Menuju konten utama

Ada yang Ganjil dari Vonis Kasus Ujaran Kebencian Asma Dewi

Pasal 207 KUHP jadi dasar hakim memutuskan hukuman terhadap Asma Dewi—tervonis kasus ujaran kebencian. 

Ada yang Ganjil dari Vonis Kasus Ujaran Kebencian Asma Dewi
Terdakwa ujaran kebencian Asma Dewi usai persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Jakarta, Kamis (1/2/2018). tirto.id/Andrian Pratama Taher

tirto.id - Asma Dewi sudah mendapat vonis dari Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dalam kasus ujaran kebencian yang didakwakan kepadanya, akhir pekan lalu. Asma Dewi divonis hukuman penjara lima bulan dan 15 hari karena terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 207 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dalam dakwaan subsider dari jaksa.

Pada awal persidangan, Asma Dewi didakwa melanggar empat aturan hukum yang berbeda. Pertama, ia didakwa melanggar Pasal 28 ayat (2) juncto Pasal 45 UU 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Kedua, berdasarkan Pasal 16 juncto Pasal 40 UU 40/2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis. Ketiga, ia dianggap melanggar pasal 156 KUHP, dan terakhir pasal 207 KUHP.

Namun, hanya Pasal 207 KUHP yang menjadi dasar hakim memutuskan hukuman terhadap Asma Dewi. Pasal ini mengatur penghinaan pada penguasa atau badan hukum dengan ancaman hukuman maksimal pidana penjara 1 tahun 6 bulan, dan denda Rp4.500.

Vonis terhadap Asma Dewi dengan Pasal 207 KUHP mendapat kritik ahli Hukum Pidana dari Universitas Indonesia Choky Risda Ramadhan. Choky mengatakan pasal 207 KUHP harusnya dipakai pada aduan dari penguasa yang menjadi objek perkara. Ketentuan itu berdasarkan bunyi pertimbangan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 13-22 Tahun 2006 dan Nomor 31 Tahun 2015

“MK menempatkan Pasal 207 ini sebagai delik aduan. Aparat penegak hukum baru bisa memproses pelanggaran atas pasal ini setelah ada pengaduan dari penguasa," ujar Choky kepada Tirto, Senin (19/3/2018).

Penjelasan Soal Pasal 207 KUHP

MK dalam pertimbangan Putusan Nomor 13-22/2006 dan Nomor 31/2015 menyebutkan, penuntutan berdasarkan Pasal 207 KUHP harus berdasar pengaduan. Pelanggaran Pasal 207 KUHP bisa diproses jika ada penguasa yang merasa dihina dan mengadu ke aparat kepolisian.

Dalam pertimbangan saat itu, MK mencontohkan kasus penghinaan penguasa di negara lain juga bersifat delik aduan. Negara yang dijadikan contoh oleh MK adalah Jepang.

“Penuntutan terhadap pelaku pelanggaran atas Pasal 207 KUHP oleh aparat penyelenggara negara memerlukan penyesuaian di masa depan sejalan dengan pertimbangan Mahkamah mengenai Pasal 134, Pasal 136 bis, dan Pasal 137 KUHPidana,” bunyi petikan penjelasan MK di Putusan Nomor 13-22/2006.

Pandangan MK tentang Pasal 207 KUHP menimbulkan konsekuensi bagi Presiden dan Wapres agar hadir dalam persidangan yang menggunakan aturan itu sebagai dakwaan. Choky menyebut, kehadiran Presiden dan Wapres diperlukan sebagai saksi korban.

"Selain itu, sebenarnya MK implisit menyatakan ketentuan-ketentuan tentang penghinaan terhadap pemerintah yang sah bisa menimbulkan ketidakpastian hukum karena amat tergantung pada tafsir apakah suatu protes, pernyataan pendapat, atau pikiran merupakan kritik atau penghinaan,” kata Choky.

Ketua Harian Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia (MaPPI) FH UI ini menambahkan penggunaan aturan soal penghinaan terhadap pemerintah juga bisa menghambat hak kebebasan berpendapat. Choky menganggap penggunaan Pasal 207 KUHP dalam vonis Asma Dewi tak tepat dan seharusnya dihindari penegak hukum.

Beda Ujaran Kebencian dan Penghinaan Penguasa

Pendapat Choky soal tidak tepatnya Pasal 207 KUHP pada vonis Asma Dewi juga menjadi perhatian Deputi Direktur Riset Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) Wahyudi Djafar.

Wahyudi menjelaskan aturan soal penghinaan penguasa dan dan ujaran kebencian merupakan dua hal berbeda. Menurutnya, penegak hukum harusnya bijak menggunakan pasal-pasal tersebut dalam mendakwa pesakitan.

“Problemnya memang, penegak hukum seringkali kesulitan di dalam merumuskan unsur-unsur hate speech sehingga menggabungkan dengan delik lainnya, padahal esensinya berbeda,” kata Wahyudi kepada Tirto.

Keberadaan pasal tentang ujaran kebencian dan penghinaan penguasa dalam dakwaan Asma Dewi mencerminkan sikap penegak hukum yang kesulitan dalam membedakan unsur pidana. Polisi dan jaksa seharusnya fokus mencari unsur ujaran kebencian atau penghinaan penguasa sejak awal penyidikan kasus Asma Dewi sehingga tak perlu ada dakwaan dengan dasar hukum delik pidana yang berbeda-beda.

“Jangan membuka celah ketegangan dengan menggabungkannya dengan delik lain. Karena tidak semua pasal hatzaai artikelen (penebar kebencian) itu hate speech, bahkan beberapa materinya dianggap mengancam sistem demokrasi," kata Wahyudi.

Ketua Setara Institute Hendardi juga berpendapat hukuman untuk Asma Dewi lebih baik berdasarkan dakwaan pokok yakni Pasal 28 ayat (2) juncto Pasal 45 UU ITE. Menurutnya, delik penghinaan penguasa tak bisa digunakan karena MK sudah memiliki pandangan sendiri atas Pasal 270 KUHP.

“UU ITE jauh lebih tepat digunakan untuk menjerat Asma Dewi... Jadi meskipun saya tidak sepakat dengan tindakan Asma Dewi, saya juga mengkritik cara hakim memutus perkara ini,” kata Hendardi.

Alasan Jaksa Gunakan Dakwaan Berlapis

Belum diketahui apa alasan Jaksa Penuntut Umum (JPU) mendakwa Asma Dewi dengan empat pasal berbeda. Tirto telah mencoba konfirmasi ke Kepala Seksi Pidana Umum Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan Dedyng W Atabay, tapi ia tidak menjawab pesan dan panggilan telepon.

Jaksa Agung Muhammad Prasetyo sempat menyampaikan JPU akan mengajukan banding atas putusan PN Jaksel di kasus Asma Dewi. Menurutnya, publik tak bisa menyalahkan jaksa atas rendahnya vonis hukuman terhadap Asma Dewi.

"Saya pikir jaksanya banding, itu sudah ada SOP (Standar Operasional Prosedur). Kalau vonis jauh dari tuntutan ya kita harus banding," kata Prasetyo di kantornya, Jumat (16/3/2018).

Kuasa hukum Asma Dewi, Nurhayati juga enggan menanggapi banyaknya dakwaan yang diberikan pada kliennya. Menurut advokat dari ACTA itu, tim kuasa hukum menghormati keputusan hakim dan baru bersedia menyampaikan sikap setelah salinan putusan diterima.

"Sementara kita hormati dulu keputusan hakim. Kami masih berunding di antara tim penasihat hukum," kata Nurhayati.

Pernyataan singkat Nurhayati memang bisa maklum bila melihat posisi Asma Dewi. Saat ini, Asma Dewi sudah menghirup udara bebas. Ia keluar dari bui sejak 18 Februari. Asma Dewi kemungkinan tidak perlu lagi mendekam di penjara, lantaran sebelumnya ia sudah ditahan sekitar lima bulan.

Baca juga artikel terkait KASUS UJARAN KEBENCIAN atau tulisan lainnya dari Lalu Rahadian

tirto.id - Hukum
Reporter: Lalu Rahadian
Penulis: Lalu Rahadian
Editor: Mufti Sholih