Menuju konten utama
Firman Soebagyo

"Ada Kompromi-Kompromi Politik dalam UU MD3"

"Namanya DPR ... Ketika terjadi perdebatan alot, mesti ada solusi," kata Firman dari Fraksi Golkar. Maka, lahirlah pasal-pasal kontroversial.

Ilustrasi Firman Subagyo. tirto.id/Teguh Sabit Purnomo

tirto.id - Kontroversi pengesahan UU MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3) berlanjut hingga akhir pekan lalu. Presiden Joko Widodo pernah mengunggah cuitan bahwa ia tak akan menandatanganinya sesudah UU tersebut disahkan dalam rapat paripurna DPR pada 12 Februari 2018.

"Draf UU MD3 sudah ada di meja saya, tapi belum saya tandatangani,” tulis Presiden Jokowi melalui akun Twitter, 21 Februari. "Saya memahami keresahan yang ada di masyarakat mengenai hal ini. Kita semua ingin kualitas demokrasi kita terus meningkat, jangan sampai menurun."

Meski emoh meneken UU tersebut, Jokowi juga tak meneruskannya dengan Peraturan Pemerintah Pengganti UU yang bisa membatalkannya. Sehingga, secara otomatis setelah 30 hari sejak disahkan para politikus di Senayan, UU MD3 tetap berlaku.

Jokowi berkata bahwa ia "kaget" atas isi UU MD3. Ia juga bilang bahwa 75 persen usulan dari DPR atas UU tersebut ditolak oleh Menkumham Yasonna Laoly.

Faktanya tidak demikian. Dalam risalah rapat di Senayan, 7 Februari, Yasonna menyetujui semua pasal kontroversial dalam UU MD3. Risalah juga mencatat bahwa Yasonna membacakan sambutan Jokowi, yang mengucapkan terima kasih atas perubahan MD3 terutama penambahan jumlah pimpinan jatah partai pemenang pemilu—dalam hal ini PDIP, partai yang mengusungnya sebagai presiden, partai tempat Menkumham Yasonna meniti karier sebagai politikus.

Belakangan, Yasonna berkata bahwa wartawan “tidak perlu tahu” mengenai alotnya pembahasan UU MD3.

Pasal-pasal yang memicu polemik dan berpotensi digugat ke MK itu di antaranya: wewenang DPR bisa memanggil paksa seseorang apabila mangkir dari panggilan lembaga legislatif (pasal 73), hak DPR memanggil siapa saja yang "merendahkan kehormatan DPR dan anggota DPR" (pasal 122), serta kebal hukum anggota Dewan (pasal 245). Pasal-pasal ini mencerminkan para politikus telah berlagak sebagai penegak hukum.

Mengapa pasal-pasal ini lolos dari mata pemerintah? Mengapa Yasonna menutupi kompromi politik di Senayan?

Arbi Sumandoyo dari Tirto mewawancarai Firman Soebagyo, Wakil Ketua Badan Legislasi DPR dari Fraksi Golkar, lewat telepon mengenai apa yang tidak dikatakan oleh pemerintah serta "dinamika" seperti apa mengenai revisi UU MD3 tersebut. Berikut petikannya dengan penyuntingan minor demi ramah dibaca.

Soal proses pengesahan UU MD3, versi pemerintah bahwa pasal-pasal kontroversial disebut-sebut muncul pada akhir-akhir pembahasan?

Ketika panitia kerja (Panja) berinisiatif atas undang-undang DPR itu, saya ketua Panjanya. Waktu itu disepakati hanya menambah satu unsur wakil ketua DPR, lalu tambah satu wakil ketua MPR, dan terjadi perdebatan panjang akhirnya.

Golkar mengusulkan maksimal bisa ditambah tiga di MPR, dan satu di DPR. Hanya sampai di situ. Lain-lainnya tidak ada lagi. Itu yang disahkan dalam paripurna.

Setelah dikirim draf ke pemerintah, akhirnya pemerintah menyetujui inisiatif DPR, tanpa ada koreksi.

Setelah pembahasan tingkat I, ketua panja diambil alih oleh Ketua Badan Legislatif, Supratman Andi Agtas (Fraksi Gerindra), ketua Badan Legislatif. Nah dinamika pembahasan pun berkembang.

Di situlah mulai ada penambahan [pasal-pasal], akhirnya kompromi-kompromi politik. Bukan pada ujung pembahasan. Dan itu sudah dibahas berulang-ulang oleh pemerintah.

Usulan penambahan itu muncul sebelum rapat Panja tanggal 7 Februari?

Saya tidak tahu tanggalnya. Yang jelas muncul pada pembahasan tingkat I.

Apakah pemerintah setuju soal penambahan pasal kontroversial?

Kalau tidak setuju, maka tidak disahkan menjadi undang-undang. Ketika pembahasan, pemerintah harus setuju. Pak Yasonna Laoly memberikan pidato, kan, mewakili pemerintah.

Soal Pak Yasonna [apakah] konsultasi dengan Presiden atau tidak, itu yang kami tidak tahu.

Apakah pemerintah menyampaikan keberatan atas pasal-pasal kontroversial?

Penambahan semula ada keberatan-keberatan, tapi namanya dinamika politik terus berkembang.

Mayoritas fraksi saat itu menyetujui penambahan pasal yang direvisi?

Penambahan imunitas bukan usulan Golkar. Penambahan itu terjadi ketika dinamika pembahasan di tingkat I.

Jadi usulan bersama?

Usulan dari partai-partai tertentu. Kan, terjadi perdebatan. Golkar hanya ingin menambah wakil pimpinan DPR dan wakil ketua MPR.

Anda bilang ada kompromi-kompromi politik, bisa dijelaskan?

Namanya DPR, kan, lembaga politik, ketika terjadi perdebatan alot, mesti ada solusi. Solusinya seperti apa? Mesti ada lobi, ada diskusi, dan itu dilakukan intensif. Dan ketika lobi-lobi dilakukan enggak mungkin satu fraksi bisa memenangkan yang mayoritas.

Bagaimana dengan NasDem dan PPP yang menolak revisi UU MD3?

Awalnya mereka setuju di tingkat inisiatif: penambahan wakil ketua DPR dan Ketua MPR. Ketika terjadi pembahasan, mereka merasa punya kepentingan semua. Ketika kepentingannya tidak terpenuhi, melakukan walk out.

Yang dipersoalkan PPP adalah penetapan wakil ketua MPR. PPP menghendaki agar itu dipilih. Karena penetapan ketua dan wakil ketua DPR berbeda dari MPR (MPR ada unsur DPR dan DPD RI).

Tapi itu terjadi diskusi panjang. Lobi, lobi, lobi. Akhirnya begitu. Disepakati sistem penetapan. Tapi pak Arsul [Sani] dari PPP enggak setuju, maka walk out.

Apakah benar revisi UU MD3 dilakukan setelah Menkumham Yasonna bersurat ke DPR?

Mekanismenya memang begitu. Jik undang-undang itu dari inisiatif DPR, maka DPR yang menetapkan. Inisiatif dikirim ke pemerintah. Pemerintah mengeluarkan surpres (surat presiden) dan DIM (daftar inventarisasi masalah). Karena itu kapasitas Pak Yasonna ditunjuk oleh presiden untuk mewakili, melalui supres, mewakili unsur pemerintah. Jadi enggak ada [yang namanya] Pak Yasonna mengirim surat khusus untuk dipercepat, justru sudah menunda-nunda.

Karena sudah 9 bulan sejak April 2017?

Betul.

Jadi ini memang sudah dijadwalkan dan 14 hari langsung diputus?

Enggak, bukan 14 hari. Ini sudah lama. Hampir tujuh bulan undang-undang ini dibahas.

Tapi sempat pending sejak April 2017 dan dimulai pada 18 Januari?

Iya. Ini proses sudah lama, bukan di ujung. Kalau mengatakan 14 hari itu salah. Bukan di-pending, tapi terjadi yang namanya deadlock. Nah, deadlock itulah dilakukan lobi, lobi, lobi, lobi. Itu juga harus jadi bagian proses yang harus dihitung. Jangan dilihat di ujungnya. Kalau dilihat ujung saja, nanti kamu bilang undang-undang dibuat sehari—itu, kan, bahasa media; bahasa LSM, kan, begitu.

Tapi pembahasannya intens cuma 14 hari?

Enggak. Bukan begitu. Intens itu ya mulai 7 bulan itu. Karena ada deadlock waktu itu. Kami menunggu dari jawaban pemerintah. Ketika ada perubahan-perubahan, pemerintah harus mempertimbangkan. Pemerintah harus berkoordinasi dengan lintas sektor, lintas kementerian. Itu yang lama. Baru masuk pembahasan lagi. Ketika ada yang disepakati, ada yang dicoret, kita mulai pembahasan lagi.

Jadi undang-undang ini dibahas 7 bulan lebih. Kemudian pernah deadlock karena itu kami tunggu pemerintah.

Baca juga artikel terkait REVISI UU MD3 atau tulisan lainnya dari Arbi Sumandoyo

tirto.id - Politik
Reporter: Arbi Sumandoyo
Penulis: Arbi Sumandoyo
Editor: Fahri Salam