Menuju konten utama
Advertorial

Agar Tidak Takut Matematika

Apa yang kita bicarakan saat kita membicarakan matematika?

Agar Tidak Takut Matematika
Ilustrasi siswa mengerjakan soal matematika di papan tulis. Getty Images/iStockphoto

tirto.id - Apa yang kita bicarakan saat kita membicarakan matematika?

“Itulah pelajaran yang, selama bertahun-tahun, membuatku jadi siswa terakhir yang meninggalkan kelas,” kata Dasep, 28 tahun, seorang staf Bawaslu Jakarta Selatan, kepada Tirto.

Sementara bagi Septiany Amanda, 25 tahun, pekerja swasta, mempelajari aljabar di bangku SMA adalah pengalaman yang menggoreskan trauma. “Makanya setelah lulus sekolah aku memutuskan untuk menghindari matematika sebisa mungkin. Sampai sekarang,” ujarnya.

Matematika, ilmu yang disebut Albert Einstein sebagai “puisi gagasan yang logis” memang kerap jadi momok bagi banyak siswa. Pada 2012, dalam Maths Anxiety: the numbers are mounting, Kate Brian menyebut di Inggris saja kecemasan terhadap matematika atau maths anxiety telah menjangkiti seperempat populasi, setara dengan lebih dari 2 juta siswa dan ribuan guru. “Sebagian besar dari kita terbiasa dengan kepanikan buta ketika berhadapan dengan soal-soal matematika yang tidak terpahami,” katanya.

Pemeriksaan terhadap penderita maths anxiety dilakukan pada 2012 oleh sejumlah peneliti Universitas Stanford, AS. Hasilnya: amygdalae, bagian otak yang biasanya bekerja ketika seseorang merasa terancam, mendadak jadi bagian paling aktif saat mereka harus mengerjakan soal-soal matematika. “Otak mereka menunjukkan reaksi yang sama dengan ketakutan penderita fobia terhadap ular atau laba-laba,” sambung Brian.

Kontributor BBC David Robson menduga, orang-orang lebih takut ketika berhadapan dengan matematika (ketimbang geografi, misalnya) karena matematika menuntut jawaban pasti. “Maksudnya, jawaban yang kita berikan hanya punya dua kemungkinan: benar atau salah. Dan hasil ujian yang buruk tentu akan bikin malu,” kata Robson.

Tak hanya bagi siswa, hasil ujian yang buruk juga kerap dianggap sebagai hal memalukan bagi sebagian orangtua. Namun, kekecewaan yang ditunjukkan pada sang anak, tanpa solusi, hanya membuat matematika diwariskan sebagai hal buruk dari generasi ke generasi.

Kasih Sayang Ayah Buka Potensi

Toru Kumon, guru matematika SMA di Jepang, tengah berada di ruang kerjanya ketika sang istri, Teiko, masuk menenteng kertas ujian matematika anak mereka. “Lihat ini,” katanya.

Takeshi, anak Toru dan Teiko, masih duduk di bangku kelas 2 SD ketika nilai matematikanya jeblok. Kedua orangtua Takeshi cemas namun tak memojokkan sang anak. Setelah mengamati serta mempelajari soal-soal ujian itu, Pak Toru membuat lembar kerja dan metode sendiri untuk mengajari Takeshi. Lembar kerja tersebut dibuat bertahap (mulai dari hal mendasar seperti penjumlahan, pengurangan, perkalian, dan pembagian hingga yang rumit seperti aljabar) dan setiap tahapan mesti diselesaikan Takeshi setiap hari.

Paduan antara ketekunan Takehi serta kasih sayang dan perhatian orangtuanya membuahkan hasil mencengangkan.

“Waktu masuk ke tingkat SMA dan belajar barisan, integral, dan diferensial, saya memahami semuanya sebagai pelajaran yang sederhana. Selain itu, meskipun hanya pernah belajar aljabar, saya bisa mengerjakan soal geometri dengan mudah sebagaimana saya mengerjakan teka-teki,” kata Takeshi, putra sekaligus murid pertama Metode Kumon.

Sejak ditemukan pada 1954—dan secara resmi dilembagakan pada 1958—Metode Kumon sudah diadopsi di 51 negara. Di Indonesia sendiri, Kumon sudah bercokol 28 tahun, dan selama itu pula 145.000 anak tercatat sebagai siswanya. Selain matematika, Kumon juga membuka kelas Bahasa Inggris.

“Metode Kumon, yang mengharuskan aku berlatih setiap hari, akhirnya membentuk nilai positif dalam diriku. Aku menjadi lebih percaya diri, memiliki disiplin waktu dan daya konsentrasi yang tinggi, serta memiliki dasar matematika yang kuat,” kata Assyifa Gita Firdaus, yang masuk Kumon saat kelas 1 SD. Syifa, penggilan akrabnya, menyelesaikan Metode Kumon dalam kurun 3 tahun 8 bulan.

Lain Syifa lain pula Angelina Winoto. Nama terakhir menyelesaikan Kumon 1 tahun 3 bulan ketika dirinya kelas 6 SD. Kepada Tirto, Kepala Divisi Public Relation Kumon Indonesia Bayu Setyo Bawono menjelaskan, kelas Kumon diberikan per individu sehingga masing-masing anak memiliki kemampuan yang berbeda-beda dalam menyelesaikan seluruh lembar kerja. Selain disiplin anak, peran serta orangtua juga turut menentukan hasil.

“Di Kumon, para tutor selalu memberikan apresiasi terhadap perkembangan siswa, sekecil apa pun progress-nya. Anak-anak ditantang untuk menyelesaikan soal yang lebih berat setiap hari, dan apresiasi membuat mereka semakin termotivasi,” sambung Bayu.

Infografik Obat anti takut matematika

Infografik Obat anti takut matematika. tirto.id/Mojo

Saat Toru Kumon meninggal, 27 Juli 1995, harian New York Times menyebutnya The Innovator. Dalam obituari tersebut disinggung pula bahwa Metode Kumon kerap dikritik sebagai “kurikulum penuh tekanan” karena tidak memberikan peluang bagi anak untuk menyelesaikan soal dengan cara-cara kreatif.

“Tapi pengetahuan Kumon justru dipenuhi oleh anak-anak 8 tahun yang menguasai kalkulus dan hasil penelitian menunjukkan bahwa Kumon memberikan manfaat bagi anak-anak berbakat dan anak-anak yang kurang berprestasi—dua kelompok yang justru tidak bisa dibedakan oleh pendirinya sendiri,” tulis New York Times.

Saat ini, Kumon menyelenggarakan program #CobaGratisKumon selama 2 minggu. Program yang akan digelar serentak dalam waktu dekat ini, sebagaimana dikisahkan Ambar Ariseno dan Reyne Raea terbukti digemari anak-anak dan membawa perubahan positif di kemudian hari.

“Kekhawatiran saya kebanyakan tidak terjadi, deh. Buktinya, Nisa bisa enjoy tuh ngerjain PR tiap hari, at least pada bulan-bulan pertama. Mungkin karena materinya dimulai pada level yang lebih rendah dari level kelasnya ya, jadi ngerjainnya semangat gitu,” tulis Ambar.

Sementara Reyna menyatakan, Darrell, anaknya, selain mencatatkan prestasi akademik yang cemerlang ketika masuk SD—menulis lancar dan benar, logika runut, tugas diselesaikan dengan cepat—hal yang membuatnya sangat bahagia adalah ketika Darrell tertib menjalankan solat lima waktu. “Saya menyadari semua itu juga andil dari Metode Kumon yang sudah dijalaninya selama setahun ini,” tulis Reyna.

Apa yang kita bicarakan saat kita membicarakan matematika?

“Matematika itu seru banget. Aku sangat bersemangat dan tekun mengerjakan soal-soal matematika,” kata Hanna Clarinda, 19 tahun. Hanna tercatat sebagai mahasiswa Arsitektur UI dan akan lulus tahun ini. “Soal-soal yang kupelajari di kampus sangat familiar karena aku pernah mempelajarinya di Kumon.”

Semasa hidupnya, Toru Kumon selalu mengingatkan bahwa anak-anak dilahirkan dengan potensi yang tidak terbatas. Dengan metode belajar yang tepat pada masing-masing tingkatan, setiap anak bisa menjadi unggul dan mengembangkan kemampuannya belajar. Program #CobaGratisKumon, sedikit banyak, dimaksudkan untuk menemukan potensi itu.

"Cobalah! Jika tidak dicoba, Anda tidak akan pernah tahu potensi Anda yang sesungguhnya." Demikian salah satu ungkapan Toru Kumon yang banyak diingat orang hingga sekarang.

Informasi lebih lengkap mengenai Kumon sila kunjungi tautan ini.

Baca juga artikel terkait MATEMATIKA atau tulisan lainnya dari Advertorial

tirto.id - Pendidikan
Penulis: Advertorial
Editor: Advertorial