Menuju konten utama

Adu Klaim Ketahanan Berperang Antara Prabowo vs Ryamizard

Prabowo bilang ketahanan perang Indonesia cuma 3 hari, sementara Ryamizard 1000 tahun. Keduanya tidak tepat.

Adu Klaim Ketahanan Berperang Antara Prabowo vs Ryamizard
Ketum Partai Gerindra Prabowo subianto. FOTO/Instagram/Prabowo

tirto.id - Calon Presiden nomor urut 02, Prabowo Subianto, kembali melontarkan pernyataan kontroversial. Kali ini ia bicara soal perang. Katanya, kalau terjadi perang, Indonesia hanya kuat tiga hari tiga malam.

Kata bekas Danjen Kopassus sekaligus mantu Soeharto itu, ia dapat informasi ini langsung dari Menteri Pertahanan di era Joko Widodo, Ryamizard Ryacudu. Hal ini disebabkan karena memang jumlah logistik, terutama peluru, yang terbatas.

“Saudara-saudara sekalian, kalau Indonesia terpaksa perang hari ini, kita hanya bisa tahan tiga hari karena pelurunya hanya untuk tiga hari,” kata Prabowo di JCC, Jakarta, Senin (14/1/2019) malam.

“Bukan saya yang katakan, tapi Menhan yang ada di pemerintahan sekarang. Beliau ingin hal ini diketahui oleh rakyat Indonesia,” tambahnya.

Pernyataan Prabowo ini buru-buru diklarifikasi Ryamizard. Pada satu sisi, ia membenarkan pernah berbicara soal itu, tapi pada sisi lain, katanya, pernyataan itu dalam konteks dan waktu spesifik. Mantan KSAD itu mengaku bilang begitu antara tahun 2005 hingga 2006, atau saat dunia sedang mengalami krisis minyak.

“Saya mendengar kesimpulan mereka [para ahli perminyakan] begitu, dan waktu itu memang kelangkaan minyak. Saya sampaikan begitu ‘kalau perang besar 3 hari 3 malam pesawat jalan terus, kapal jalan terus, habis itu. Tapi lain-lain tidak,” tegas Ryamizard di kompleks Kemenhan, Jakarta, Rabu (16/1/2019) kemarin.

Dengan gaya hiperbolis Ryamizard bahkan mengatakan “kita bisa perang berlarut-larut, bisa seribu tahun, kita perang. Bisa.”

Ryamizard sebetulnya pernah mengatakan hal yang sama persis pada 2015, bukan 2005-2006, lewat Twitter—meski kemudian dihapus. Sumber informasinya adalah pernyataan Mantan Wakil Menteri Energi Sumber Daya Mineral Susilo Siswoutomo pada 2013. Ketika itu Susilo bilang Indonesia tidak punya cadangan strategis BBM yang disimpan secara khusus jika terjadi hal darurat seperti perang.

“Cadangan BBM kita nol! Bandingkan dengan Malaysia yang punya 30 hari, Jepang, Korea, dan Singapura 50 hari,” kata Susilo.

Terlalu Pesimis dan Optimis

Pemerhati militer dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Khairul Fahmi mengatakan ada yang salah dari pernyataan Prabowo maupun Ryamizard.

“Kalau yang satu secara pesimistis [Prabowo], yang satu terlalu optimistis [Ryamizard],” kata Fahmi kepada reporter Tirto, Rabu (16/1/2019).

Bagi Fahmi, Prabowo terlalu pesimistis karena faktanya tentara Indonesia terbiasa perang gerilya. Dan jika itu yang mereka lakukan, kemungkinan besar durasi berperang bisa jauh lebih panjang ketimbang tiga hari.

“[Perang] gerilya kita bisa panjang. Kita punya daya tahan untuk itu.”

Sementara pernyataan Ryamizard disebut terlalu optimistis karena faktanya tentara kita pasti akan kewalahan menghadapi perang modern yang melibatkan sejumlah peralatan canggih dan bahkan tak perlu menerjunkan pasukan ke teritori lawan. Lagi-lagi, persoalan klasik yang bakal dihadapi adalah alutsista kita terlampau terbatas.

Infografik HL Indepth HUT TNI

Infografik HL Indepth HUT TNI

Faktanya alutsista TNI masih kalah jauh dibanding negara lain. Untuk armada udara saja—ancaman nyata dalam dekade ke depan—India memiliki 2.102 pesawat, Cina punya 2.955 pesawat, dan AS 13.762 pesawat. Indonesia, hanya 441 pesawat. Ini pun didominasi 111 pesawat latih. Sementara jet tempur hanya 39 pesawat.

Untuk kekuatan laut, India punya 295 kapal perang, Cina 714 kapal, dan AS punya 415 kapal—yang didominasi kapal induk dan kapal selam. Indonesia? Hanya 221.

“Jadi Ryamizard berlebihan ketika berbicara soal seribu tahun. Kita belum siap dalam perang [modern] yang berlangsung lama,” kata Fahmi.

Pengamat militer Aris Santoso mengatakan pernyataan Prabowo dan Ryamizard hanya membuka kembali diskusi soal pola pikir tentara kita dalam memandang ancaman. Perkara siapa yang benar, bukan masalah utama.

Pola pikir yang dimaksud adalah belum menempatkan ancaman dari luar sebagai prioritas. Program pembangunan kekuatan pertahanan—yang tertuang dalam kebijakan Minimum Essential Force hingga 2024—masih berkutat pada ancaman internal berupa “separatisme dalam negeri.”

“Musuh dari luar itu, untuk sekarang ini, untuk hari-hari ini. di luar imajinasi tentara, baik jenderal aktif maupun pensiunan seperti Prabowo maupun Ryamizard,” kata Aris kepada reporter Tirto.

Baca juga artikel terkait PILPRES 2019 atau tulisan lainnya dari Andrian Pratama Taher

tirto.id - Politik
Reporter: Andrian Pratama Taher
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Rio Apinino