Menuju konten utama

Adil Membangun Infrastruktur, Adil Membangun Peradaban

“Kalau kita bicara soal ekonomi, tak ada untungnya bikin bandara di Miangas dan di Ilaga... Tetapi semua orang, di ujung mana pun, memiliki hak-hak yang sama,” kata Menhub Budi Karya Sumadi

Adil Membangun Infrastruktur, Adil Membangun Peradaban
Ilustrasi Advertorial Bandar Udara Kertajati. FOTO/Nita/Humas Kementerian Perhubungan

tirto.id - “Kebahagiaan yang sederhana adalah pembangunan yang merata. Adek-adek kita ini akhirnya merasakan apa yang namanya aspal, saking excited-nya mereka sampai lepas sandal,” demikian keterangan pemilik akun @gothed atas dua foto yang viral di Twitter.

Foto pertama menunjukkan sembilan anak tengah main sepeda di jalanan; foto kedua, berisi enam pasang sandal berjejer rapi di atas pasir, di pinggir jalan tersebut. Secara tidak langsung, foto-foto tersebut mengatakan: “karena tak ingin mengotori aspal yang masih berkilat, anak-anak ini main bertelanjang kaki!”

Pemerintah Joko Widodo-Jusuf Kalla memahami manfaat jalanan bagi negeri yang 51,21 % penduduknya tinggal di perdesaan (Sensus Penduduk 2010) ini. Masuk akal bila salah satu poin dalam Nawacita adalah membangun Indonesia dari pinggiran—termasuk memperbaiki dan menyediakan jalan-jalan beraspal di daerah. “Jalanan adalah jaringan penting di dunia nyata. Infrastruktur tempat infrastruktur lainnya bergantung. Mereka adalah jalur usaha manusia,” kata penulis Amerika Ted Conover.

Berdasarkan Rencana Pembangunan Jangka Menengah dan Panjang periode 2015-2019, pemerintah menargetkan pembangunan jalan baru sepanjang 2.650 KM, jalan tol 1.000 KM, pemeliharaan jalan sepanjang 46.770 KM, serta 15 bandar udara baru. Bersamaan dengan rencana itu, Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi menyebut di antara sekian banyak prioritas pembangunan infrastruktur, dua yang paling utama adalah pelayanan rakyat dan angkutan massal di pusat kota, misalnya Mass Rapid Transit (MRT) dan Light Rail Transit (LRT). “Kami membangun LRT bukan untuk satu sampai dengan dua tahun. Ini bisa menjadi proyek 100 tahun dimana LRT akan banyak cabangnya dimana-mana,” kata Budi.

Adapun mengenai MRT, Budi menilai keberadaan moda transportasi massal itu—di luar soal jumlah rupiah yang dapat diraupnya—akan mendatangkan banyak manfaat kepada masyarakat. “Pertama, jumlah CO2 akan turun, kedua tidak akan macet, dan orang-orang akan tepat waktu,” kata Budi, optimis. Pandangan itu tentu tak lepas dari harapan bahwa orang-orang akan mengurangi penggunaan kendaraan pribadi setelah MRT beroperasi.

Budi pantas bersikap optimistis, terlebih bila berkaca kepada Negeri Gajah Putih. “Selama beberapa tahun terakhir, BTS (Bangkok Mass Transit System) dan MRT telah mengurangi kemacetan lalu lintas, terutama di pusat kota, dan mengurangi masalah lingkungan seperti pencemaran udara,” tulis Peson Sirikolkarn dari Departemen Ekonomi Universitas Barkeley.

Infografik Advertorial Setiap Orang, di Ujung Mana Pun, Berhak Punya Akses

Konektivitas Kunci Peradaban

Selain jalan, pemerintah Jokowi-JK juga akan membangun 15 bandara baru serta mengembangkan pelayanan kargo udara di 6 titik. Budi Karya menyebut hal itu sebagai salah satu upaya membangun sekaligus memperbaiki peradaban.

“Kalau kita bicara soal ekonomi, tak ada untungnya bikin bandara di Miangas dan di Ilaga karena orangnya juga sedikit. Tapi ada satu peradaban baru yang kita inginkan, bahwasanya semua orang di ujung mana pun memiliki hak-hak yang sama,” katanya.

Miangas adalah salah satu pulau terluar Indonesia, berdekatan dengan Filipina. Sebelum ada bandara, penduduk Miangas menggunakan jalur transportasi laut untuk berhubungan dengan “dunia luar”, tepatnya lewat kapal perintis. Sayangnya, keberadaan kapal perintis tidak dapat diandalkan manakala cuaca buruk dan gelombang tinggi.

"Pernah suatu waktu kapal sudah terlihat akan berlabuh di Miangas akan tetapi karena cuaca (buruk), kapal itu perlu waktu 4 hari untuk bersandar," kata Hibor Arunda’a, seorang pensiunan guru sekaligus tokoh masyarakat Miangas. Pembangunan bandara diakui Hibor membawa manfaat ekonomis terhadap penduduk di wilayah yang masuk Kabupaten Kepulauan Talaud, Sulawesi Utara, tersebut.

Adapun Ilaga adalah nama kawasan terpencil di wilayah Puncak, Papua. Lain dari di Miangas, pembukaan bandara di sana bukan untuk kepentingan komersial, melainkan logistik. Satu-satunya akses yang bisa memudahkan distribusi logistik ke daerah tersebut memang hanya pesawat terbang.

“Terima kasih kepada Presiden Jokowi, Menteri Perhubungan, Mensesneg, dan semua pihak terkait. Ini sesuai dengan program Nawacita Presiden. Setelah ada tol laut, saat ini ada tol udara di pegunungan tengah Papua," kata bupati Kabupaten Puncak, Willem Wandik.

Buah pembangunan infrastruktur sebetulnya tidak hanya dirasakan masyarakat terluar, terdepan, terpencil (3T). Pada libur lebaran kemarin, misalnya, media sosial juga sempat diramaikan tagar #mudiklancar.

Terkait keberhasilan itu, menurut Budi ada dua kunci utama, yakni kerjasama dan komunikasi. “Kami tidak merasa lebih hebat dari instansi lain. Kami bekerjasama dengan Polri, karena di lapangan, yang jadi komandannya ya Kapolri.” Budi menyebut faktor komunikasi punya dampak sekitar 30% untuk kelancaran transportasi semasa libur lebaran. Namun demikian, tak bisa dinafikan bahwa faktor terbesar adalah infrastruktur.

“Infrastruktur itu 50% karena kalau tidak ada infrastruktur ya bohong,” tukasnya.

(JEDA)

Penulis: Tim Media Servis