Menuju konten utama

Afrika Perlu Belajar dari Efek Industri Sawit di Indonesia

Setelah perusahaan-perusahaan multinasional kenyang mengeksploitasi Asia Tenggara, Afrika pun jadi sasaran baru proyek pembukaan lahan sawit raksasa .

Afrika Perlu Belajar dari Efek Industri Sawit di Indonesia
Seorang pekerja berdiri berdampingan dengan sebuah excavator yang sedang membuka lahan untuk perkebunan kelapa sawit di distrik Pujehun, Sierra Leone (28/10/11). Foto/REUTERS.

tirto.id - Layaknya ratusan aktivis penolak lahan sawit Kamerun, Nasako Besingi sudah akrab dengan intimidasi, tuntutan hukum, hingga dinginnya jeruji penjara. Besingi telah memimpin perlawanan terhadap investasi pemodal Amerika Serikat yang ingin membuka 73.000 hektare lahan sawit baru di Kamerun. Pada Minggu (25/9/2017), polisi mendatangi kantornya, menyita paspor, dokumen pribadi, ponsel, dan komputernya, lalu menjebloskannya lagi ke penjara.

Penahanan tersebut merupakan puncak dari perselisihan antara Besingi dan aparat keamanan dalam kapasitasnya menjalankan perintah negara: memuluskan investasi AS di Kamerun.

Pada November 2015, Besingi memperkarakan kasus pemukulan yang dilakukan oleh karyawan Herakles Farms, perusahaan minyak kelapa sawit AS yang berkantor di Kamerun. Pada Januari 2016 keputusan pengadilan justru memenangkan Herakles Farms serta memaksa Besingi memilih membayar denda sebesar 450 poundsterling atau satu tahun penjara atas dakwaan pencemaran nama baik.

Baca juga: Mati-matian Menjaga Industri Sawit dari Gempuran Boikot Eropa

Pengacara Besingi mengatakan bahwa para aktivis yang dipenjara akan dibebaskan pada akhir Oktober ini. "Kasusnya sudah jamak," katanya kepada The Guardian. “Ini bukan yang pertama. Apa yang baru adalah orang-orang menggunakan media sosial untuk menyebarkan berita bahwa perlu ada perhatian dari dunia internasional atas apa yang sedang terjadi di sini (Kamerun),” katanya secara anonim karena takut akan mendapat represi dari pemegang otoritas setempat.

Besingi sukses menggerakkan masyarakat lokal untuk turun ke jalan dan menolak lahan sawit yang sedianya akan dibuka di cekungan Congo, kawasan hutan hujan terbesar kedua di dunia. Ada beberapa negara yang turut memiliki sebidang cekungan di Afrika bagian Tengah ini, Kamerun salah satunya. Perlindungan ekosistem tak hanya penting untuk keberlangsungan hidup masyarakat lokal, tetapi juga warga global yang mengandalkan hutan hujan sebagai kawasan paru-paru dunia.

“Nasako tidak melakukan kejahatan; ia hanya menjalankan hak demokratisnya untuk memprotes sebuah proyek yang dia yakini merugikan masyarakat, lingkungan dan mata pencaharian setempat," ujar Irène Wabiwa Betoko, manajer kampanye hutan Greenpeace Africa.

Afrika: Asia Tenggara Berikutnya

Perjumpaan perdana spesies manusia dan kelapa sawit terjadi di Afrika. Tanaman jenis Elaeis guineensiss ini sudah terlacak sejak 5000 tahun lalu. Kala itu, arkeolog menemukan zat yang dapat disimpulkan sebagai kelapa sawit di sebuah makam Abydos, Mesir, yang dibangun pada tahun 3000 SM. Ketika melakukan perdagangan dengan Afrika Barat dan Tengah, para pedagang Eropa sesekali membeli minyak sawit untuk digunakan sebagai minyak goreng di negara asal.

Palm Oil Investigation melaporkan bahwa kini banyak produk makanan dengan kandungan kelapa sawit yang terdaftar sebagai '”minyak sayur”. Hitungan terakhir, ada lebih dari 200 nama kandungan produk yang merujuk pada minyak sawit. World Wild Life (WWF) pernah merilis daftar produk konsumsi harian yang merupakan turunan dari kelapa sawit, antara lain deterjen, shampo, es krim, margarin, coklat, sabun, mi instan, lipstik, adonan pizza, biodiesel, dan roti kemasan. Produk-produk ini hadir di segala tempat, dan dikuasai oleh segelintir perusahaan raksasa seperti Unilever atau Nestle.

Ketergantungan masyarakat modern pada minyak kelapa sawit pun meningkat. Tak heran jika minyak kelapa sawit kini jadi salah satu industri raksasa dunia yang pada 2016 bernilai sekitar $50 miliar. Pada tahun 2022 total laba dari sawit diperkirakan akan mencapai $88 miliar.

Baca juga: Cengkraman Kuat Kelapa Sawit di Indonesia

Dengan meningkatnya permintaan di pasaran global, perusahaan multinasional melebarkan sayap keluar dari Asia Tenggara. Mereka kini melihat Afrika sebagai lahan baru bagi industri sawit. Pada akhir 2016, muncul prediksi bahwa lima tahun ke depan 22 juta hektare lahan hijau di Afrika Tengah akan disulap menjadi perkebunan kelapa sawit.

Nigeria, misalnya, selalu masuk posisi lima besar dalam daftar produsen minyak sawit dunia dengan luas lahan mencapai 2,3 juta hektare. Pemerintah Republik Benin mencanangkan 'Program Kebangkitan Pertanian' dan membuka ratusan ribu hektare lahan sawit baru sejak 2007. Di Ghana sudah ada 336.000 hektare lahan sawit yang sebagian besar dikuasai petani kecil, dan proyek untuk perusahaan asing sedang dibangun pelan-pelan.

Gabon bekerja sama dengan beberapa perusahaan multinasional, salah satunya perusahaan Olam yang telah mengelola 55.000 hektare lahan sawit. Pemerintah Gabon dikabarkan telah menyiapkan 100.000 hektare lahan baru agar produksinya bisa lebih digenjot. Sementara di Liberia, perusahaan Golden Veroleum Liberia sudah menguasai konsesi lahan sawit seluas 220.000 hektare yang disewa untuk 65 tahun. Kontraknya dikabarkan bisa diperpanjang sampai hampir satu abad, demikian menurut catatan Sustainable Palm Oil.

Pelajaran dari Indonesia

Dalam diskusi anggota Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) yang difasilitasi The Guardian Desember tahun lalu, muncul kekhawatiran bahwa Afrika akan bernasib sama dengan Asia Tenggara: kejayaan industri dibayar dengan berbagai masalah lingkungan dan sosial.

Afrika, dengan demikian, perlu melihat dampak masifnya industri kelapa sawit terhadap kehidupan warga lokal dan ekosistem setempat.

Indonesia sudah kenyang dengan konflik lahan akibat perluasan lahan kelapa sawit. Salah satu kasusnya terjadi di hutan adat Utaq Melinau milik masyarakat Dayak Benuaq di Kampung Muara Tae, Kutai Barat, Kalimantan Timur. Manuver perusahaan pemegang hak pengusahaan hutan (HPH) dan para pemilik modal yang membabat hutan untuk beragam kepentingan, telah membuat wilayah Hutan Utaq Melinau seluas 300 hektare tumpang tindih dengan perkebunan sawit.

Pertanian warga lokal sering gagal akibat tanamannya kena semprot hama sawit. Jarak dekat antara perkebunan sawit dan pemukiman warga yang makin dekat juga meningkatkan kasus kekeringan. Jumlah konflik horizontal pun naik. Perusahaan kelapa sawit dianggap bertindak sewenang-wenang dengan meratakan pepohonan dan menanami tanahnya dengan bibit kelapa sawit. Warga pun terbelah antara yang pro maupun kontra atas keberadaan kebun sawit.

Baca juga: Hutan Masyarakat Adat Makin Terhimpit Lahan Sawit

Kondisi serupa terjadi di banyak areal perkebunan sawit yang kebetulan dekat dengan perkampungan warga lokal, mulai dari Sumatera, Kalimantan, hingga Papua yang dijadikan proyek besar-besaran oleh pemerintah.

Perkebunan kelapa sawit juga turut andil dalam mengacaukan keragaman hayati sebuah negara. Lian Pin Koh dan David S. Wilcove, pakar ekologi dari Universitas Princeton, Amerika Serikat, pernah mempublikasikan penelitiannya tentang perkara ini di jurnal Biodivers Conserv pada 2010.

Data yang didapat penelitian tersebut menunjukkan bahwa alihfungsi hutan primer dan sekunder menjadi perkebunan sawit mengurangi kekayaan spesies burung hutan lebih dari 70 persen, sedangkan alih fungsi perkebunan karet menjadi perkebunan sawit berakibat pengurangan spesies yang sama sebesar 14 persen. Pola serupa juga ditemukan pada kekayaan spesies kupu-kupu hutan di Kalimantan.

Kehancuran spesies (termasuk manusia) diawali dari perubahan kecil seperti ini, sebab alam bersifat integral alias saling memengaruhi satu sama lain.

Komunitas Lokal Afrika Mulai Kena Getahnya

“Investasi dan perluasan kelapa sawit tumbuh pesatdi Afrika. Jika direncanakan dan diimplementasikan dengan baik, industri kelapa sawit akan membuka lapangan pekerjaan dan turut membangun perekonomian negara. Tetapi jika tidak, maka yang timbul adalah deforestasi, hilangnya habitat, dan hilangnya mata pencaharian masyarakat lokal,” kata Abraham Baffoe, direktur regional Afrika untuk organisasi Proforest, dalam diskusi RSOP bersama The Guardian.

Persoalan intinya, kata Baffoe, perusahaan-perusahaan sawit multinasional yang beroperasi di Afrika pertama-tama mengejar kontrak atas konsesi lahan dengan pemerintah—baru kemudian datang ke komunitas lokal. Komunitas lokal adalah orang-orang yang sesungguhnya memiliki lahan yang akan dijadikan kebun sawit. Sudah sekian generasi tanah tersebut mereka olah secara tradisional, dan tentu saja tak semuanya rela jika lahannya disulap jadi deretan pohon kelapa sawit di mana mereka tak punya kuasa atasnya.

Infografik Deklarasi marakeshi

Di titik inilah, kata Baffoe, konflik akan muncul, sebab petani yang tak rela tanahnya diambil (dengan kompensasi rendah plus janji pekerjaan baru—kadang tanpa keduanya sama sekali) akan melawan, dan negara akan mengerahkan aparat keamanan baik polisi maupun tentara untuk mengendalikan situasi. Kondisi ini telah terjadi di beberapa negara. Contohnya di Liberia, negara Afrika Barat yang sudah sesak dengan konflik dan kini sedang menghadapi tren perluasan lahan kelapa sawit dari perusahaan dalam maupun luar negeri.

Di Liberia ada perusahaan Golden Veroleum Liberia (GVL) yang investor utamanya adalah Golden Agri-Resources, salah satu perusahaan minyak kelapa sawit paling kuat di dunia yang bermarkas di Singapura. Keberadaan GVL memang membuka lapangan pekerjaan bagi rakyat Liberia yang sedang berusaha bangkit dari kemiskinan. Namun manuver kotor pemerintah negara dan perusahaan seperti GVL juga turut melahirkan konflik lahan dengan warga lokal yang merasa dirugikan oleh keberadaan perusahaan sawit di ladangnya.

Baca juga: Perkebunan Sawit yang Makin Mengancam Keragaman Hayati

Dalam sebuah konferensi di London pada Mei tahun lalu, Ali Kaba, koordinator program Sustainable Development Institute Liberia, menyatakan bahwa persoalannya bukan industri minyak sawit belaka, namun juga pelanggaran hak asasi manusia yang mengiringinya. Sebagaimana dilaporkan CNN, Kaba menyoroti bagaimana perkembangan pesat industri sawit di Liberia membuat orang-orang lokal terusir dari tanah yang sudah dihuni secara turun-temurun.

Selain itu kelangkaan makanan juga mulai terjadi, polusi lingkungan meningkat dan banyak keluarga yang tak bisa lagi melaksanakan rutinitas harian, baik pekerjaan mengolah tanah maupun mencari air. Seorang perempuan normal, kata Kaba, biasanya hanya perlu 30 menit untuk sekadar mencari air, tapi sekarang butuh minimal dua jam. Pendeknya, penduduk desa di dekat perkebunan sawit lambat laun kehilangan sumber daya alam yang penting untuk menopang kehidupan mereka.

Yang paling dikhawatirkan Kaba adalah ketidakjelasan regulasi dalam pelaksanaan industri sawit di Liberia. Ia dan aktivis lingkungan lain tak meminta pelarangan kebun kelapa sawit, namun memperingatkan para pengambil kebijakan dari Liberia hingga Uni Eropa agar memperketat peraturan dan pelaksanaannya di lapangan. Ini semua semata-mata demi pembagian keuntungan yang adil antara perusahaan dan komunitas lokal, alih-alih sekadar mengeruk laba secara eksploitatif dan merugikan pihak bermodal kecil.

Baca juga artikel terkait PERKEBUNAN SAWIT atau tulisan lainnya dari Akhmad Muawal Hasan

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Akhmad Muawal Hasan
Penulis: Akhmad Muawal Hasan
Editor: Windu Jusuf