Menuju konten utama

Afair Para Jenderal

Beberapa jenderal TNI dikenal sebagai sosok womanizer dan kawin berkali-kali.

Ahmad Yani. Foto/wikipedia

tirto.id - Soe Hok Gie, mahasiswa Jurusan Sejarah UI yang legendaris itu, pernah mengulas hedonisme kehidupan elit pejabat di zaman Orde Lama.

“Tiap minggu diadakan pesta-pesta yang dekaden di Istana dengan ngomong cabul dan perbuatan-perbuatan cabul,” coret Soe Hok Gie sekitar 1966 dalam buku harian yang dibukukan menjadi Catatan Seorang Demonstran (1983).

Letnan Jenderal Ahmad Yani, yang sejak 1962 jadi orang nomor satu di Angkatan Darat dengan jabatan Menteri/Panglima Angkatan Darat (Menpangad), di mata Soe Hok Gie sebenarnya bukan tipikal perwira mata keranjang. Menurut catatannya, sekitar 1962, Yani pernah bikin “peraturan yang melarang prajurit-prajurit Angkatan Darat (AD) mengambil istri kedua tanpa izin komandan dan istri pertama”.

Tak semua orang di lingkaran Sukarno senang dengan aturan Yani. Menurut Gie, Yani lalu dipancing lewat perempuan. Menurut Hario Kecik dalam Pemikiran Militer 2: Sepanjang Masa Bangsa Indonesia (2010), Yani punya kelemahan dalam urusan satu ini. Dan rupanya, sang jenderal terpancing.

Baca Juga: Wanita-wanita Dalam Korupsi Jusuf Muda Dalam

Yani pun menyisihkan Yayu Rulia Sutowiryo — yang tak hanya dikenal sebagai istri pertama, tapi juga istri yang menemani perjuangan Yani dari zaman perang dulu.

“Karena Yani mulai berpacaran dengan siswi SMA,” tulis Kecik. “Akhirnya ia memelihara istri muda,” kata Gie. Kemungkinan dengan gadis yang masih SMA itu.

Baik Kecik maupun Gie tak merinci siapa perempuan yang jadi istri muda Yani. Juga tak dijelaskan bagaimana kemudian Yani kawin dengan remaja SMA tersebut. Tapi kemungkinan besar hal itu terjadi ketika Yani menjabat Menpangad. Posisi itu yang membuatnya dekat dengan konco-konco Sukarno yang tak jauh dari perempuan cantik.

Artikel "Akhir Perburuan Jenderal Licin" di Tempo (25/01/2010) pernah menyitir kelanjutannya. “Pada 1967, Herman [Sarens Sudiro] menikahi janda kedua Achmad Yani, Khadijah,” demikian terpapar dalam artikel tersebut.

Baca Juga: Sepak Terjang Ahmad Yani Menjelang 1 Oktober 1965

Masih menurut Kecik, dalam bukunya yang lain, Pemikiran Militer 4: Bangsa Indonesia Abad 21 (2009), “Jenderal Abdul Haris Nasution, yang anti-poligami, tegang dengan Letnan Jenderal Ahmad Yani dan Sukarno.” Yani dan Sukarno tentu satu kubu. Bukan lagi pendukung, tapi pelaku.

“Nasution terang-terangan anti-poligami dan mempertunjukannya dengan tegas dalam tindakan terhadap seorang perwira menengahnya yang menjalankan poligami dengan menonaktifkan dari jabatannya. Perwira tersebut adalah Letnan Kolonel Dahyar dari jajaran Divisi Siliwangi,” tulis Kecik dalam Pemikiran Militer 2. Bagi Kecik, ini sebelas-duabelas dengan perilaku Presiden Sukarno yang doyan kawin.

Malam terakhir dalam hidup Yani, ia sedang tak bersama Yayu. Istrinya tak ada di rumah. Ada yang menyebut, Yayu ngambek kepada Yani gara-gara kedekatan suaminya dengan perempuan lain. Namun, menurut Julius Pour dalam Gerakan 30 September: Pelaku, Pahlawan & Petualang (2010), di malam naas itu Yayu sedang tirakatan.

Seperti Yayu, setelah Yani terbunuh pada 1 Oktober 1965, Khadijah tentu jadi janda juga. Soal isu kedekatan ayahnya dengan perempuan lain, Amelia Yani pernah bilang kepada Tempo (30/09/2002), “saya rasa wajar saja kalau Bapak punya affair karena Bapak itu orangnya ganteng sekali.”

Amelia tak berlebihan mengomentari ayahnya. Salah satu kelebihan Yani terletak pada kharisma penampilan fisiknya. Ia tak hanya punya badan yang tegap, namun juga memiliki paras yang sangat menarik.

Baca juga: Abdul Haris Nasution Si Penggagas Dwifungsi ABRI

src="//mmc.tirto.id/image/2017/09/28/ahmad-yani--MILD--rangga_ratio-9x16.jpg" width="859" height="1523" alt="Infografik Ahmad Yani" /

Herman Sarens Sudiro yang belakangan menikahi Khadijah pun bukan sembarang serdadu. Sebagai tentara, Herman yang waktu itu masih aktif juga punya penampilan yang parlente. Pada 1967, pangkatnya sudah melampaui Letnan Kolonel. Sementara pangkat terakhir Herman adalah Brigadir Jenderal.

Saat Khadijah menjadi istri muda Yani, Herman—yang pernah jadi Staf Umum di Markas Besar Angkatan Darat (MBAD) pada 1962—adalah perwira bawahan Yani. Soal kawin, selain dengan Khadijah, Herman pernah kawin dengan Tinawati, Rieke, juga Theresa Bleszynski. Perempuan terakhir adalah kakak tiri artis Tamara Bleszynski.

Rupanya tidak hanya Yani yang diketahui Kecik tersangkut afair. Seorang kawan Yani sejak zaman sekolah di Jakarta, Taswin Almalik Natadiningrat (belakangan jadi Letnan Jenderal TNI), juga dikenal sebagai womanizer.

“Taswin mempunyai sexual orientation yang sama dengan Yani. Ia meninggalkan istri tuanya untuk kawin dengan perempuan Cina,” tulis Kecik di Pemikiran Militer 2.

Baca juga:

Selain Taswin, kawan Yani lain yang punya isu miring soal perempuan adalah Sarwo Edhi Wibowo. Orang ini, belakangan juga jadi Letnan Jenderal, konon pernah dekat dengan janda Pahlawan Revolusi Brigjen Katamso, Sri Wulan Murni. Majalah Tempo (7/11/2017) pernah menurunkan laporan soal isu ini, dan dengan tegas putri Katamso, Endang Murtaningsih, membantahnya.

Di zaman Orde Baru, poligami pejabat jadi masalah serius. Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 menghambat abdi negara yang ingin tambah istri. Disinyalir, semua berkat dorongan Ibu Tien Soeharto. Ibu Negara di masa kepresidenan Soeharto itu, di mata Abdul Gofur dalam Ibu Tien Soeharto dalam Pandangan dan Kenangan Para Wanita (1996), adalah “inspirasi bagi undang-undang anti poligami.”

kendati demikian, di masa Orde Baru itu, desas-desus tentang kehidupan para perwira dan pejabat elit bukannya tidak ada. Namun dalam kondisi yang penuh kekangan kepada pers, desas-desus itu tidak banyak mendapatkan tempat. Dan barulah setelah 1998 informasi tentang hal itu dengan leluasa menjadi obrolan di media dan milis-milis.

Baca juga artikel terkait SEJARAH INDONESIA atau tulisan lainnya dari Petrik Matanasi

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Petrik Matanasi
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Ivan Aulia Ahsan
-->