengan kemasan plastik. Sedangkan pemanfaatan kembali kemasan plastik dan program isi ulang hanya menargetkan beberapa produk tertentu.

Artinya, program itu tidak mencapai tujuan “netralitas plastik” karena kemasan plastik yang diproduksi selalu lebih banyak dari yang diolah kembali.

Infografik Perusahaan Pencemar Plastik

Infografik Perusahaan Pencemar Plastik. tirto.id/Quita

Lalu, bagaimana jalan keluarnya?

Menghapus kemasan plastik sekali pakai adalah satu-satunya cara untuk mengurangi gas rumah kaca dan cemaran plastik. Sayangnya, penerapan solusi ini tidak mulus belaka.

Pada 2019, Perdana Menteri India Narendra Modi mengeluarkan larangan nasional penggunaan kantong plastik, gelas, botol kecil, sedotan, dan kemasan sachet. Adaptasi penghapusan tersebut mulanya disiapkan dalam waktu satu bulan saja.

Namun, kebijakan ini ditentang oleh kelompok lobi yang diwakili Coca-Cola, PepsiCo, dan Hindustan Unilever Ltd—lagi-lagi tiga perusahaan pencemar terbesar tahun ini. Semakin jelaslah agenda greenwashing dalam bisnis mereka selama ini. Rencana penghapusan plastik di India tersebut akhirnya diundur sampai 2022 mendatang.

Sementara jenama multinasional bersikukuh mempertahankan model bisnisnya yang terus melukai bumi, aksi individu untuk membuat perubahan kecil semakin masif. Namun, langkah tersebut tetaplah minor. Pasalnya, 100 perusahaan terbesar di dunia bertanggung jawab atas 71 persen emisi global.

Menyelamatkan planet bumi hanya bisa dilakukan dengan perubahan drastis: Stop penggunaan plastik sekali pakai.

Baca juga artikel terkait LIMBAH PLASTIK atau tulisan lainnya dari Aditya Widya Putri

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Aditya Widya Putri
Editor: Fadrik Aziz Firdausi