Menuju konten utama

Agama Baha'i dari Persia yang Juga Tumbuh di Indonesia

Agama Baha’i lahir ketika Mírzá Ḥusayn-`Alí Núrí diasingkan ke penjara Acre. Ia menerima wahyu pada 1863 dan memproklamirkan iman Baha’i serta menjadi Baha’ullah.

Taman Baha'i di BahjA­, Acre, Israel. Wikipedia/Marco Abrar

tirto.id - Saat ini, populasi penganut beragama mayoritas dikuasai oleh agama-agama Semit, khususnya Kekristenan dan Islam. Namun, ada pula agama yang narasi kisahnya masih berbagi dengan narasi agama-agama yang kerap disebut agama langit: Yahudi, Kristen, dan Islam.

Baha’i adalah salah satu agama tersebut. Berdiri dan bergeraknya Baha’i tidak lepas dari seorang bernama Mírzá Ḥusayn-`Alí Núrí, putra pasangan Mírzá Buzurg dan Khadíjih Khánum yang lahir pada 12 November 1817. Perkembangan mula-mula terjadi ketika terdapat gerakan keagamaan bernama Bab.

Pada 1844, seorang pria berumur 25 tahun bernama Siyyid Mírzá `Alí-Muḥammad mengaku sebagai Mahdi dalam narasi keyakinan Islam. Ia kemudian mengambil gelar Bab yang berarti "gerbang." Gerakan keagamaan ini dengan cepat menyebar di seluruh kekaisaran Persia (kini Iran) di masa itu. Tentu saja ada banyak tentangan dari para pemuka agama Islam kala itu.

Hidup Bab berakhir di tangan regu tembak pada 1850. Ia dieksekusi di lapangan Tabriz di usia 30 tahun.

Mirza Husayn adalah pengikut Bab sejak 1845 atau setahun setelah kemunculan gerakan keagamaan ini. Tiga tahun setelah Bab dieksekusi, Mirza diasingkan ke Bagdad. Pada 1863, Mirza mulai memproklamirkan iman Baha’i, dan ia adalah pembawa wahyu. Namanya kemudian menjadi Baha’ullah yang berarti kemuliaan Tuhan dalam bahasa Arab.

Pengumuman ini pada didasari pengalamannya saat berada di penjara Siyah Chal di Teheran. Ketika diasingkan kembali ke penjara Acre, Palestina sampai meninggal, Baha’ullah banyak menulis karya religiusnya dalam iman Baha’i, terutama Kitab i-Aqdas, i-Iqan dan Hidden Word.

Tulisan Baha’ullah pada Kitab i-Aqdas secara harafiah adalah Kitab Suci iman Baha’i yang mendefinisikan banyak hukum dan praktik bagi individu dan masyarakat, beriringan dengan Kitab i-Iqan yang secara harafiah adalah kitab kesepahaman sebagai dasar selanjutnya.

Ada tiga prinsip ajaran dan doktrin Baha’i, yaitu kesatuan Tuhan, kesatuan agama, dan kesatuan kemanusiaan. Peter Smith, seorang peneliti terkemuka dalam kajian Baha’i pada bukunya berjudul A Concise Encyclopedia of the Baha'i Faith menyebut dalam Baha’i, Tuhan secara berkala mengungkapkan kehendaknya melalui utusan ilahi, yang tujuannya adalah untuk mentransformasikan karakter manusia. Dengan demikian, agama dilihat secara tertib, terpadu dan progresif dari zaman ke zaman.

Pandangan iman Baha’i terhadap Tuhan sendiri adalah Tuhan yang tunggal, mahatahu, mahakuasa, tidak dapat binasa, tanpa awal dan akhir, merupakan pencipta segala sesuatu yang ada di alam semesta. Tuhan tetap dipandang sadar akan ciptaannya, dengan kehendak dan tujuan yang diungkapkan melalui utusannya yang disebut Manifestasi Tuhan.

Karena gagasan wahyu agama yang progresif, maka Baha’i menerima keabsahan agama-agama besar lainnya yang pendirinya dianggap bagian dari Manifestasi Tuhan.

McMullen & Michael dalam bukunya berjudul The Baha'i: The Religious Construction of a Global Identity menyebut, dalam kepercayaan Baha’i proses wahyu progresif ini tidak akan berakhir, alias seperti lingkaran alias siklis. Baha’i sendiri tidak mengharapkan adanya manifestasi baru dari Tuhan dalam waktu 1000 tahun sejak wahyu yang diterima Bahá'u'lláh.

Abdu'l-Bahá yang adalah anak dari Baha’ullah kemudian menggantikan sosok ayahnya dalam meneruskan ajaran Baha’i. Diperkirakan, Abdul Bahai menulis lebih dari 27.000 karya yang umumnya berbentuk surat dan hanya sebagian kecil yang diterjemahkan dalam bahasa Inggris. Shoghi Effendi, cicit dari Baha’ullah meneruskan kembali kepemimpinan ajaran iman Baha’i dari rentang tahun 1897-1957. Sama seperti pendahulunya, Shogi juga menulis berbagai macam karya tulis pemikiran dan iman Baha’i.

Bahá'í World Centre sendiri merupakan pusat administratif dan spiritual kepercayaan Bahá'í. Ia berada di area Gunung Karmel, Haifa Israel. Lokasi ini memiliki asal usul sejarah dari daerah yang dulunya bagian dari Suriah Utsmaniyah. Dari tahun 1850-an dan 1860-an, penguasa Shah Iran dan Sultan Kekaisaran Utsmaniyah berturut-turut mengasingkan Baha’ullah dari Iran ke benteng Acre dengan masa tahanan seumur hidup.

Buku berjudul The Bahá'í Faith: The Emerging Global Religion karya Hatcher & Martin menyebut nenek moyang Baha’ullah dapat ditelusuri kembali ke keturunan Abraham melalui istrinya Ketura, Isai, juga kepada Zoroaster dan Yazdgerd III. Yang disebut paling akhir adalah raja terakhir dari Kekaisaran Sasaniyah.

Hingga saat ini, perkiraan angka jumlah pengikut Baha’i masih belum dapat diketahui secara pasti. Jika merujuk data Baha’i World Centre, awal tahun 1991 silam, jumlahnya mencapai lebih dari 5 juta orang. Pada pertengahan 2004, ensiklopedia Britannica memperkirakan ada 7,5 juta pemeluk Baha’i tersebar di 218 negara berdasarkan data yang diambil dari World Christian Encyclopedia.

The Economist dalam laporannya April 2017 kemarin menyebut saat ini ada sekitar 7 juta pemeluk Baha’i di seluruh dunia.

src="//mmc.tirto.id/image/2017/05/07/agama-bahai-fuad.jpg" width="860" alt="Agama Baha'i" /

Baha’i di Indonesia

Di Indonesia pun ada penduduk beragama Baha'i. Menurut Iskandar Zulkarnain dalam bukunya berjudul Gerakan Ahmadiyah di Indonesia, penyebaran agama Baha’i di Indonesia dilakukan oleh pedagang dari Persia dan Turki bernama Jamal Effendy dan Mustafa Rumi di Sulawesi sekitar tahun 1878, yang kemudian menyebar ke berbagai tempat lainnya.

Ajaran Baha’i ini juga sempat masuk dalam daftar organisasi yang dilarang di era Presiden Sukarno melalui Keppres No. 264/1962 bersama dengan organisasi lainnya. Iskandar Zulkarnain menyebut, keputusan itu diambil karena Sukarno menilai paham Baha’i tidak sesuai dengan kepribadian Indonesia, menghambat revolusi, dan bertentangan dengan cita-cita sosialisme Indonesia.

Napas lega kebebasan memeluk agama Baha’i baru hadir ketika era Gus Dur. Ia mencabut Keppres No. 264/1962 dengan Keppres No. 69/2000. Dengan demikian, secara konstitusional keberadaan ajaran Baha’i tak bermasalah. Penganutnya, meski agamanya belum bisa diakui di dalam KTP, bisa menjalankan aktivitas keagamaan. Gus Dur juga pernah hadir dalam pertemuan para penganut Baha'i di Jalan Menteng, Jakarta Pusat pada 21 Maret 2000 silam.

Menurut situs resmi komunitas penganut Baha’i di Indonesia, saat ini agama Bahá’í telah ada di lebih dari 191 negara dan 46 wilayah teritorial di dunia dan telah memiliki perwakilan konsultatif resmi di Perserikatan Bangsa-bangsa.

Baca juga artikel terkait AGAMA atau tulisan lainnya dari Tony Firman

tirto.id - Humaniora
Reporter: Tony Firman
Penulis: Tony Firman
Editor: Maulida Sri Handayani