Menuju konten utama

Ada Sanksi Protokol COVID, KPU & Bawaslu Sepakat Revisi UU Pilkada

KPU dan Bawaslu sepakat untuk merevisi kembali Undang-Undang Pemilukada di masa pandemi COVID-19.

Ada Sanksi Protokol COVID, KPU & Bawaslu Sepakat Revisi UU Pilkada
Komisioner KPU Viryan Azis (tengah) tiba di gedung KPK untuk menjalani pemeriksaan di Jakarta, Selasa (28/1/2020). ANTARA FOTO/Galih Pradipta/aww.

tirto.id - KPU dan Bawaslu sepakat untuk merevisi kembali Undang-Undang Pemilukada di masa pandemi COVID-19. Hal tersebut dilakukan karena regulasi utama Pilkada belum mengakomodir masalah sanksi pelanggaran protokol kesehatan dalam pelaksanaan Pilkada 2020.

Namun, Bawaslu memandang ada opsi lain yang diambil dalam menindak peserta yang melanggar protokol kesehatan.

Dalam diskusi daring Smart FM, Sabtu (19/9/2020), Komisioner KPU Viryan Azis menjelaskan para bakal pasangan calon (bapaslon) datang secara tertib ke KPU saat pendaftaran. Bapaslon dan tim datang secara terbatas dan mengikuti protokol kesehatan. Akan tetapi, mereka diiringi para massa pendukung menunggu di luar gedung KPU. "Ini lampu merah untuk kegiatan kita."

Viryan melihat, akar permasalahan terjadi karena belum ada pengaturan tentang sanksi, larangan dan pelaksanaan dalam Undang-Undang Pilkada. KPU melihat ketidaktegasan sanksi adalah masalah serius yang harus segera diperbaiki dalam Pilkada 2020.

"Ini menjadi poin penting meskipun sederhana namun ini serius bagi kami. Sebaiknya ditimbang pemerintah mengambil langkah mengeluarkan Perppu karena regulasi yang ada undang-undang semacam ini belum diatur," kata Viryan.

Pandangan hampir serupa disampaikan Bawaslu. Anggota Bawaslu Ratna Dewi Pettalolo mengakui COVID-19 merupakan salah satu ancaman dalam pelaksanaan Pemilukada 2020. Namun, pelaksana pemilu mengalami kesulitan dalam menindak pelanggar protokol kesehatan karena keterbatasan regulasi.

"Ada kendala besar kita dalam penanganan pelanggaran dari aspek penegakan hukum, pelanggaran protokol kesehatan pada pelaksanaan Pilkada tahun 2020, karena terjadi terdapat kekosongan regulasi undang-undang 10 tahun 2016," kata Ratna dalam diskusi yang sama.

Ratna mengatakan, PKPU 6 tahun 2020 tidak mengatur sanksi yang tegas bagi para pelanggar protokol kesehatan. Ia mencontohkan kasus pengumpulan massa saat pendaftaran di KPU. Bawaslu juga mencatat ada 243 pelanggaran lain selain yang diucapkan Viryan.

Padahal, kata Ratna, sanksi diperlukan dalam rangka mengendalikan masyarakat dan mencegah penyebaran COVID. Sanksi tegas bisa berupa pembubaran kampanye hingga tidak dapat kesempatan berkampanye berikutnya.

Ratna menuturkan, ada dua solusi yang bisa diambil dalam merespon masalah sanksi dan penegakan hukum. Pertama, penegakan hukum diarahkan kepada jajaran kepolisian. Sebab, undang-undang kekarantinaan dan KUHP bisa digunakan sebagai instrumen penegakan hukum.

Opsi kedua adalah memutuskan untuk memasukkan para pelanggar protokol kesehatan dalam rangkaian pemilukada. Dengan demikian, KPU dan Bawaslu bisa menindak sebagai penyelenggara pemilu. Namun, perlu ada revisi UU Pemilukada sebagai payung hukum penindakan tersebut.

"Tapi kan ini tak mungkin, waktunya kan sudah mepet sehingga yang paling mungkin dilakukan adalah menerbitkan perppu. Nah, kalau ini memang dilakukan maka tentu harus benar-benar memenuhi kebutuhan, terutamanya kebutuhan penegakan hukum yang selama ini menjadi problem kita," tutur Ratna.

Meski mendorong potensi revisi UU Pilkada, Ratna memberi catatan dalam pengaturan sanksi. Ia menyoalkan sanksi ke depan berbentuk sanksi administrasi atau pidana. Ia mengingatkan pasal 138 di UU Pemilukada hanya mengatur tentang pelanggaran terhadap tata cara mekanisme pelaksanaan tahapan pemilihan sementara Protokol kesehatan tidak masuk dalam tata cara tersebut.

"Nah, itu yang jadi problem kita. Jadi kalau kita mau atasi ini maka harus dimulai dari pembenahan terhadap regulasi kita," kata Ratna.

Baca juga artikel terkait PILKADA 2020 atau tulisan lainnya dari Andrian Pratama Taher

tirto.id - Politik
Reporter: Andrian Pratama Taher
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Maya Saputri