Menuju konten utama
Al-Ilmu Nuurun

'Abd al-Rahman Badawi, Eksistensialis & Filsuf Arab Modern Pertama

'Abd al-Rahman Badawi mendalami eksistensialisme sebelum Sartre menjadi tren. Menyintesiskan filsafat Barat dengan tradisi filologi Arab.

'Abd al-Rahman Badawi, Eksistensialis & Filsuf Arab Modern Pertama
'Abd al-Rahman Badawi. tirto.id/Sabit

tirto.id - “Karena apa yang saya tulis, eksistensialisme menjadi arus utama dalam membentuk para intelektual Arab ternama.”

Ungkapan angkuh tapi secara eksistensialis benar ini dikemukakan pada 2000 di Paris oleh 'Abd al-Rahman Badawi, filsuf eksistensialis Mesir terkemuka, sekaligus sejarawan dan editor yang sangat produktif.

Mei 1944 menjadi momen besar bagi Badawi. Ujian disertasinya di Universitas Fuad, Kairo, berjudul Tempo Eksistensialis (al-Zaman al-wujudi) didatangi ratusan penonton, mahasiswa, guru, dan wartawan. Ujian tersebut berlangsung selama enam jam dan dianggap sebagai peristiwa nasional di Mesir. Koran utama Mesir al-Ahram segera mewartakannya. Begawan sastra Arab dan intelektual ulung Taha Husayn (m. 1973) mendeklarasikan masa ini sebagai kelahiran filsafat Arab modern.

Anak Kandung Renaisans Arab

Dilahirkan dari keluarga kaya di Mesir utara, Badawi muda, seperti halnya novelis Naguib Mahfouz, digembleng oleh masa puncak sejarah panjang era renaisans Arab ('asr al-nahda). Era ini dimulai sejak masa kepemimpinan Muhammad Ali Pasha di awal abad ke-19 dan ditandai oleh gairah pencerahan dengan sistem pendidikan yang mencangkok model Perancis. Iklim politik dan budaya Kairo yang saat itu dirancang untuk mengungguli metropolis Eropa utama seperti London, Paris, dan Berlin, membesarkan Badawi.

Tak ada mahasiswa yang semenonjol dan sangat percaya diri serupa Badawi dalam dunia intelektual Kairo masa itu. Ia terdidik dari dua pertemuan dua arus besar: Islam klasik dan modernitas Barat. Mustafa 'Abd al-Raziq (m. 1947), rektor Universitas al-Azhar dan filsuf muslim penting, mengajarinya filsafat Islam termasuk logika dalam tradisi Ibnu Sina secara intensif. Badawi juga mendalami rumusan pelik sufisme, topik yang menjadi sangat penting untuk dikawinkan dengan eksistensialisme Barat di kemudian hari. Pendekatan hermeneutis 'Abd al-Raziq memengaruhi metodologi filosofis Badawi.

Filsuf Perancis kelahiran Rusia, Alexander Koyré, mengajar berkala sejak dekade 1933 di Universitas Fuad, cikal bakal Universitas Kairo. Koyré bahkan meninggalkan kursi keprofesorannya di Paris pada 1940, ketika Nazi hendak mencaplok kota itu, dan murni mengajar di Kairo bersama banyak dosen Eropa lainnya. Dari banyak mahasiswa yang bergairah belajar kepadanya, sosok Badawi yang paling terkemuka. Koyré merupakan murid dari lingkaran fenomonologi Edmund Husserl dan pengikut eksistensialisme Martin Heidegger. Eksistensialisme mengarah pada soal ada/wujud di atas mengetahui, berkebalikan dengan epistemologi 1930-an yang sarat dengan filsafat Bergson.

Di sini, Koyré menjadi titik temu antara Husserl dan Bergson, sebuah jembatan umum yang mengawinkan filsafat Jerman dan Perancis. Filsafat eksistensial dari Heidegger, bagi Koyré, tak hanya menentukan suatu era baru dari perkembangan filsafat Barat, tapi juga menjadi awal dari lingkaran pemikiran yang sama sekali anyar.

Forum penelitiannya, Researches philosophiques, menghimpun beberapa nama besar yang mewacanakan filsafat Hegel dan Heidegger, di antaranya ada filsuf pewaris kursi Alexandre Kojève, orientalis Henri Corbin, dan Raymond Aron yang berjasa memperkenalkan fenomenologi Heidegger kepada Jean-Paul Sartre. Dari silsilah dan otoritas filsafat ini, Koyré berperan dalam memperkenalkan dan menghidupkan gagasan eksistensialisme di dunia Arab.

Dalam perembesan filsafat Perancis ini, Badawi memperbesar ruang eksperimentasi intelektualnya. Pada tur intelektualnya di Jerman tahun 1937, ia sudah siap menelaah soal kematian dalam filsafat eksistensial, topik tesis masternya yang berjudul Le problème de la mort dans la philosophie existentielle. Koyré memberi rujukan kerangka filosofis kepada Badawi, sejumlah nama besar dalam semesta fenomenologi dan eksistensialisme.

Fenomenologi, yang kemudian di Arab dinamakan sebagai ilm al-zahriyat, mengajarkan Badawi bahwa kematian tidaklah sesederhana sebuah peristiwa akhir hayat seseorang melainkan suatu pengalaman yang membentuk jalan menyeluruh dari eksistensinya: pengalaman mengada. Khususnya, hal itu menjelaskan syarat autentisitas setelah perjumpaan puncak dengan kematian itu sendiri. Selain itu, biografi Nietzsche yang ditulisnya pada 1939 laris manis dan menjadi magnet bagi kaum muda.

Eksistensialisme Badawi, terutama yang mewujud dalam Tempo Eksistensialis, ialah suatu sintesis kreatif dari pengembaraan intelektualnya. Judul ini tak bisa dilepaskan sebagai perubahan dari kanon filsafat Heidegger, Ada dan Waktu. Karya Badawi itu menelaah bagaimana waktu membentuk eksistensi individual yang mencangkok penafsiran Heidegger tentang subjektivitas dan konsep Dasein (eksistensi). Dari penelahaan ini, ia memperoleh dua aksioma dari filsafat eksistensial: individualisme radikal dan kebebasan.

Anwar Sadat yang menyukai dan terinspirasi karya itu ikut membebaskan Badawi dari kerangkeng penjara Muammar Khadafi, saat Badawi mengajar filsafat di Benghazi, Libya. Kolonel Khadafi berang karena dirinya tak dihormati saat kunjungan pada April 1973. Bahkan, mahasiswa filsafat menantangnya untuk memberikan kebebasan berpikir dan hak menyatakan pendapat. Badawi yang mengepalai departemen filsafat sejak 1967 dibui. Perpustakaan pribadinya di kantor dibakar.

Ini bukan pertama kalinya ia dibekuk otoritarianisme dan kefanatikan yang sangat dibencinya dan keduanya menjadi sebab utama mengapa ia lalu banyak berkarier di luar Mesir. Pada 1953, contoh lain, ia terpilih sebagai anggota Komite Konstitusi untuk menulis undang-undang baru yang senapas dengan demokrasi liberal. Namun pemerintah Mesir mengabaikan hasilnya dan menetapkan sesuai keinginan rezim pada 1956—persis seperti dekrit Presiden Sukarno pada 1959.

Kecemerlangan Eksistensialisme Badawi, sebagaimana dinilai penelaah eksistensialisme Arab Yoav Di-Capua (2018), lahir dari rahim dekolonisasi setelah berakhirnya kontrol Inggris dan Perang Dunia II. Bagi banyak pemuda yang limbung, gelisah, dan teralienasi, eksistensialisme menjadi obat penawar yang manjur, seperti yang ia tulis dalam karya fiksinya, Humum al-shabab. Mereka menemukan pada karya Badawi berbagai makna yang dicari untuk memperbesar potensi diri: individualisme, autentisitas, ketakutan (Angst), tanggung jawab, dan kebebasan. “Saat ini,” Badawi berkata, “peran kita ialah menjadi pencipta dan bukan wakil, penerus serta pelindung cahaya orang lain.”

Berbeda dengan banyak ragam ideologi, termasuk nasionalisme Pan-Arab alias Nasserisme dan Islamisme al-Ikhwan al-Muslimun, Badawi beserta sejumlah intelektual lain merengkuh eksistensialisme sebagai jawaban yang lebih berarti dan tak ideologis. Sang aku harus bangkit sejajar dan merdeka. Eksistensialisme menjadi jawaban hakiki dari jati diri kolektif pascakolonial.

Infografik Al Ilmu Nuurun Abd Al Rahman Badawi

Infografik Al Ilmu Nuurun Abd Al Rahman Badawi. tirto.id/Sabit

Sintesis Barat-Arab adalah Kunci

Ia menjadi filsuf eksistensialis paling serius di dunia Arab sebelum 1970-an, lebih dominan ketimbang Charles Malik yang pernah belajar di Freiburg sesat setelah Heidegger lengser sebagai rektor. Meski Badawi mendominasi wacana filosofis yang menjanjikan bagi dunia Arab, ia terkungkung dalam ruang akademik yang kurang tangguh mengaplikasikan filsafatnya di ranah lapangan. Lagi pula ia soliter dan tak pandai bergaul dengan orang awam. Ia juga tak memiliki komunitas khusus yang mendukungnya.

Psikolog garda depan Mesir, Yusuf Murad, dan intelektual lain, meskipun memberikan dukungan intelektual kepada Badawi, tak cukup jadi kekuatan massal. Langgam eksistensialisme Jean-Paul Sartre dalam waktu bersamaan tiba sebagai badai di dunia Timur. Penerjemahan karya Sartre Qu’est-ce que la littérature? pada 1948 ikut menjadi tren di dunia Arab dan menggugah kesadaran penulis untuk terlibat aktif melalui komitmen (iltizam), suatu konsep yang kemudian berpengaruh pada gerakan sastra Arab modern. Terlepas dari perbedaan konteksnya, kita bisa berasumsi: Sartre yang Perancis bisa lebih seksi ketimbang Badawi yang Mesir—suatu kondisi pascakolonial yang umum di mana-mana. Lagi pula, Nasserisme dominan mengisi ruang politik di seantero dunia Arab.

Hijrah berkarier ke Paris, Bengazi, Tehran, dan Kuwait tak menjadikan proyek intelektual Badawi berhenti pada ambisi filsafat eksistensialnya. Ia juga sastrawan, sejarawan filsafat klasik dan sastra Barat terkemuka, sekaligus editor banyak khazanah filsafat klasik. Ini adalah periode putaran filologisnya, yang ia sebut sendiri sebagai al-ittijah al-filulujiyyah. Di sinilah ia justru lebih banyak dikenal, hingga hari ini.

Sumbangan besarnya dalam menyunting karya etika Aristoteles dan para filsuf muslim memiliki aspek politis, lebih dari sekedar filologi murni yang dikembangkan orientalis. Ia terinspirasi dan bangga dengan warisan intelektual dan sastra Islam-Arab, dan dengan proyek sejarah dan penyuntingannya justru memperkuat basis eksistensialisme-nya. Ini bertujuan supaya sintesis efektif antara eksistensialisme Eropa dan Sufisme filosofis bisa terjadi dan memberi semangat kebudayaan bangsa Arab.

Kedalaman filosofis dan keketatan filologis Badawi walhasil tak hanya diakui di dunia orientalisme Barat, tapi juga masuk ke dalam perbendaharaan filosofis di dunia Arab modern. Pelajar muslim negeri lain yang menguasai bahasa Arab klasik turut menikmati ragam pemikiran dan karyanya yang dituangkan dalam 150 judul buku.

==========

Redaksi Tirto kembali menampilkan rubrik khusus Ramadan "Al-Ilmu Nuurun". Tema tahun ini adalah para cendekiawan muslim global abad ke-20 dan ke-21. Kami memilih 33 tokoh untuk diulas pemikiran dan kontribusi mereka terhadap peradaban Islam kontemporer. Rubrik ini diampu kontributor Zacky Khairul Umam selama satu bulan penuh.

Zacky Khairul Umam adalah alumnus Program Studi Arab FIB UI dan kandidat doktor sejarah Islam di Freie Universität Berlin. Saat ini sedang menyelesaikan disertasi tentang pemikiran Islam di Madinah abad ke-17. Ia pernah bekerja sebagai peneliti tamu pada École française d'Extrême-Orient (EFEO) Jakarta 2019-2020.

Baca juga artikel terkait AL-ILMU NUURUN atau tulisan lainnya dari Zacky Khairul Umam

tirto.id - Humaniora
Penulis: Zacky Khairul Umam
Editor: Ivan Aulia Ahsan