Menuju konten utama

Absennya "Komisi Rettig" Bikin Kejahatan HAM Berat Makin Pelik

Komnas HAM sejak lama menyarankan KKR sebagai solusi pengungkapan kejahatan HAM masa lalu. Sampai sekarang, tim itu belum juga terbentuk.

Absennya
ILUSTRASI INDEPTH 01 Penghilangan Paksa. (tirto.id/Lugas)

tirto.id - Hidup terpisah dari keluarga tidaklah mudah bagi Wiji Thukul. Namun pilihannya memang tak banyak. Pemerintah Orde Baru menganggap pria yang pernah belajar di Sekolah Menengah Karawitan Indonesia (SMKI) ini sebagai ancaman. Medio 1990-an, demi keselamatan, dia memilih hidup nomaden. Kita semua tahu bahwa akhirnya, hingga hari ini, sang penyair pelo hilang.

Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) mencatat keluarga sempat mendapat informasi Thukul masih bertemu dengan kawannya sekitar Maret-April 1998. Sebulan kemudian, di tengah kisruh Mei, informasi tentang Thukul nihil.

Tidak hanya Thukul, Kontras mencatat 12 aktivis lain juga hilang. Mereka diperkirakan diculik oleh tentara pada 1997-1998. Di luar itu ada sembilan orang lain, misalnya Desmond Junaidi Mahesa (sekarang politikus Partai Gerindra) dan Andi Arief (politikus Partai Demokrat), yang akhir ceritanya berbeda. Mereka dilepaskan setelah ditahan beberapa lama.

Kasus penghilangan paksa 1997-1998 hanya satu dari sekian kejahatan hak asasi manusia (HAM) berat yang diakui oleh Presiden Joko Widodo pada awal tahun ini. Selain itu ada Pembantaian 1965-1966; Penembakan Misterius 1982-1985; Talangsari 1989; Rumoh Geudong dan Pos Sattis 1989; Kerusuhan Mei 1998; Trisakti dan Semanggi I dan II 1998-1999; Pembunuhan Dukun Santet 1998-1999; Peristiwa Simpang KKA Aceh 1999; Tragedi Wasior 2001-2002; Tragedi Wamena 2003; dan Peristiwa Jambo Keupok 2003.

Dari 12 peristiwa pelanggaran HAM berat ini, belum ada satu pun yang diselesaikan. Keluarga korban, perlahan tapi pasti, satu demi satu, mulai meninggalkan dunia sambil menggenggam ketidakpastian.

Istri Thukul, Dyah Sujirah atau yang disapa Sipon, adalah salah satunya. Ia hidup dalam ketidakpastian hampir 25 tahun, tepatnya selama 8.760 hari, 210.240 jam, atau lebih dari 12,6 juta menit sebelum meninggal dunia karena serangan jantung pada 6 Januari lalu.

Kebenaran yang Masih Menggantung

Pada semester akhir 2022, Presiden membentuk tim khusus untuk menyelesaikan kasus HAM berat bernama Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat Masa Lalu (PPHAM). Peresmiannya ditandai dengan penerbitan Keputusan Presiden Nomor 17 tahun 2022. Sesuai namanya, tim ini ditugaskan untuk menyelesaikan soal HAM berat lewat luar jalur hukum (non-pengadilan).

Pemerintahan Jokowi, sejak periode pertama, terus menggaungkan ke publik bahwa penyelesaian non-yudisial adalah yang paling memungkinkan. Pada 2018 lalu, Kemenkumham, misalnya, menganggap jika ada yang diadili, maka ada kemungkinan timbul masalah baru. Hal serupa diungkap Wiranto saat menjabat Menkopolhukam pada 2017.

Wacana menyelesaikan perkara HAM berat secara non-yudisial ditentang aktivis dan keluarga korban sejak lama. Salah satu alasannya adalah terduga pelaku tak tersentuh dan bahkan mendapat kesuksesan.

Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) menyebut “Presiden Joko Widodo justru mengangkat terduga atau nama-nama yang sangat erat dengan kasus-kasus pelanggaran HAM berat... dalam jabatan-jabatan strategis pemerintahan/militer.” Yang terbaru adalah pengangkatan mantan anggota Tim Mawar--yang jadi algojo penculikan aktivis--Mayjen TNI Untung Budiharto sebagai Pangdam Jaya.

Alasan lain adalah penyelesaian non-yudisial tetap membuat buram kebenaran kasus.

Mengungkap kebenaran sebenarnya jadi salah satu amanat Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR). UU KKR jadi pelengkap dari mekanisme yudisial lewat UU 26/2000 tentang Pengadilan HAM. Sayangnya dua tahun kemudian Mahkamah Konstitusi (MK) membatalkannya.

MK menyatakan salah satu peraturan tersebut ada pasal yang memberatkan korban. Disebutkan bahwa pelaku kejahatan HAM berat yang sudah meminta maaf diperbolehkan mendapatkan amnesti atau pengampunan.

Pada 2015, pemerintah sudah merancang UU KKR yang baru--sebagai bagian dari putusan MK--dan telah masuk dalam program legislasi nasional (prolegnas). Namun sampai sekarang hasilnya kosong. UU ini belum juga selesai. Bahkan nihil pembahasan di DPR.

Pola yang sama berulang di periode kedua. Pada awal masa pemerintahan, Istana menyatakan draf UU KKR sudah selesai dibahas dan siap ditembuskan ke Prolegnas 2020. Tapi hingga penyusunan dan pengesahan tahun 2020 dan seterusnya, tak satu kali pun RUU KKR masuk dan dibahas di parlemen.

RUU KKR yang diharapkan oleh aktivis dan keluarga korban untuk menyingkap kebenaran justru kian jauh. Di sidang tahunan MPR tahun 2022, Jokowi mengaku RUU KKR masih dalam pembahasan. DPR pun mengaku menunggu RUU usulan pemerintah tersebut.

Ketika RUU KKR belum selesai, upaya penyelesaian non-yudisial justru kian mengalami kemajuan. Komnas HAM menyatakan PPHAM punya tujuan utama menyelesaikan ganti rugi dan pemulihan korban, sedangkan untuk pengentasan fakta tidak akan bisa tanpa adanya KKR.

“Yang paling esensial dari KKR adalah upaya pengungkapan kebenaran (truth seeking) masa lalu agar di masa depan tak terulang lagi (guarantees of non-recurrence). KKR diharapkan mampu menentukan batas yang tegas antara masa lalu dan masa depan. Di beberapa negara, KKR juga jadi lembaga yang bisa merekomendasikan program reformasi politik, baik reformasi legislasi (konstitusi) maupun reformasi institusional,” catat Komnas HAM pada tahun 2008.

Nihil Komisi Rettig

Kejahatan HAM masa lalu bukan hanya ada di Indonesia dan setiap negara punya cara penanganan masing-masing yang dianggap mampu diterima seluruh masyarakat, termasuk juga keluarga korban.

Penyelesaian pelanggaran HAM berat yang cukup sering dibahas salah satunya oleh Cile di bawah kekuasaan Patricio Aylwin tahun 1990. Dia mengeluarkan dekrit nomor 355 untuk pembentukan KKR yang disetujui oleh menteri dalam negeri dan menteri kehakiman.

Komisi ini dibentuk tak lain untuk mengusut kejahatan HAM yang diduga dilakukan oleh diktator Cile dari 1973-1990 Augusto Pinochet dan pemerintahannya. Hasil penyelidikan komisi ini diberi nama Rettig Report, merujuk ke nama ketua tim Raul Rettig.

Penyelesaian atau rekomendasi Komisi Rettig sebenarnya tak jauh berbeda dengan penyelesaian jalur non-yudisial. Namun yang menjadikannya esensial adalah laporan ini digunakan sebagai komitmen negara untuk menjamin bahwa kejahatan serupa tidak akan terulang lagi di kemudian hari.

Selain itu, penelusuran Komisi Rettig juga menggambarkan secara utuh bagaimana kejahatan HAM pernah terjadi di Cile. LSM internasional bidang HAM Human Right Watch (HRW) menyebut laporan ini merinci 2.279 kasus eksekusi dan penghilangan bermotif politik.

Pembuktian ini penting untuk memberikan pemulihan bagi korban-korban atau pun keluarga yang ditinggalkan. Selain itu tentu penting dari sudut pandang dokumentasi peristiwa di masa lalu yang objektif.

Infografik SC HAM di Indonesia

Infografik SC HAM di Indonesia. tirto.id/Quita

Dosen Ilmu Politik dari UPN Veteran Jakarta, Sri Lestari Wahyuningroem, dalam tulisannya di Indoprogress membandingkan antara PPHAM dan komisi di Cile.

Dosen Ilmu Politik dari UPN Veteran Jakarta, Sri Lestari Wahyuningroem, dalam tulisannya di Indoprogress membandingkan antara PPHAM dan komisi di Cile. Salah satunya adalah dari sisi proses. Ketika Komisi Rettig bekerja satu tahun dan melibatkan banyak sekali orang, terutama korban, juga terbuka, “proses-proses yang dilakukan oleh Tim PPHAM tidak diketahui oleh publik.” Pun waktu kerja yang relatif sebentar, hanya empat bulan.

Menurutnya hal ini bermasalah karena “tidak ada proses belajar dari sejarah bersama.”

Sementara dari sisi rekomendasi, ketika Komisi Rettig membuka pintu penyelesaian yang adil dan bermartabat, PPHAM justru “membuka sekaligus menutup pintu penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu pada saat yang sama.”

Pintu yang dibuka adalah kemungkinan adanya narasi sejarah masa lalu yang lebih berorientasi korban dan program pemulihan korban. Sementara yang ditutup adalah keadilan melalui pengadilan. Dalam hal ini lagi-lagi kita bicara tentang penyelesaian kasus HAM masa lalu lewat jalur yudisial melalui pengadilan HAM ad hoc–yang belum ada di Indonesia.

Namun pemerintah melalui Menkopolhukam Mahfud MD berjanji proses yudisial akan terus berjalan. “Proses yudisial itu tidak bisa dihapus. Itu perintah undang-undang, bahwa itu harus diadili dan tidak ada daluwarsanya,” katanya.

Baca juga artikel terkait PELANGGARAN HAM atau tulisan lainnya dari Felix Nathaniel

tirto.id - Hukum
Penulis: Felix Nathaniel
Editor: Rio Apinino