Menuju konten utama

Abstraksi & Ingatan dalam Lukisan Hanafi (Bagian 2)

Bagi Hanafi, suatu abstraksi adalah semacam upaya terus-menerus untuk menyusun ulang rasa mengalami dunia.

Abstraksi & Ingatan dalam Lukisan Hanafi (Bagian 2)
Pelukis Hanafi. Antarafoto/Nanien Yuniar

tirto.id - (Baca Bagian 1: Ingatan dalam Abstraksi Hanafi)

Pilihan untuk berlaku dua arah itu merupakan strategi yang bernas: Hanafi mengemukakan kisah awal-mula di masa kecil dengan sangat prosais itu justru ketika anasir kain sarung yang dieksplorasinya di karya ini semakin minimalis, puitis, dan semakin jauh dari corak kain sarung umumnya. Berbanding terbalik dengan kemunculan motif horisontal-vertikal kain sarung di instalasi pameran sebelumnya, Hanafi tak sedikit pun mengajukan memori personal perihal sarung, melainkan justru berpijak pada memori kultural tentang Ajisaka.

Di sinilah kita melihat bagaimana pelukis kelahiran Purworejo ini memunculkan peristiwa nyata di masa lalu di dalam lukisannya: cerita masa lalu yang memantiknya untuk mengeksplorasi sarung hanya muncul ketika pilihan ekspresinya di kanvas semakin jauh dari gambaran kain sarung di masa lalu tersebut. Suatu pengalaman mungkin bisa stabil sebagai masa lalu yang sudah terjadi, tapi kandungan ingatan terhadapnya tidak sama sekali.

Dengan kata lain, suatu pengalaman nyata bagi Hanafi lebih tepat dimunculkan di medan abstraksi, justru karena semakin bertambah perjalanan hidup maka pengalaman personal di masa lalu menjadi makin kompleks untuk diekspresikan, dan oleh karena itu selalu tak habis-habis diekspresikan dengan suatu dan lain cara.

Kompleksitas itu tak lain tak bukan karena suatu ingatan personal tidak bisa mandiri lagi terasing dari perkembangan situasi di dalam dan di luar diri si pengingatnya. Karena demikian, ingatan akan senantiasa mengandung ketidakstabilan dan ketidakstabilan semacam itulah yang memberi sekaligus diberi daya terus-menerus oleh Hanafi melalui piranti-piranti abstraksinya.

Penghormatan untuk Momen Peralihan

Meskipun saya mengatakan bahwa Hanafi cenderung menggunakan cerita masa kecil (prosais) untuk melatari lukisannya yang lebih kentara abstraksinya (puitik), tapi karya-karya dalam serial itu jelas tidak ditujukan hanya untuk berbicara tentang pengalaman masa kecil itu sendiri. Di beberapa karya yang bercorak abstrak itu tak sepenuhnya lagi kita temukan anasir kain sarung.

Pameran Hanafi

Pameran Hanafi, Lukisan dalam Serial Sarung Basah Ayah - 45 x 58 cm. FOTO/Ajis M

Bahkan karya-karya tersebut, di sisi tertentu, dapat memberikan pengalaman tertentu kepada kita tanpa harus terlebih dahulu mengikatkan diri pada apa-apa yang diceritakan di belakangnya. Akan tetapi, Hanafi tetap memberikan frasa ‘sarung basah ayah’ sebagai judul dan ingatan tentang peristiwa di masa kecil tersebut sebagai cerita di balik judul itu.

Sebagai pemandang lukisan pun saya tidak merasa terhalang oleh kemunculan berbagai narasi masa kecil pelukis yang berpilin dengan narasi tentang isu-isu hari ini yang dijadikan sebagai salah satu jalan pemaknaan yang dihadirkan secara formal oleh pameran itu sendiri. Kita tentu saja bisa menepikan tulisan yang mengiringi suatu pameran lukisan abstrak dan katakankah hanya percaya pada “biang bentuk” yang terpampang pada kanvas belaka. Namun begitu, suatu komponen tulisan tentu bisa kita perlakukan sebagai jalan untuk memahami apa-apa yang tak perlu disediakan oleh lukisan itu sendiri.

Pameran Hanafi

Pameran Hanafi, Lukisan dalam Serial Sarung Basah Ayah - 165x180. FOTO/Ajis M

Di sinilah titik penting untuk memahami bagian lain dari cara Hanafi memaknai peristiwa di masa lalu. Sebelum peristiwa cipratan genangan air itu terjadi, kain sarung baginya tak lebih dari sebuah perkakas sehari-hari belaka. Dan semenjak adanya peristiwa yang menjadi sekumpulan tanda tanya tersebut, kain sarung kemudian menjadi benda puitik, yang dimaknainya terus-menerus, tak habis-habisnya, dan karena itu bisa digunakannya untuk membicarakan kelindan lainnya antara masa lalu dan hari ini. Jadi, peristiwa basahnya kain sarung ayah adalah sebuah momen peralihan.

Pemberian frasa ‘sarung basah ayah’ sebagai judul, dengan demikian, bukanlah sebagai keseluruhan narasi tentang karya, melainkan sebuah upaya untuk menghormati momen peralihan tersebut. Suatu kejadian yang telah menyentuh perasaan dan memantik pikirannya untuk memaknai kain sarung sebagai medium puitik, yang kemudian dapat diperlakukan menjadi berbagai bentuk sekaligus berbagai tema, bagi Hanafi adalah sesuatu yang tak patut dilupakan begitu saja.

Jadi, itu sebabnya, apa pun yang menjadi ketertarikannya pada persoalan di masa kini dan topik apapun yang diusungnya dalam karya-karya terbaru, Hanafi tetap ingin menunjukkan sikap rendah hati kepada sebuah titik kecil di hamparan luas peta masa lalu. Suatu serial karyanya bisa saja berbicara tentang suatu hal yang tak ada kaitan langsung dengan masa kecilnya, tapi suatu ingatan masih kecil dapat tetap muncul misalnya sebagai judul karya itu. Hal ini bisa terjadi justru karena ingatan masa kecil telah berperan penting dalam membuat Hanafi bisa memasuki dan mendalami berbagai persoalan hari ini.

Infografik Hanafi

Infografik Hanafi. tirto.id/Quita

Barangkali itu yang dimaksudkan Hanafi ketika beberapa tahun lalu ada yang bertanya kapan proses penciptaan lukisannya bermula dan ia menjawab bahwa lukisannya “tidak dimulai ketika memoleskan cat ke kanvas kosong melainkan berpuluh tahun lalu tatkala berjalan ke warung disuruh ibu untuk membeli minyak tanah.” Kenangan berjalan ke warung itu tentu dapat kita maknai sebagai salah satu peristiwa di masa lalu yang menjadi ingatan penting baginya, yang dalam contoh pameran ini adalah sarung ayahnya yang kecipratan air.

Dengan demikian, ketika di kesempatan lain Hanafi mengatakan apa yang dilakukannya ketika berada di hadapan kanvas hanya tinggal “melukiskan apa yang tidak bisa dilukiskan”, itu menunjukkan kepada kita bahwa suatu abstraksi baginya adalah semacam upaya terus-menerus untuk menyusun ulang rasa mengalami dunia, baik rasa yang terus berlalu ataupun yang terus berdatangan.

Dan karena hidup terus berjalan, dunia terus berputar, ingatan pun datang dan pergi bersama dengan apa-apa yang tak terpahami sepenuhnya, Hanafi masih akan bersetia pada jalan abstraksi.

Baca juga artikel terkait HANAFI atau tulisan lainnya dari Heru Joni Putra

tirto.id - Gaya hidup
Kontributor: Heru Joni Putra
Penulis: Heru Joni Putra
Editor: Nuran Wibisono