Menuju konten utama

Ada Malaadministrasi TWK, 75 Pegawai Buka Opsi Lanjutkan ke PTUN

Pegawai KPK yang tak lolos TWK munculkan opsi bawa persoalan pelanggaran administrasi yang dilakukan KPK ke PTUN.

Ada Malaadministrasi TWK, 75 Pegawai Buka Opsi Lanjutkan ke PTUN
Direktur Pembinaan Jaringan Kerja Antar Komisi dan Instansi di KPK, Sujanarko (kiri) mendampingi Penyidik senior Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Novel Baswedan (ketiga kanan) menjawab pertanyaan awak media di Kantor Dewan Pengawas (Dewas) KPK, Gedung KPK lama, Kuningan, Jakarta, Senin (17/5/2021). ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat

tirto.id - Sebanyak 75 pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang dinyatakan tidak memenuhi syarat Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) mengapresiasi laporan Ombudsman RI tentang adanya malaadministrasi dalam proses Tes Wawasan Kebangsaan (TWK).

Mereka yang tergabung dalam Tim 75 itu menilai hasil berbagai temuan itu melampaui apa yang diproyeksikan sebelumnya.

"Kami merasa terkejut. Sebab, ternyata temuan Ombudsman membongkar sesuatu yang lebih dalam dari yang kami perkirakan pada awal laporan. Laporan kami hanya memproyeksikan ada penyimpangan administrasif yang sederhana, tapi hasil pemeriksaan Ombudsman ternyata menemukan pelanggaran hukum yang lebih serius oleh Pimpinan KPK dalam melaksanakan proses alih status pegawai KPK," kata Kepala Bagian Perancangan dan Produk Hukum KPK nonaktif Rasamala Aritonang lewat konferensi pers pada Rabu (21/7/2021).

Ombudsman menemukan sejumlah tindakan malaadministrasi terkait TWK dalam rangka alih status pegawai KPK menjadi ASN, mulai dari tahap penyusunan dasar hukum yakni Peraturan KPK Nomor 1 tahun 2021; pelaksanaan TWK; dan penetapan hasil.

Dalam proses penyusunan Peraturan KPK 1/2021 tentang Tata Cara Alih Status Pegawai KPK Menjadi ASN, Ombudsman menyatakan asesmen TWK adalah selipan yang disusupkan pada tahap akhir pembahasan Peraturan KPK 1/2021.

Dalam proses penyusunan itu pun diduga ada penyimpangan prosedur sebab sejumlah menteri dan pimpinan lembaga turun langsung dalam rapat harmonisasi beleid itu pada 26 Januari 2021. Padahal, berdasarkan Permenkumham 23/2018, harmonisasi aturan internal sebuah lembaga cukup dilakukan oleh pejabat setingkat sekjen atau kepala biro.

Dalam proses itu juga didapati adanya dugaan pelanggaran kewenangan, sebab kendati dihadiri oleh menteri dan pimpinan lembaga, berita acara rapat tersebut justru ditandatangani oleh Kepala Biro Hukum KPK dan direktur pada Direkturat Jenderal Peraturan Perundang-Undangan (Ditjen PP) Kemenkumham. Padahal dua orang itu tidak menghadiri rapat tersebut.

Dalam pelaksanaan TWK, Ombudsman manipulasi nota kesepahaman KPK-BKN tentang kerangka kerja dengan cara backdate. Sebagai informasi, pelaksanaan asesmen TWK digelar pada 9 Maret 2021, tetapi nota kesepahaman tentang kerangka kerja TWK baru ditandatangani pada 8 April 2021 dan 26 April 2021. Sebulan sesudah pelaksanaan.

Untuk mengakali hal itu, tanggal di dalam nota kesepahaman tersebut dibuat mundur yakni Januari 2021 agar seolah-olah kerangka kerja TWK sudah terbit 3 bulan sebelum pelaksanaannya.

Pada tahap penetapan hasil, Ombudsman menyatakan Surat Keputusan Ketua KPK Firli Bahuri yang menonaktifkan 75 pegawai yang dinyatakan tidak lolos TWK adalah maladministrasi. Alasannya, baik di undang-undang KPK, PP 41/2020 tentang Pengalihan Pegawai KPK menjadi ASN, dan Peraturan KPK 1/2021 tidak ada satu pun ketentuan tentang konsekuensi tidak lolos TWK.

Sebagai langkah korektif, Ombudsman menuntut KPK mengangkat 75 pegawai tersebut menjadi aparatur sipil negara sebelum 31 Oktober 2021; menjadikan hasil TWK sebagai masukan guna perbaikan pegawai di masa mendatang; memberikan kesempatan pada 75 pegawai yang tidak lolos TWK untuk memperbaiki diri melalui pendidikan kedinasan; dan memberi hasil tes TWK kepada masing-masing pegawai dan memberi penjelasan kepada pegawai KPK mengenai konsekuensi.

"Ada tiga kata kunci pada temuan yang kami anggap serius: maladministrasi, pelanggaran prosedural, dan yang amat serius adalah penyalahgunaan wewenang," kata Rasamala.

Terkait tiga poin pelanggaran itu, Rasamala mengatakan ia dan teman-temannya akan menindaklanjuti temuan Ombudsman untuk mengungkap motif pelanggaran itu. Di antaranya, motif Kepala Biro Hukum KPK menandatangani dokumen berita acara rapat yang mereka tidak hadiri, dan alasan nota kesepahaman antara KPK-BKN tentang kerangka kerja TWK dibuat backdate.

Namun, Rasamala dkk masih harus mempelajari hasil temuan Ombudsman untuk menentukan langkah selanjutnya.

Menurutnya, terbuka sejumlah opsi, misalnya terkait penyalahgunaan kewenangan termasuk dalam pelanggaran administrasi dan bisa diseret ke pengadilan tata usaha negara. Selain itu, karena TWK itu mengganggu kerja penyidik, maka bisa juga dijerat dengan pasal obstruction of justice.

Rasamala mengingatkan, laporan Ombudsman secara etik moral bersifat mengikat dan seharusnya dilaksanakan oleh para terlapor.

"Demikian pula secara hukum, hasil temuan tersebut adalah, keputusan hukum yang diterbitkan lembaga negara yang harus dihormati dan dilaksanakan oleh semua pihak. Terutama lembaga penegak hukum," tutupnya.

Baca juga artikel terkait KEJANGGALAN TWK KPK atau tulisan lainnya dari Mohammad Bernie

tirto.id - Hukum
Reporter: Mohammad Bernie
Penulis: Mohammad Bernie
Editor: Bayu Septianto