Menuju konten utama

Ada Zika yang Hidup di Mata

Peneliti di Washington University School of Medicine mengkaji gejala mata merah dan berair yang melanda sebagian pasien Zika. Awal September kemarin mereka mempublikasikan temuannya. Hasilnya: virus Zika mampu hidup dan mengendap di mata tikus. Jika demikian, apakah air mata manusia penderita Zika juga bisa menjadi medium penularan virus berbahaya tersebut?

Ada Zika yang Hidup di Mata
Petugas Kantor Kesehatan Pelabuhan (KKP) Kelas I Surabaya melakukan pengasapan di Terminal II Bandara Juanda Surabaya, SIdoarjo, Jawa Timur, Rabu (7/9) malam. Pengasapan tersebut bertujuan untuk megantisipasi penyebaran virus Zika. ANTARA FOTO/Zabur Karuru/pd/16

tirto.id - Pasien penderita virus Zika terus bertambah. Usai menghebohkan Singapura, virus yang pada pertengahan tahun ini melanda negara-negara di Amerika Latin itu menyebar secara pelan tapi pasti ke Malaysia. Enam kasus zika dilaporkan ada di Malaysia, seperti dilaporkan masing-masing negara bagian berdasarkan pemantauan Kementerian Kesehatan Malaysia terhitung 1 September hingga 13 September 2016.

Baru-baru ini seorang perempuan Vietnam berusia 40 tahun juga didiagnosis terinfeksi virus Zika saat bepergian ke Jepang, demikian seperti yang disampaikan oleh Kementerian Kesehatan Vietnam dan dilansir Antara.

Sebelum tiba di Jepang, perempuan yang digigit nyamuk di Vietnam tersebut mengalami sakit kepala dan timbul ruam pada tubuhnya. Setelah mengalami gejala lain seperti nyeri sendi dan mata merah, perempuan tersebut memeriksakan diri ke rumah sakit di Tokyo, dan dua hari kemudian, ia didiagnosis terinfeksi virus Zika.

Gejala pada perempuan Vietnam tersebut memang sama seperti yang dialami oleh penderita Zika lain. Merujuk laporan Harvard Medical School, sekitar 20 persen pasien Zika menunjukkan gejala umum seperti demam ringan, sakit badan, dan sakit kepala, dan ruam pada tubuh. Pada sedikit kasus, ada keluhan sakit perut, mual, dan diare.

Namun, yang menarik perhatian dari peneliti di Washington University School of Medicine adalah gejala mata merah dan berair yang melanda sebagian pasien. Setelah melakukan serangkaian penelitian, pada 6 September 2016 lalu mereka mempublikasikan temuannya di Jurnal Cell Reports. Hasilnya: virus Zika terbukti mampu hidup dan mengendap di mata tikus.

Objek penelitian tersebut melibatkan janin tikus, bayi tikus, dan tikus dewasa. Serangkaian penelitian lanjutan sedang disiapkan dengan manusia sebagai subjek penelitiannya. Sebelum menuju ke tahap tersebut, hasil penelitian tersebut cukup memberi penjelasan mengapa penderita Zika mengalami gejala mata merah dan cenderung berair.

“Studi yang kami laksanakan menunjukkan bahwa mata bisa menjadi tempat mengendapnya virus Zika. Kita perlu mempertimbangkan apakah orang yang tertular Zika memiliki virus menular di mata mereka dan hingga berapa lama (virus) itu akan bertahan,” kata Michael S. Diamond, MD, PhD, selaku profesor bidang kedokteran di Washington University School of Medicine sekaligus salah seorang penulis senior penelitian tersebut.

Virus Zika memunculkan penyakit ringan bagi kebanyakan orang dewasa, namun bisa juga menyebabkan kerusakan otak dan kematian pada janin. Sekitar sepertiga dari semua bayi yang terinfeksi waktu masih dalam kandungan lahir dengan gangguan mata akibat Zika seperti radang syaraf optik, kerusakan retina, atau kebutaan. Pada orang dewasa, Zika dapat menyebabkan konjungtivitis (mata merah dan gatal) dan beberapa bisa berakhir pada penyakit uveitis.

Untuk melihat efek virus Zika pada mata, para peneliti menginfeksikan virus tersebut ke bawah kulit tikus dewasa, mirip infeksi Zika dari nyamuk Aedes aegypti ke manusia. Tujuh hari kemudian, virus Zika diketahui telah hidup di mata. Fakta ini menunjukkan bahwa virus Zika menemukan jalurnya ke bagian mata penderitanya.

Temuan ini juga memunculkan kemungkinan penularan virus Zika melalui kontak langsung dengan air mata penderita. “Meski kami baru menemukan virus yang hidup di air mata tikus, tapi bukan berarti tak menular bagi manusia. Ada potensi, suatu saat nanti air mata manusia berubah menjadi media penularan yang serius dan mampu menyebarkan virus Zika, serupa dengan gigitan nyamuk Aedes aegypti” kata Jonathan J. Miner, MD, PhD selaku pemimpin riset penelitian.

Meskipun air mata penderita tak terbukti sebagai media penularan virus Zika, deteksi yang nantinya akan ditindaklanjuti oleh para peneliti masih memiliki manfaat praktis lain. Air mata manusia bisa diuji sebagai antibodi virus, dan dalam prosedur yang lebih tak menyakitkan ketimbang harus mengeluarkan setitik darah. Mata tikus juga dipakai untuk menguji obat anti-virus Zika.

“Keuntungan menggunakan mata adalah Anda hanya perlu dosis yang sangat kecil dan tak perlu khawatir akan efek samping dari penambahan dosis seperti keracunan hati. Jika Anda memakai mata untuk mempelajari dosis atau khasiat obat, Anda dapat menggunakan pengetahuan itu untuk mengobati infeksi virus di tempat lain,” kata peneliti senior lain Rajendra S. Apte, MD, PhD.

Buntut Pemanasan Global?

Hasil temuan tersebut membuka tabir kecurigaan para peneliti yang selama ini terkejut dengan penyebaran massif dan cepat virus Zika, melebihi ekspektasi normal penyebaran virus lewat nyamuk. Ahli epidemologi sebelumnya telah memprediksi penyebaran penyakit berdasarkan tingkat transmisi virus yang bersangkutan dan jumlahnya dalam darah orang yang terinfeksi. Namun dua faktor itu saja tak cukup.

“Epidemi virus Zika terjadi bagai ledakan besar dan tak mampu dijelaskan jika akar permasalahannya hanya bertumpu pada nyamuk dan jumlah virus Zika dalam darah manusia. Beberapa faktor lain mungkin bermain. Transmisi seksual barangkali memainkan peran utama, tapi bisa juga cairan tubuh lain seperti ludah, air seni, atau air mata,” kata Diamond.

Jika Diamond dan kawan-kawan berusaha mencari jawabannya dengan mengutak-atik mata, beberapa pengamat mencurigai jika penyebaran virus Zika terkait dengan perubahan iklim yang melanda dunia. Artinya, bumi yang makin hangat (efek pemanasan global) berkontribusi atas fenomena Zika saat ini.

“Zika adalah hal yang sebenarnya telah kita bicarakan bersama sejak 20 tahun terakhir. Kita seharusnya bisa mengantisipasinya. Setiap kali planet menghadapi perubahan iklim skala global, spesies di dalamnya berpindah tempat, termasuk juga patogen yang mereka bawa. Patogen itu akhirnya bersinggungan dengan spesies lain tanpa adanya perlawanan,” kata Daniel Brooks, seorang ahli biologi di University of Nebraska-Lincoln kepada The Guardian.

Badan Kesehatan Dunia (WHO), yang telah mendeklarasikan kondisi darurat kesehatan publik atas cacat lahir terkait Zika sejak bulan Februari lalu, mengeluarkan pernyataan bahwa perubahan iklim global telah mengubah lanskap untuk vektor dan penyakit-penyakit yang dibawa oleh aliran air. Air yang menggenang adalah tempat nyamuk Aedes aegypti bersarang.

Menurut riset WHO, temperatur global naik 2-3 derajat Celcius. Sedangkan nyamuk Aedes aegypti, spesies pembawa virus Zika, berkembang lebih pesat di wilayah dengan temperatur yang hangat. Dr Diarmid Campbell-Lendrum, peneliti perubahan iklim WHO mengamini proses ledakan penyebaran virus Zika sebagai dampak dari pemanasan global.

Peningkatan curah hujan akan menciptakan lebih banyak genangan air untuk bersarangnya nyamuk. Deforestasi dan intensifikasi pertanian juga mempertinggi resiko penyebaran penyakit akibat gigitan nyamuk.

Tak lupa juga, proses penggundulan hutan di berbagai wilayah telah menjadi faktor utama penyebab banjir yang menggenangi pemukiman penduduk. Menurut Dr Diamard, “Agen infeksi akan berkembang pesat saat banjir.”

Apa yang mesti dilakukan? Masih menurut Dr Diamard, “Sudah jelas bahwa kita perlu memperkuat pengawasan dan tanggapan kita terhadap berbagai penyakit yang muncul akibat pemanasan global ini. Globalisasi, pergerakan orang-orang lintas batas negara, juga menjadi faktor penting.”

“Hidup di dunia di mana kita sendiri yang merusak sistem iklimnya, maka kita juga yang mesti menanggung akibatnya,” imbuhnya.

Baca juga artikel terkait ZIKA atau tulisan lainnya dari Akhmad Muawal Hasan

tirto.id - Kesehatan
Reporter: Akhmad Muawal Hasan
Penulis: Akhmad Muawal Hasan
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti