Menuju konten utama

Ada apa dengan Vanuatu, Papua Barat, dan Indonesia?

Konflik diplomatik Indonesia - Vanuatu terus berulang. Vanuatu menuding Indonesia melanggar HAM. Indonesia berkilah. 

Ada apa dengan Vanuatu, Papua Barat, dan Indonesia?
Ilustrasi Vanuatu. foto/istockphoto

tirto.id - Perkara Papua, Vanuatu, dan Indonesia mencuat saat Sidang Umum PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) ke-75 tahun 2020 pada 26 September kemarin. Perkaranya, Perwakilan dari Vanuatu mengangkat isu pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di Papua yang dilakukan oleh Indonesia.

Perwakilan dari Vanuatu cum Perdana Menteri Republik Vanuatu, Bob Loughman 'menyentil' Indonesia. Ia menjelaskan bahwa sampai saat ini tidak ada kemajuan berarti dalam kasus-kasus HAM di Papua. Oleh karena itu ia meminta agar pemerintah Indonesia menyetujui permintaan dari para pemimpin negara-negara Pasifik untuk mengizinkan Komisi HAM PBB berkunjung ke Papua.

Pernyataan Loughman ini dibalas diplomat dan perwakilan dari Indonesia, Sylvani Austin Pasaribu. Ia pun membalas pernyataan dari pihak Vanuatu tersebut. Ia meminta Vanuatu agar mengurus tanggung jawab negara mereka sendiri sebelum ikut campur dalam urusan dalam negeri Indonesia.

“Anda bukanlah representasi dari orang Papua, dan berhentilah berfantasi untuk menjadi salah satunya,” kata Silvany Austin Pasaribu, Sabtu (26/9/2020), seperti dikutip Antara News.

Silvany pun mengatakan bahwa Vanuatu memiliki obsesi yang berlebihan dan tidak sehat tentang bagaimana Indonesia harus bertindak atau memerintah negaranya sendiri.

Lantas, hal tersebut pun menjadi perbincangan publik. Tidak hanya tentang peristiwa yang terjadi pada Sidang Umum PBB minggu kemarin, tetapi juga bagaimana Vanuatu selalu memihak Papua Barat, khususnya Persatuan Gerakan Pembebasan Papua Barat atau United Liberation Movement for West Papua (ULMWP).

Pasalnya, peristiwa pada Sidang Umum PBB kemarin ini bukanlah kali pertama Vanuatu mengomentari dan mengkritik perlakuan Indonesia terhadap Papua Barat. Ada serangkaian sejarah yang mencatat bahwa Vanuatu mendukung kemerdekaan Papua Barat dari Indonesia.

Alasan keberpihakan itu karena Vanuatu menilai Indonesia telah memperlakukan Papua Barat secara tidak adil. Mereka menilai Indonesia telah melakukan banyak pelanggaran terhadap Papua Barat, khususnya pelanggaran HAM. Selain juga didasarkan atas kesamaan budaya yang mereka miliki dengan masyarakat Papua Barat.

Bahkan Perdana Menteri Vanuatu pertama, Walter Hadye Lini, menyatakan bahwa kemerdekaan Vanuatu belumlah sempurna hingga seluruh bangsa dan wilayah Melanesia terbebas dari kolonialisme. Inilah asal-muasal dan alasan Vanuatu mendukung dan memperjuangkan kemerdekaan Papua Barat agar terlepas dari cengkraman Indonesia.

Perjalanan Vanuatu Mendukung Kemerdekaan Papua Barat

Apabila dirunut ke belakang, keberpihakan dan dukungan Vanuatu pada Papua Barat dimulai pada 1969 ketika digelar Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) atau Act of Free Choice. Pepera adalah sebuah momentum saat masyarakat Papua Barat diminta untuk memilih, antara tetap bergabung dengan Indonesia atau tidak.

Hasil dari Pepera menunjukkan bahwa sebagian besar masyarakat Papua Barat memilih untuk tetap menjadi bagian dari Indonesia. Namun, Vanuatu meyakini, pihak Indonesia telah berlaku tidak adil dan memaksa Papua Barat untuk memilih pilihan tersebut.

Negara dengan ibukota Port Vila ini pun meminta International Court Justice (ICJ) untuk memberi klarifikasi atas legalitas terkait serangkaian peristiwa yang terjadi pada tahun tersebut, khususnya Pepera. Mereka meminta agar Pepera dilakukan ulang dan melibatkan pengawasan internasional sesuai dengan peraturan yang berlaku.

Sejak saat itu, Vanuatu terus menyuarakan dukungannya terhadap Papua Barat dan tidak berhenti untuk mengomentari ketidakadilan yang Indonesia lakukan pada negara yang berbatasan langsung dengan Papua Nugini itu.

Tindakan nyata lain yang Vanuatu lakukan adalah pada saat KTT Pacific Island Forum (PIF) tahun 2010. Pada saat itu, Vanuatu menjadi tuan rumah dan hal tersebut telah memberikan mereka kekuatan lebih dalam menyampaikan berbagai pernyataan dan pendapat, khususnya mengenai Papua Barat.

Parlemen Vanuatu berharap agar masyarakat Papua Barat, yang diwakiliki oleh ULMWP, mencapai status observer di pertemuan para pemimpin Melanesian Spearhed Group (MSG) dan PIF.

MSG (Melanesian Spearhed Group) adalah organisasi yang beranggotakan negara-negara dengan latar belakang budaya Melanesia. Pada sisi lain, PIF adalah organisasi kawasan beranggotakan negara-negara yang berada di Utara dan Selatan Pasifik.

Kedua organisasi tersebut memiliki beragam posisi bagi tiap anggotanya, salah satunya adalah observer. Negara dengan posisi observer tidak memiliki suara langsung pada rapat ataupun pertemuan organisasi. Namun, mereka berhak untuk menyampaikan pernyataan apabila diminta dan tidak memiliki akses terhadap dokumen yang bersifat confidential atau rahasia.

Indonesia sendiri awalnya berada pada posisi observer. Namun, saat ini, Indonesia telah berada di posisi associate member, yaitu posisi di mana suatu negara dapat terlibat dalam proses pengambilan keputusan dan memiliki akses terhadap dokumen rahasia.

Walaupun begitu, pada KTT tersebut, Vanuatu belum berhasil mewujudkan keinginannya, yaitu agar ULMWP menjadi observer dalam MSG dan FIP.

Pada tahun yang sama, parlemen Vanuatu mengadopsi Rancangan Undang-Undang yang menegaskan pengakuan Vanuatu atas kemerdekaan Papua Barat dari Indonesia. Hal tersebut menunjukkan seberapa gencar dan kuat niat Vanuatu dalam mendukung pembebasan Papua Barat dari genggaman Indonesia.

Setelah bertahun-tahun terus menyuarakan dukungannya, ULMWP mendapatkan posisinya sebagai observer di MSG pada tahun 2015. Hal tersebut diresmikan pada KTT ke-20 MSG yang diadakan di Kepulauan Solomon. Sebelumnya, posisi ULMWP tersebut sempat ditolak karena negara-negara anggota MSG menganggap organisasi tersebut bukanlah representasi sepenuhnya dari masyarakat Papua Barat.

Tudingan Vanuatu kepada Indonesia

Tahun 2016 pun menjadi awal-mula bagi Vanuatu dalam mengomentari dan mengkritik Indonesia pada Sidang Umum PBB.

Hal tersebut dimulai dari Sidang Umum PBB ke-71 tahun 2016. Vanuatu dan beberapa negara pasifik lainnya berpidato mengenai bagaimana Indonesia telah melanggar HAM masyarakat Papua Barat. Hal tersebut mereka lakukan untuk mendesak Indonesia agar melepaskan provinsi yang beribukotakan Manokwari itu.

Perwakilan delegasi Indonesia, Nara Masista Rakhmatia, segera mengklarifikasi pernyataan tersebut. Ia mengatakan bahwa pernyataan Vanuatu dan negara-negara pendukung lainnya adalah sebatas motif politik agar dapat mengalihkan perhatian dari isu di negara mereka masing-masing.

Hal serupa pun terulang satu tahun kemudian, yaitu pada Sidang Umum PBB ke-72 tahun 2017. Vanuatu bersikeras menunjukkan pelanggaran HAM Indonesia terhadap Papua Barat dan masih dengan tujuan yang sama, yaitu agar Papua Barat dapat meraih kemerdekaan.

“Selama setengah abad masyarakat internasional telah menyaksikan penyiksaan, pembunuhan, eksploitasi, kekerasan seksual, dan penahanan sewenang-wenang terhadap warga negara Papua Barat, yang dilakukan oleh Indonesia. Tetapi masyarakat internasional tuli—menolak permintaan bantuan (Papua) tersebut. Kami mendesak Dewan HAM PBB menyelidiki kasus-kasus ini,” kata Perdana Menteri Vanuatu, Charlot Salwai.

Seperti sebelumnya, perwakilan delegasi Indonesia yang pada saat itu ditempati oleh Ainan Nuran (Sekretaris III Perwakilan Tetap Indonesia untuk PBB) menyangkal ada pelanggaran HAM seperti tudingan Salwai.

Permasalah tersebut pun masih berlanjut pada Sidang Umum PBB ke-73 tahun 2018. Lelah dituduh oleh Vanuatu, Indonesia 'menyerang balik' dengan mengatakan bahwa Vanuatu telah menantang hubungan persahabatan antara kedua negara dan mendukung gerakan separatis melalui dukungannya atas kemerdekaan Papua Barat.

“Indonesia tidak akan membiarkan negara manapun merusak keutuhan wilayahnya. Seperti negara berdaulat lainnya, Indonesia akan dengan tegas mempertahankan keutuhan wilayahnya," ujar Jusuf Kalla selaku Wakil Presiden RI pada waktu itu seperti dikabarkan The Guardian.

Vanuatu menunjukkan pantang menyerah yang dimilikinya dengan terus membawa isu ini sampai ke Sidang Umum PBB ke-74 tahun 2019. Kali ini, Vanuatu meminta PBB untuk mendatangi Papua Barat dan mengecek bagaimana kondisinya.

Lagi dan lagi, perwakilan delegasi Indonesia pada saat itu, Rayyanul Sangadji, mengomentari bagaimana Vanuatu lebih mendukung upaya separatisme daripada menunjukkan kepeduliannya pada Papua Barat.

Belajangan konflik diplomatik itu terulang kembali pada tahun ini. Vanuatu konsisten terus menunjukkan dukungan kuatnya akan kemerdekaan Papua Barat. Sebaliknya Indonesia selalu menyatakan bahwa pernyataan Vanuatu hanyalah tuduhan semata.

Baca juga artikel terkait VANUATU atau tulisan lainnya dari Fatimah Mardiyah

tirto.id - Politik
Kontributor: Fatimah Mardiyah
Penulis: Fatimah Mardiyah
Editor: Agung DH