Menuju konten utama

Aborsi Aman itu Mungkin Asalkan Kita Menyudahi Alasan Moral

Tapi pendapat kelompok pro-life sangat populer di tengah masyarakat yang memandang aborsi adalah perbuatan dosa.

Ilustrasi Kontroversi Aborsi. tirto.id/Nadya

tirto.id - Di negara yang masyarakatnya semakin menempatkan agama sebagai faktor yang menentukan pemimpin politik, ketika praktik aborsi sangat dibatasi dan bicara kesehatan reproduksi masih dianggap tabu, perempuan mengakhiri kehamilannya yang tak diinginkan dengan cara sangat berisiko dan terkadang menyebabkan kematian.

Aborsi memicu debat tanpa akhir: antara pro-choice (memandang perempuan memiliki otoritas terhadap tubuhnya sehingga berhak menentukan kecenderungan dalam reproduksi) dan pro-life (menentang aborsi dengan alasan hak hidup janin).

Baru-baru ini, dalam pusaran perdebatan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS), lapisan masyarakat yang berpandangan konservatif menganggap draf regulasi itu pro-zina dan pro-aborsi dengan alasan moral tidak mencantumkan kedua klausul tersebut.

Alasan itu keliru. Pasal soal zina telah diatur dalam KUHP dalam kejahatan terhadap kesusilaan. Sementara aborsi telah diatur dalam Undang-Undang Kesehatan No. 36 Tahun 2009 (Lihat hlm. 29-30).

Tapi stigma negatif terhadap praktik aborsi di negara berpenduduk 88 persennya adalah muslim ini memang telah mendarah-daging. Sekitar 89 persen orang Indonesia meyakini bahwa aborsi sulit diterima secara moral, menurut survei Pew Research Center pada 2013.

Kebutuhan layanan aborsi aman bisa memunculkan kontroversi sangat tajam dari spektrum agama hingga politik.

Psikolog Ninuk Widyantoro dari Yayasan Kesehatan Perempuan berkata hampir pasti orang akan merespons negatif saat mendengar kata “aborsi”.

“Masyarakat kita ini aneh kalau dengar aborsi langsung marah. Tapi biasa saja saat melihat perempuan hamil minum jamu-jamuan, jus nanas, dan lain-lain,” ujarnya, merujuk praktik pengguguran janin sangat berisiko karena minimnya akses pada aborsi aman.

Dr. Suryono Slamet Iman Santoso, SpOG, mantan Ketua Persatuan Obsitetri dan Ginekologi Indonesia (POGI), mengatakan hal serupa. Ia menyebut wacana aborsi legal di Indonesia, ketika dimunculkan dalam kebijakan politik, menjadi "gagasan yang bisa jadi peluru simpanan lawan."

Ujung-ujungnya, ujar Suryono, "para pemimpin takut kehilangan jabatan.”

Baik Ninuk maupun Suryono adalah para penggiat medis yang mendorong praktik aborsi aman di Indonesia. Mereka menentang pendapat populer masyarakat Indonesia yang kerap mengecap praktik aborsi sebagai kejahatan melawan kehendak Tuhan, perbuatan dosa, dan pelakunya adalah pembunuh.

Pendapat populer itu tak sepenuhnya tepat.

Mengacu Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 3 Tahun 2016, aborsi adalah upaya mengeluarkan hasil konsepsi dari dalam rahim sebelum janin dapat hidup di luar kandungan. Artinya, tindakan aborsi tak bisa digolongkan sebagai pembunuhan.

Namun, perdebatannya bisa melebar tentang penetapan janin sebagai entitas hidup. Kelompok anti-aborsi berpandangan proses kehidupan dimulai saat sperma dan sel telur bertemu. Ada juga yang berpegang pada dalil agama bahwa ruh manusia ditiupkan saat janin berumur 120 hari.

Bila mengacu pada dalil tersebut, sesungguhnya, segala aturan mengenai aborsi aman, baik yang disusun Badan Kesehatan Dunia (WHO) maupun Indonesia, boleh dilakukan. WHO menetapkan batas waktu aborsi aman hingga 14 minggu kehamilan atau 98 hari, sementara PP No. 61 tahun 2014 tentang kesehatan reproduksi menetapkan batas maksimum hingga 40 hari kehamilan.

Pendapat Anti-Aborsi

Bagaimanapun, pendapat populer diyakini oleh banyak lapisan masyarakat.

Demi mendapatkan spektrum pendapat dari kelompok anti-aborsi, saya menemui Euis Sunarti, guru besar ketahanan keluarga di Institut Pertanian Bogor. Ketua Penggiat Keluarga Indonesia ini lantang meminta ada pembatasan seksualitas dalam aturan legal di Indonesia.

Sunarti termasuk yang mengajukan uji yudisial ke Mahkamah Konstitusi demi perluasan makna zina dan pidana LGBTIQ dalam KUHP pada 2017. Ia juga menolak RUU Penghapusan Kekerasan Seksual karena dianggap pro-zina. Draf regulasi itu, pendapatnya, melegalkan hubungan seksual secara sadar dan tanpa paksaan meskipun terjadi di luar pernikahan sah.

Sunarti bersedia diwawancara asalkan pernyataannya dikutip secara "komprehensif", yang dalam obrolan satu jam dengannya, ia berkali-kali menekankan perlu "penguatan keluarga" guna membatasi aktivitas seksual yang dianggapnya "menyimpang".

Keyakinannya tak bisa ditawar dalam kasus aborsi. Secara umum, pendapatnya, aborsi dilarang kecuali oleh kelompok yang dikhususkan dalam undang-undang, yakni aborsi dengan indikasi kedaruratan medis dan korban perkosaan. Itu pun harus betul-betul melalui penilaian ketat, tambahnya.

“Jangan sampai malah membuka celah,” katanya, khawatir bakal ada perempuan hamil dari "hubungan suka sama suka tapi mengaku diperkosa."

“Korban perkosaan juga harus benar-benar trauma berat. Artinya, keluarga dan lingkungan sudah tidak bisa menenangkan,” lanjutnya. Kedua klaim itu harus dikuatkan oleh keterangan dari para ahli, tambahnya.

Bagi Sunarti, perzinahan, aborsi ilegal, dan isu seksualitas lain--yang disebutnya perkara "ruwet"--berpangkal pada "kegagalan negara membentuk keluarga sebagai sistem."

Kebanyakan produk hukum yang dibikin negara terlalu fokus pada sanksi hasil kejahatan tapi seolah lupa pada usaha preventif, menurut Sunarti.

RUU PKS, misalnya, memuat pidana pemaksaan aborsi tapi tak ada pidana terhadap pelaku zina, ujar Sunarti. Ia bertaklid, aborsi lebih banyak dilakukan oleh perempuan tanpa ikatan pernikahan.

“Harusnya satu paket, pencegahan dan hasil. Yang zina dicegah. Yang sudah berkeluarga gunakan KB. Jangan ada pengabaian hak hidup janin,” tukasnya.

Ia bertanya retorik: Bukankah semua agama pada dasarnya melarang aborsi?

Data yang Menopang Betapa Penting Aborsi Aman

Meski kementerian kesehatan tak pernah merilis angka aborsi setiap tahun demi menghindari kontroversi yang ujungnya bisa berdampak pada layanan medis, tapi praktik aborsi adalah hal lazim di Indonesia, tulis Guttmacher Institute pada 2008 dalam laporan ringkas "Aborsi di Indonesia".

Lembaga penelitian untuk kesehatan dan hak-hak reproduksi dan seksual ini mengutip riset yang menyimpulkan sekitar 2 juta aborsi terjadi di Indonesia pada 2000--sejauh ini jadi rujukan paling komprehensif yang tersedia bagi publik. Taksirannya, 37 per 1.000 perempuan usia subur (15-49 tahun) melakukan aborsi.

Lembaga yang sama merilis laporan aborsi di Asia pada Maret 2018, memperkirakan ada 35,5 juta aborsi selama 2010-2014. Tingkat aborsi rata-rata tahunan di kawasan ini mencapai 36 per 1.000 perempuan usia subur (15-44 tahun).

Proporsi perempuan hamil di Asia yang melakukan aborsi mencapai 27 persen setiap tahun. Di Asia Tenggara, 35 per 1.000 perempuan usia subur melakukan aborsi, termasuk di Indonesia.

Penelitian Guttmacher juga menguatkan tren global bahwa perempuan yang menikah adalah yang paling banyak melakukan aborsi, yakni 36 per 1.000 perempuan usia subur, dibandingkan 24 per 1.000 perempuan yang belum atau tidak menikah.

Di Indonesia, kendati aborsi dilarang, tetapi praktik ini dibolehkan asalkan ada kondisi "kedaruratan medis sejak usia dini kehamilan", serta bagi perempuan yang mengandung beban "hamil akibat perkosaan" (Lihat UU Kesehatan hlm. 29-30).

Menurut Info Pusat Data dan Informasi Kemenkes (Pusdatin) pada 2013, sebanyak 30,3 persen kematian ibu di Indonesia diakibatkan oleh pendarahan, sementara 1,6 persennya karena abortus.

Praktik aborsi tak aman bisa menjadi pangkal masalah kematian ibu akibat pendarahan, infeksi, kegagalan menghapus semua jaringan kehamilan dari rahim, cedera vagina, serviks, dan uterus.

Kehamilan tak diinginkan berpotensi memicu gangguan kejiwaan, apalagi pada korban perkosaan. Dalam kasus pasangan yang telah menikah, aborsi dilakukan karena impitan ekonomi.

“Cita-cita kami memang memperjuangkan aborsi aman buat semua perempuan, meminimalisir beban mental, ekonomi, dan risiko kematian yang menghantui mereka,” ujar psikolog Ninuk Widyantoro.

Infografik HL Indepth Aborsyen

Infografik Kontroversi Aborsi di Indonesia. tirto.id/Lugas

Membuat Gebrakan Aborsi Aman

Kendati memicu debat tanpa akhir, Indonesia sesungguhnya pernah mencatatkan dukungan terhadap layanan aborsi aman.

Dalam satu seminar di Jakarta pada 1973, para dokter kandungan sepakat menurunkan angka kematian ibu lantaran dipicu salah satunya oleh praktik aborsi tak aman.

Klinik infeksius di sejumlah rumah sakit saat itu dipenuhi perempuan muda, korban dukun aborsi. Kematian karena infeksi abortus jadi hal lumrah.

“Di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, kapasitas ruangan yang berisi 30 orang, 75-90 persennya infeksi pasien abortus tak aman,” ujar dr. Suryono menggambarkan kondisi kesehatan perempuan saat itu.

“Dukun-dukun aborsi menusuk peranakan dengan jari-jari sepeda, pelintir tali pusatnya, lalu ditarik keluar, istilahnya mancing,” ujarnya.

Mencari jalan keluar, para dokter sepakat menyediakan fasilitas aborsi aman. Tujuannya, agar tak ada lagi perempuan yang harus mati sia-sia karena mendatangi dukun-dukun aborsi.

Perdebatannya saat itu kelompok dokter anti-aborsi memandang solusi tersebut melanggar kode etik, apalagi sumpah Hippokrates secara gamblang melarang pengguguran kandungan.

Tapi, kondisi darurat membikin suara anti-aborsi mengalah. Masalah selanjutnya soal perlindungan hukum; belum ada produk hukum khusus tentang aborsi. Artinya, para dokter yang berpraktik aborsi aman bisa dipidana sewaktu-waktu. Tapi, Ali Said sebagai jaksa agung saat itu bersedia membuat surat edaran, yang intinya menjamin pengabaian hukum untuk para dokter yang melakukan aborsi aman.

Singkat cerita, program aborsi aman yang dinamakan “Save Motherhood” berjalan serentak di banyak daerah. Dalam sehari, program ini bisa menerima lebih dari 150 pasien. Jumlah pasien di ruangan-ruangan infeksi perlahan menurun hingga akhirnya ruangan itu dilebur menjadi perawatan biasa. Praktik ini berjalan terkendali hingga pada 1978 saat ada penemuan janin-janin bekas aborsi ditemukan di jalan tol, menandakan praktik ini mulai kebablasan.

“Dokter lain (bukan spesialis kandungan), bidan, paramedik, ramai-ramai buka. Abortus jadi komoditas penegak hukum dan dokter, lagi-lagi perempuan yang jadi objek,” cerita dokter Suryono tercekat, meski peristiwa itu telah berselang 41 tahun silam.

Dari peristiwa itulah muncul istilah "aborsi legal" dan "aborsi ilegal", ujarnya.

Pada 1994, PBB bikin konferensi di Kairo, yang dihadiri sekitar 20 ribu delegasi termasuk dari Indonesia. Konferensi ini menyepakati pendekatan pemenuhan kebutuhan dasar individu, baik laki-laki maupun perempuan, guna mengatasi masalah kependudukan dan pembangunan (ICPD). Kependudukan tidak dipandang sekadar pencapaian target-target demografis, melainkan tiap individu berhak menentukan aktivitas seksual dan reproduksi yang aman, bebas, dan memuaskan.

Pada Mei 1996, Indonesia meratifikasi ICPD dan menuangkan komitmennya lewat sebuah lokakarya tentang kesehatan reproduksi di Jakarta, melibatkan seluruh pemangku kebijakan serta organisasi profesi dan nirlaba.

"Sayang, ketika kesepakatan ini sudah benar-benar bisa diterapkan di negara lain, negara kita justru tersendat," cerita dr. Suryono.

Hambatan lawas problem kultural, moral-agama, hingga politik, lagi-lagi, telah menjerat upaya-upaya praktik aborsi aman.

Baca juga artikel terkait ABORSI atau tulisan lainnya dari Aditya Widya Putri

tirto.id - Kesehatan
Reporter: Aditya Widya Putri
Penulis: Aditya Widya Putri
Editor: Fahri Salam
-->