Menuju konten utama

Agama dan Media Sosial: Penyebab Orang Jadi Anti-vaksin?

Agama dan media sosial: dua resep kunci yang bikin banyak orang jadi bersikap anti-vaksin.

Agama dan Media Sosial: Penyebab Orang Jadi Anti-vaksin?
ilustrasi vaksin. Getty Images/iStockphoto

tirto.id - Vaksin kembali jadi bahan perbincangan. Laporan Wellcome Trust, LSM kesehatan asal Inggris, menyatakan tingkat ketidakpercayaan terhadap vaksin cukup tinggi di beberapa wilayah dunia. Hasil tersebut disusun melalui proses observasi terhadap 140 ribu orang yang tersebar di lebih dari 140 negara.

Di Eropa, khususnya kawasan Barat dan Timur, misalnya, angkanya bisa mencapai lebih dari 20 persen. Hal serupa juga muncul di Amerika Utara yang 15 persen penduduknya tak percaya vaksin.

Yang menarik, pemandangan itu tidak terlihat di Asia dan Afrika. Di Asia Selatan, misalnya, kepercayaan terhadap vaksin justru tinggi: 95 persen. Sedangkan di Afrika Timur, angkanya cuma beda tipis: 92 persen.

Disuburkan Media Sosial

Pada 1998, Lancet, jurnal kedokteran prestisius, mempublikasikan penelitian yang dilakukan dokter bernama Andrew Wakefield. Bersama 13 peneliti lainnya, Wakefield menduga vaksin cacar, gondok, dan rubella (MMR) bisa menyebabkan autisme.

Dunia pun seketika heboh. Temuan kontroversial Wakefield kemudian jadi santapan empuk banyak orang dan membuat sentimen anti-vaksin meroket tajam. Dari Inggris, AS, hingga Nigeria makin banyak orang menolak kehadiran vaksin.

Penelitian Wakefield terbukti cacat di kemudian hari dan Lancet terpaksa menanggung malu. Kendati begitu, fakta tersebut nyatanya tak dapat meredam histeria anti-vaksin yang kadung meluas sampai sekarang.

Dasar argumennya rata-rata tak berubah. Mereka yang menentang vaksin senantiasa menganggap vaksin punya korelasi kuat dengan autisme. Yang lain percaya vaksin dibikin dengan darah babi sehingga haram bagi umat Islam. Ada pula yang berpikir vaksin merupakan produk konspirasi Yahudi.

Di era kiwari, resonansi penolakan tersebut makin nyaring terdengar dengan hadirnya media sosial. Dalam risetnya berjudul “The Overlooked Dangers of Anti-vaccination Groups’ Social Media Presence” (2017), Ayelet Evrony dan Arthur Caplan menjelaskan kelompok-kelompok anti-vaksin banyak bermunculan dan melancarkan propagandanya di Facebook.

Salah satu kelompok yang paling getol, mengutip keduanya, bernama A Voice for Choice yang bermarkas di California, AS. Misi organisasi ini adalah mendukung hak-hak masyarakat untuk memperoleh informasi lengkap terhadap produk farmasi. Implementasinya: mengajak masyarakat menjauhi vaksin.

Namun, segala pesan yang disampaikan A Voice for Choice justru menyesatkan alih-alih informatif. Mereka memakai jurus lama: mereproduksi teori-teori othak-athik-gathuk yang sama sekali tak punya referensi ilmiah yang jelas demi membenarkan klaim yang diusung.

Sebagai contoh, kelompok ini menyatakan bahwa “jarang ada anak-anak yang dapat lepas dari efek samping vaksin yang berbahaya dan beracun.” Konteks “berbahaya” merujuk pada hubungan vaksin dengan kanker, penyakit autoimun, kejang, dan ... alergi kacang.

Kemudian, dalam situsweb mereka, vaksin juga disebut-sebut mengandung alumunium jenis neurotoxin yang jumlahnya melebihi level yang dianggap aman oleh EPA (Badan Perlindungan Lingkungan AS). Zat ini dimasukkan dalam vaksin guna meningkatkan respons imun. Bayi, misalnya, menurut mereka, bisa menerima sekitar empat miligram alumunium dari proses vaksin selama tahun pertama hidupnya.

Sekali lagi, dalam menjelaskan pelbagai paparannya soal vaksin, A Voice for Choice tak menyertakan dukungan berupa hasil riset yang kredibel maupun data-data yang valid. Kalaupun disertakan, biasanya mengambil dari penelitian yang sama-sama anti-vaksin sekaligus sulit dipertanggungjawabkan kebenarannya.

Kehadiran A Voice for Choice menimbulkan ketakutan di masyarakat. Tapi, di saat bersamaan, kehadiran mereka juga berhasil menarik dukungan yang tak sedikit. Laman A Voice for Choice, misalnya, telah disukai ribuan orang.

“A Voice for Choice adalah contoh bagaimana kelompok anti-vaksin dapat memanfaatkan kekuatan media sosial untuk menebar propaganda yang bisa menimbulkan rasa takut,” tulis Evrony dan Caplan.

“Efek dari [keberadaan] situs ini menuntut perhatian yang kritis sekaligus serius dari pejabat kesehatan masyarakat, akademisi, komunitas medis, dan media. Ketidaksepakatan dengan fakta yang telah dibuktikan adalah pilihan yang dapat diambil siapa pun. Namun, menyebar kepalsuan, informasi yang keliru, serta penyimpangan fakta soal vaksin bukanlah sesuatu yang tidak bisa diubah dan dilawan.”

Eksistensi kelompok macam A Voice for Choice—dan kelompok sejenis lainnya—di ruang media sosial seketika memunculkan pertanyaan tentang sejauh mana peran Facebook, YouTube, atau panggung media sosial lainnya. Jawabannya: mereka turut melanggengkan propaganda.

Laporan The Guardian menjelaskan bahwa maraknya propaganda anti-vaksin dapat terlihat dalam hasil pencarian di Facebook dan YouTube. Hasil pencarian menunjukkan lebih banyak propaganda anti-vaksin ketimbang informasi-informasi berbasis fakta. Contohnya, bila Anda mengetik “vaksin” di Facebook, maka hasil yang muncul adalah laman-laman seperti “Hentikan Wajib Vaksin” sampai “Gerakan Kebenaran Vaksin” yang punya anggota lebih dari 100 ribu pengguna.

Masih mengutip The Guardian, Facebook menyebut propaganda anti-vaksin “tidak melanggar ketentuan konten.” Bahkan, mereka menerima uang dari kelompok-kelompok anti-vaksin dalam konteks kerjasama bisnis.

YouTube pun setali tiga uang. Jika Anda mengetik “vaksin” di mesin pencari, maka algoritma YouTube akan menyarankan Anda untuk melihat video-video propaganda anti-vaksin.

Tekanan publik terhadap dua raksasa teknologi ini pun meningkat. Pihak YouTube mengaku sudah memasukkan video anti-vaksin dalam kategori “konten yang dapat memberi informasi salah kepada pengguna dengan cara berbahaya” dan akan mengurangi jumlahnya secara bertahap. Sedangkan Facebook sendiri merencanakan bakal menghapus unggahan anti-vaksin karena tergolong mengandung informasi yang bisa "memancing kekerasan atau kerugian secara fisik".

infografik anti vaksin

infografik anti vaksin

Agama Meyakinkannya

Laporan Wellcome Trust juga memperlihatkan gejala lain: keputusan untuk mengambil sikap anti-vaksin sedikit-banyak dipengaruhi keyakinan spiritual, dalam hal ini agama. Ada 55 persen dari keseluruhan koresponden yang menegaskan mereka akan menggunakan pertimbangan agama, alih-alih tetap berpijak pada sains, jika terdapat pertentangan di antara keduanya. AS dan Eropa Selatan menjadi penyumbang terbesar untuk kategori ini—59 persen.

Urusan vaksin di AS memang seringkali berkelindan dengan agama. Kendati negara bagian—yang total berjumlah 50—memiliki undang-undang yang mewajibkan anak-anak sekolah untuk divaksinasi, namun, pemerintah negara bagian nyatanya juga mengatur pengecualian untuk kelompok masyarakat yang ingin menolak vaksin karena alasan agama, pribadi dan moral, serta medis.

Pertarungan vaksin dan agama ini punya riwayat historis yang panjang. Usai Edward Jenner mengembangkan sistem vaksin untuk pertama kalinya pada 1796, ia langsung mengadapi perlawanan dari para rohaniwan yang menyebut vaksin telah "melawan kehendak Tuhan".

Semenjak saat itu, tegangan antara vaksin dan agama menjadi sesuatu yang tak bisa dihindari di banyak wilayah di dunia. Pada dasarnya, tidak ada agama besar yang melarang vaksin. Namun, para anggota di dalamnya seringkali menggunakan otoritas agama sebagai tameng untuk menolak vaksin.

Di lain sisi, tak sekadar menjadi pihak yang vokal menolak vaksin, beberapa kelompok agama juga menjadi sasaran misinformasi tentang vaksin. Akibatnya: mereka jadi korban wabah penyakit.

Contoh kasusnya banyak. Sebagaimana diwartakan Vox, pada 2014, wabah campak menyerang komunitas Amish di Ohio. Pemicunya adalah seorang misionaris yang membawa virus sepulang dari Filipina. Virus kemudian menyebar ke anggota komunitas lain yang sebagian besar menolak untuk divaksinasi dengan alasan "keamanan".

Pemerintah negara bagian New York belakangan mengambil langkah berani. Baru-baru ini, mereka memutuskan untuk menghapus butir aturan yang memperbolehkan orang menolak vaksin dengan alasan agama. Alasannya: wabah campak di New York meningkat dalam beberapa dasawarsa terakhir. Andrew Cuomo, gubernur New York yang berasal dari Partai Demokrat, menyatakan bahwa kesehatan masyarakat merupakan prioritas yang berada di atas kekhawatiran agama.

Keputusan Andrew Cuomo sontak menimbulkan pro-kontra. Mereka yang pro-kebijakan ini menilai langkah Cuomo sudahlah tepat—tidak bertentangan dengan konstitusi dan ilmu pengetahuan. Sementara yang menolak berpendapat keputusan tersebut tak ubahnya gangguan terhadap nilai-nilai keyakinan yang dianut.

“Orang-orang datang ke negara ini untuk melarikan diri dari hal-hal semacam ini [vaksin],” kata Stan Yung, pengacara dari Long Island yang menganut Ortodoks Rusia.

Di belahan bumi lainnya, khususnya yang mayoritas penduduknya beragama Islam, resistensi terhadap vaksin juga tak kalah keras. Salah satunya melalui narasi bahwa vaksin berasal dari darah atau enzim babi. Tak jarang penolakan ditunjukkan dalam wujud fatwa haram yang dikeluarkan otoritas agama negara setempat, misalnya oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI).

Meski demikian, upaya untuk tetap menggencarkan penggunaan vaksin di berbagai negara berpenduduk mayoritas muslim tak meredup begitu saja. Di Pakistan, misalnya, pemerintah meluncurkan Program Perluasan Imunisasi (EPI) pada 1978. Lewat program ini, Pakistan mewajibkan imunisasi TBC, poliomielitis, difteri, pertusis, tetanus, dan campak. Tujuannya menekan angka kematian di kelompok anak-anak sampai 17 persen.

Penolak vaksin akan dijatuhi hukuman denda atau penjara, seperti yang terjadi pada 2015 manakala ratusan orangtua dibui karena tak memberi vaksin kepada anak-anak mereka.

Aturan serupa juga berlaku di Malaysia. Lewat lembaran “Soalan Lazim Mengenai Vaksin dan Imunisasi” (2015), Kementerian Kesehatan dan Departemen Pembangunan Islam memaparkan betapa pentingnya vaksin. Mereka menyebut bahwa program imunisasi untuk mencegah bahaya penyakit tertentu hukumnya wajib. Dasarnya adalah fikih, yakni menolak kerusakan didahulukan daripada mencari kemaslahatan.

Dalam sejumlah kasus, vaksin dan agama belakangan memang sulit mencapai titik temu, tapi bukan berarti mustahil. Upaya yang dapat dilakukan ialah perbanyak literasi, saring informasi, dan keluar dari grup WhatsApp Anda bila sudah dipenuhi hoaks.

Baca juga artikel terkait VAKSINASI atau tulisan lainnya dari Faisal Irfani

tirto.id - Kesehatan
Penulis: Faisal Irfani
Editor: Windu Jusuf