Menuju konten utama

Abaikan BPOM, Terawan Pakai Politikus demi Jualan Vaksin Nusantara

BPOM memperingatkan Vaksin Nusantara bisa membahayakan kesehatan nyawa manusia, tapi eks Menteri Kesehatan Terawan mengabaikannya.

Abaikan BPOM, Terawan Pakai Politikus demi Jualan Vaksin Nusantara
Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto (kanan) berbincang dengan anggota Komisi IX DPR sebelum mengikuti Rapat Dengar Pandapat di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Kamis (27/8/2020). ANTARA FOTO/Puspa Perwitasari/nz

tirto.id - Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) belum mengeluarkan Persetujuan Pelaksanaan Uji Klinik (PPUK) fase II Vaksin Nusantara. Namun, eks Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto, yang memimpin tim pembuatan vaksin tersebut, tetap melanjutkan pengembangan dan mendapatkan dukungan dari legislator dan beberapa politikus lain.

Rabu kemarin (14/4/2021), Wakil Ketua Komisi Kesehatan Emanuel Melkiades Laka Lena bahkan mengatakan kepada reporter Tirto bahwa dia "sedang menjalani proses vaksinasi" di RSPAD Gatot Soebroto, rumah sakit militer yang pernah dipimpin Terawan.

Melki bahkan sesumbar Vaksin Nusantara aman bagi manusia. "[Saya] belum pernah divaksin dan kena COVID-19 empat bulan lalu," ujar politikus dari Partai Golkar tersebut.

Melki mengklaim ada anggota dewan dari Komisi Kesehatan yang lain bakal menggunakan Vaksin Nusantara, meski tak merinci berapa orang dan siapa saja yang akan mengikutinya.

Selain anggota DPR, ada sejumlah politikus yang bersedia memakai Vaksin Nusantara, di antaranya Ketua Dewan Pembina Partai Golkar Aburizal Bakrie. "Ini Vaksin Nusantara. Saya pertama kali, Insyaallah berhasil," katanya dalam sebuah video.

Mantan Panglima TNI Gatot Nurmantyo juga memakai Vaksin Nusantara. Dia datang ke RSPAD Gatot Soebroto untuk diambil darahnya. Pekan depan ia akan disuntik menggunakan vaksin dari darah yang sudah diambil dan dicampur dengan antigen.

Terkait belum ada izin BPOM, Gatot mengaku tidak tahu, "Tetapi saya ditawari menjadi uji klinik, saya siap."

Reporter Tirto menghubungi Terawan melalui sambungan telepon dan aplikasi pesan singkat, tapi tak direspons. Begitu pula peneliti Vaksin Nusantara Yetty Movieta Nency. Sementara peneliti lain, Muchlis Achsan, mengaku tak tahu soal uji klinis vaksin ini di RSPAD Gatot Soebroto.

"Maaf saya tidak bisa menjawab karena saya tidak terlibat untuk di RSPAD Gatot Soebroto," kata Muchlis, tim peneliti Vaksin Nusantara di RSUP Dr. Kariadi Semarang. Saat rapat bersama DPR, Kemenkes, dan BPOM, Muchlis adalah perwakilan dari tim peneliti yang memaparkan proses pembuatan Vaksin Nusantara.

Mengangkangi Sains

Vaksin Nusantara pertama kali dikembangkan oleh perusahaan farmasi asal Amerika Serikat bernama AIVITA Biomedical. Vaksin ini berbeda dengan vaksin lain yang tinggal suntik. Penerima Vaksin Nusantara harus diambil dulu darahnya untuk kemudian dicampur dengan antigen virus. Ketika antibodi sudah terbentuk selama dua pekan, barulah disuntikkan kembali ke tubuh.

Awalnya metode ini digunakan untuk penyakit kanker, tapi AIVITA mencobanya untuk vaksinasi COVID-19.

Perusahaan asal Indonesia memiliki lisensi untuk mengembangkannya. Sebanyak 28 relawan menjalani uji klinis tahap I pada 23 Desember 2020 sampai 6 Januari 2021 di RSUP Kariadi Semarang. Dalam rapat dengan DPR, tim peneliti mengklaim uji klinis menunjukkan Vaksin Nusantara aman dan manjur meningkatkan antibodi, karena itu meminta BPOM mengeluarkan persetujuan pelaksanaan uji klinik tahap II.

Namun, BPOM bersikukuh dengan keputusannya dan enggan menerbitkan persetujuan karena sejumlah alasan.

Dari segi metode, Komnas Penilai Obat BPOM menilai metode dendritik yang diterapkan pada Vaksin Nusantara belum dapat dijelaskan sebab reseptor yang berbeda antara pengobatan kanker dan pencegahan infeksi virus. Kemudian, dalam inspeksi saat uji klinik tahap I, BPOM mendapati vaksin tidak dibuat dengan steril. Seharusnya vaksin dibuat dengan close system--mulai dari awal hingga akhir darah tidak keluar dari tabung. Tapi, nyatanya, vaksin dibuat secara manual dan open system.

Selain itu, antigen yang digunakan untuk pembuatan vaksin tidak dijamin sterilitasnya sebab antigen itu hanya untuk riset di laboratorium, bukan untuk manusia. Hal ini diakui sendiri oleh Lake Pharma-USA selaku produsen.

Hasil akhir vaksin tak diuji sterilitasnya, menurut BPOM. Beberapa alat ukur tidak terkaliberasi dan metode pengujian tidak tervalidasi dengan baik sehingga akurasi hasil pengujian tidak dapat diterima.

BPOM mendapati ada data-data keamanan yang dihilangkan tanpa alasan yang jelas.

Terdapat pula inkonsistensi pencatatan data pada dokumen sumber, worksheet, dan case report form terhadap kejadian tidak diinginkan yang dialami subjek penelitian. Terdapat pula subjek penelitian yang sudah memiliki antibodi sehingga hasil penelitian menjadi tidak valid.

"Sebelumnya tim BPOM telah melakukan beberapa kali inspeksi dan desk konsultasi dengan peneliti, tetapi hasil inspeksi tidak ditindaklanjuti dengan menyelesaikan CAPA (corrective and preventive action)," kata Kepala BPOM Penny Lukito, Selasa (13/4/2021).

Dari hasil uji klinik tahap I, BPOM mengungkapkan 20 dari 28 subjek atau 71 persen penelitian mengalami kejadian tak diinginkan, seluruhnya dari kelompok yang mendapat adjuvant 500mcg. Kejadian yang dialami berupa nyeri lokal, nyeri otot, nyeri sendi, nyeri kepala, penebalan, kemerahan, gatal, ptechiae, lemas, mual, demam, batuk, pilek dan gatal.

Selain itu, enam subjek mengalami kejadian tak diinginkan grade tiga; tiga subjek mengalami peningkatan kolesterol; dua subjek mengalami peningkatan blood urea nitrogen (BUN); dan satu subjek mengalami hipernatremi.

Semestinya uji klinik langsung dihentikan begitu ditemukan kejadian tak diinginkan grade 3, demikian BPOM. Tetapi, tim peneliti Vaksin Nusantara tetap melanjutkannya.

Dari hasil uji klinik, BPOM mengungkap aspek imunogenitas Vaksin Nusantara. Hasilnya, delapan subjek (28,57 persen) justru mengalami penurunan titer antibodi setelah empat minggu penyuntikan dibandingkan sebelum penyuntikan. Hanya tiga subjek (10,71 persen) yang mengalami peningkatan titer antibodi lebih dari empat kali lipat setelah empat minggu penyuntikan. Namun, tiga subjek yang mengalami kenaikan berasal dari kelompok yang mendapat adjuvant 500mcg yang notabene kelompok yang mengalami kejadian tak diinginkan.

"Data interim fase 1 yang diserahkan belum cukup memberikan landasan untuk uji klinik dilanjutkan ke fase 2, karena ada beberapa perhatian terhadap keamanan dari vaksin, kemampuan vaksin dalam membentuk antibodi, dan pembuktian mutu dari produk vaksin dendritik yang belum memadai," simpul Kepala BPOM Penny Lukito.

Epidemiolog dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Pandu Riono mengatakan persetujuan uji klinik diberikan setelah memenuhi sejumlah aspek, terutama terkait keamanan. Artinya, jika uji klinik dilanjutkan tanpa persetujuan BPOM, keselamatan relawan menjadi taruhannya dan penyelenggara penelitian bisa dipidana jika ada kejadian tak diinginkan.

Pandu mengecam para politikus yang telah kelewatan membela Vaksin Nusantara. Para legislator di DPR semestinya menjaga semua instrumen negara bekerja sesuai fungsinya. Jika BPOM bekerja sesuai tugasnya--menjaga masyarakat dari obat dan vaksin yang tidak aman, tidak bermutu, dan tidak berkhasiat--semestinya diapresiasi, bukan dipaksa menerbitkan persetujuan, ujar Pandu.

Pandu menyebut apa yang dilakukan Terawan yang jalan terus dengan Vaksin Nusantara sama persis dengan kontroversi terapi cuci otaknya yang sama-sama mengangkangi sains. Terawan memilih menggandeng politikus guna mendukung tindak tanduknya.

"Makanya saya enggak tahu apa yang dijanjikan Terawan kepada anggota DPR yang bisa dibeli itu?" kata Pandu.

Baca juga artikel terkait VAKSIN NUSANTARA atau tulisan lainnya dari Irwan Syambudi & Mohammad Bernie

tirto.id - Kesehatan
Reporter: Irwan Syambudi & Mohammad Bernie
Penulis: Irwan Syambudi & Mohammad Bernie
Editor: Rio Apinino