Menuju konten utama

Ada Kartel di Balik Anjloknya Harga Ayam Peternak?

Harga ayam kembali anjlok meski pemerintah telah turun tangan. Apakah ada kartel bermain?

Ada Kartel di Balik Anjloknya Harga Ayam Peternak?
Sejumlah masa aksi dari Gabungan Organisasi Peternak Ayam Nasional melakukan unjuk rasa di depan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Jakarta, Kamis (5/9/2019). ANTARA FOTO/Nova Wahyudi/foc.

tirto.id - Peternak rakyat mengeluhkan anjloknya harga ayam akibat kelebihan pasokan. Mereka mengancam bakal kembali menggelar demonstrasi di Jakarta jika pemerintah tak segera melakukan intervensi.

Sekretaris Jenderal Gabungan Asosiasi Pengusaha Peternak Ayam Nasional (Gopan) Sugeng Wahyudi mengatakan, kelebihan pasokan seharusnya tak terjadi jika perusahaan peternakan yang menguasai hulu-hilir (integrator) mematuhi kewajiban pembuatan rumah potong hewan (RPH) dan fasilitas cold storage.

Dua fasilitas tersebut bisa membendung banyaknya pasokan ayam hidup di pasaran dan mengkonversinya menjadi daging yang bisa disimpan saat harga pasar sedang anjlok.

“Jadi harga tidak akan sejelek hari ini,” ucap Sugeng saat dihubungi reporter Tirto, Rabu (22/1/2020).

Menurut Sugeng, kondisi peternak rakyat saat ini berbanding terbalik dengan para peternak yang menjadi mitra integrator yang bisa menikmati harga di kisaran atau bahkan di atas Harga Pokok Produksi (HPP) Rp18 ribu per kilogram.

Lantaran itulah, kata dia, pemerintah harus kembali bergerak untuk mendongkrak harga di tingkat peternak. Pasalnya, bila kondisi ini berlarut-larut, banyak peternak rakyat bisa gulung tikar.

Jika tak gulung tikar, peternak rakyat terpaksa menjadi mitra integrator dan rela berada dalam kontrol pemain-pemain besar. Mereka akan sulit mandiri lantaran harus patuh pada aturan main perusahaan: mulai dari suplai bibit ayam, pakan, vaksin, sampai penjualan hasil ternak.

“Pasar diciptakan melalui mekanisme internal perusahaan. Bisa saja harga Rp18-20 ribu per kilogram tapi itu karena sengaja diciptakan,” Sugeng menegaskan.

Ketua Perhimpunan Insan Perunggasan Rakyat Indonesia (Pinsar) Jawa Tengah, Parjuni, mengatakan harga ayam di tingkat peternak kini di kisaran Rp13.500-14.500 per kilogram. Hal ini membuat para peternak rakyat merugi lantaran ongkos produksi saja kini sudah di kisaran Rp16 ribu-Rp17 ribu.

“Saya saja, rata-rata bisa rugi sampai Rp200 juta per bulan,” ujarnya, seperti dikutip Antara Senin (20/1/2020) lalu.

Dugaan Kartel

Peneliti dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Rusli Abdulllah menduga jatuhnya harga ayam ini ada kaitannya dengan kartel antara pengusaha integrator. Kondisi ini persis seperti tahun 2016, ketika Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) mengeluarkan putusan mendenda 12 perusahaan integrator atas tindakan kartel.

Bedanya, menurut Rusli, kali ini harga ayam sengaja dibuat jatuh untuk menyerang peternak mandiri. Dengan demikian, mereka mau tak mau harus bergabung sebagai mitra integrator.

Hal ini sangat mungkin dilakukan karena perusahaan integrator menguasai sarana produksi peternakan (sapronak) seperti pakan, vaksin, bibit hingga pangsa pasar.

Menurut Perhimpunan Peternak Unggas Nusantara (PPUN), perusahaan integrator yang terhimpun dalam Gabungan Perusahaan Pembibitan Unggas (GPPU) menguasai 80 persen pasar ayam di Indonesia.

“Peternak rakyat bergantung pada perusahaan integrator. Peternak tidak leluasa secara bisnis karena integrator punya kuasa termasuk kalau mau memainkan harga. Meskipun ini perlu dibuktikan KPPU,” ucap Rusli kepada reporter Tirto, Rabu (22/1/2020).

Ketua Umum Gabungan Perusahaan Pembibitan Unggas (GPPU) Indonesia Achmad Dawami membantah kalau ada kartel di kalangan perusahaan integrator. Menurutnya tak mungkin industri mengatur harga agar lebih rendah dari yang seharusnya karena mereka tentu akan terdampak juga.

Achmad mengatakan kelebihan pasokan hari ini disebabkan banjir di Jabodetabek. Banjir menyebabkan stok daging di Jabodetabek dan sekitarnya tak terdistribusi dengan baik.

Imbasnya, pasokan dari sentra produksi seperti Jawa Tengah tak bisa terserap.

“Urusan kartel itu tidak mungkin terjadi. Integrator, kan, jual anak ayam juga,” ucap Achmad kepada reporter Tirto.

Ketua Pusat Kajian Pertanian Pangan dan Advokasi (Pataka) Yeka Hendra menilai dugaan kartel masih sulit dibuktikan. Sebab, menurutnya, jatuhnya harga di tingkat peternak lebih karena pemerintah gagal menjadi wasit di tengah persaingan peternak besar dan rakyat.

Salah satu yang luput diawasi adalah penggunaan kandang tertutup oleh interogator—yang lebih efisien dari pada metode kandang terbuka ala peternak rakyat.

Pengawasan lain yang dinilai kurang juga terjadi pada proses pengafkiran. Bahkan pada tahun 2019, pengawasannya diterapkan secara silang antar pengusaha.

Karena itulah ia tak heran bila target pemusnahan telur ayam seperti tampak tak pernah berhasil.

“Orang berlomba-lomba bangun kandang ini. Jadi oversupply. Mestinya pemerintah mengawasi persaingan budi daya bermodal besar dan kecil,” ucap Yeka.

Reporter Tirto telah berupaya menghubungi Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementan sejak Rabu (22/1/2020), namun belum mendapat tanggapan.

Baca juga artikel terkait HARGA AYAM ANJLOK atau tulisan lainnya dari Vincent Fabian Thomas

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Vincent Fabian Thomas
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Hendra Friana