Menuju konten utama

Biografi Chrisye, Keturunan Cina dan Kisah Buruknya Jadi Minoritas

Google Doodle merayakan hari ulang tahun Chrisye hari ini, Senin 16 September 2019, seperti apa biografinya?

Biografi Chrisye, Keturunan Cina dan Kisah Buruknya Jadi Minoritas
Ilustrasi Chrisye. tirto.id/Gery

tirto.id - "Cina! Cina!..."

"Mereka berseru-seru. Saya menahan timpukan batu bertubi-tubi. Hanya sekali saya diperlakukan seperti itu. Tapi, ketakutan saya menetap dan bertahan, bahkan hingga saya melewati usia setengah abad."

Begitulah kisah yang dialami penyanyi legendaris Chrisye seperti dinukil dari buku berjudul Chrisye, Sebuah Memoar Musikal (2007) terbitan Gramedia, yang ditulis Alberthiene Endah.

Menjadi seorang keturunan Cina tidak sepenuhnya bisa lepas dari kehidupan Chrisye, terutama ketika mengenang kembali pengalamannya di sekolah dasar.

Suatu siang, ketika pulang sekolah, ia mendengar celetukan yang cukup menohok di sebuah jalan. "Cina Lo!" teriakan itu datang tanpa diketahui dari mana asalnya.

Tak lama berselang, sebuah batu kecil mulai menghantam kepalanya. Ia kebingungan sembari menoleh ke kiri dan kanan. Kemudian, segerombolan anak datang dan berteriak ke arahnya. "Cina! Cina! Cina!". Teriakan itu terdengar keras. Ia mulai kelabakan saat beberapa anak kembali melemparkan batu kepadanya.

Ia berlari menyelamatkan diri sambil memegang kepala yang berdarah. Sesampai di rumah, cepat-cepat ia bersihkan bekas luka dan memilih tidak menceritakan pengalaman buruk itu kepada ibunya.

"Itu peristiwa yang menancap cukup dalam di benak saya," kata Chrisye ketika menceritakan kembali pengalamannya.

Peristiwa rasial dan persekusi itu benar-benar menancap di kepalanya. Bahkan, Chrisye tak lagi nyaman melihat diri sendiri di depan cermin, karena merasa terancam saat melihat kulit putih dan mata sipitnya di cermin.

Kekerasan yang dialaminya itu, kenang Chrisye, begitu menancap di alam bawah sadarnya, bahkan semakin kuat ia menepis rasa ketakutan itu, semakin kuat pula ingatan itu muncul pada saat-saat tertentu.

Tidak heran bila Chrisye menolak menjadi ketua kelas dan organisasi saat di sekolah karena tak mau menjadi terkenal. "Saya takut menjadi sorotan dan orang menyadari bahwa saya orang Cina," kenangnya.

Untung saja, masalah ini tidak berlarut-larut. Hal itu disebabkan berkat pergaulan dan orang tua membuat dia tenang kembali. Meskipun membutuhkan waktu yang lama untuk menenangkan perasaan.

Justru, Chrisye merindukan rumahnya karena sudah tidak diwarnai dengan hiasan khas Cina seperti teman-teman Tionghoa lainnya. Hal itu kemudian membuatnya senang bila berkumpul di acara keluarga.

Apalagi saat sang paman dari ibunya menyambangi rumahnya, ia senang karena sang paman sering memberi salam dengan membungkuk badan, seperti khas Tionghoa.

"Apalagi bila paman bicara dengan logat Tionghoa yang kental dan sedikit cadel. Saya merasa punya cipratan budaya yang menarik," ungkap dia.

Namun, masalah "kecinaan" ini tetap berkembang menjadi sebuah problem, terutama ketika sudah menjadi penyanyi terkenal. Sampai ia berusia setengah abad pun, Chrisye masih dihantui dengan sebuah pertanyaan. "Haruskah saya mengaku Cina?"

Seandainya saat itu ada seseorang yang berhasil menenangkan ketakutannya, mungkin saja ia tidak pernah trauma mengaku diri seorang keturunan Cina. "Saya merasa rugi memiliki ketakutan semacam itu."

Chrisye dilahirkan dengan nama Christian Rahadi pada 16 September 1949 di Jalan Teuku Cik Ditiro, Jakarta. Darah Tionghoa ia peroleh dari sang ayah bernama Laurens Rahadi berdarah Betawi-Cina yang lahir pada tanggal 14 Juli 1918 di Jakarta. Sementara ibunya keturunan Sunda-Cina yang lahir di Bogor pada 26 Agustus tahun 1923.

Ada pepatah yang mengatakan, "semua karya seni hebat berasal dari rasa sakit". Pelukis Van Gogh membuat karya hebatnya, "The Starry Night" saat mengalami siksaan emosional yang dasyat. Dua pentolan The Beatles, John Lennon dan Paul McCartney bertemu saat mereka sama-sama kehilangan ibunya.

Sementara penyanyi besar Nat King Cole dan Billie Holiday terus menerus dihajar rasisme dengan menyebut mereka "negro" sepanjang karier bermusiknya.

Mungkin saja pengalaman buruk Chrisye sewaktu kecil inilah membuatnya menjadi penyanyi hebat. Orang-orang seperti ini pintar mengubah kesedihan mereka menjadi sesuatu yang dihargai dunia.

Infografik Mozaik Chrisye

Infografik Mozaik Chrisye

Kilas Balik Perjalanan Musik Chrisye

Karier musik Chrisye mulai menemui titik terang setelah menyanyikan lagu "Lilin-Lilin Kecil" karya James F. Sundah, yang diciptakan untuk ajang Lomba Cipta Lagu Remaja (LCLR) 1977 oleh Radio Prambors.

Album LCLR 1977 yang memuat lagu "Lilin-lilin Kecil" di dalamnya, menjadi album paling laris tahun itu. Kesuksesan ini membuat Chrisye makin yakin bahwa ia berbakat menjadi penyanyi. Kelak, majalah Rolling Stone Indonesia, memasukkan lagu ini di peringkat 13 dalam daftar 150 Lagu Indonesia Terbaik.

Label rekaman Pramaqua Records kemudian menawarkan Chrisye untuk membuat album bernama Jurang Pemisah. Dengan musisi pengiringnya Yockie Suryoprayogo (keyboard), Ian Antono (gitar), dan Teddy Sujaya (drum).

Selain bernyanyi, Chrisye bermain bass dalam album ini. Meski mendapat pujian secara kualitas, tapi album itu dianggal gagal dari sisi penjualan.

Namun, tak berhenti sampai di sana, Eros Djarot kemudian mengajak Yockie dan Chrisye untuk menggarap soundtrack film Badai Pasti Berlalu. Pengisi album ini adalah Chrisye, Berlian Hutauruk (vokal), Fariz R.M (drum), Yockie (kibor), Keenan (drum), dan Debby Nasution (kibor).

Album ini meledak di pasaran ketika dirilis pada 1977. Chrisye juga pertama kali menciptakan lagu "Merepih Alam" dalam album ini

"Kritikus musik menyebutkan album itu sebagai dobrakan besar di kancah musik Indonesia. Sebuah terobosan yang mengisyaratkan pembaruan dalam warna musik pop. Bahkan ada yang menyebut album ini sebagai karya monumental yang sangat penting dalam industri musik Indonesia," tutur Chrisye.

Tiga dekade kemudian, majalah Rolling Stone Indonesia membuat senarai 150 Album Indonesia Terbaik. Peringkat satunya adalah Badai Pasti Berlalu. Hebatnya, di peringkat dua adalah album Guruh Gipsy, album yang turut digarap oleh Chrisye.

Namun, pada tahun 2005, kabar buruk datang saat dokter mengumumkan Chrisye mengidap kanker paru stadium 4.

Penyanyi legendaris itu menghembuskan nafas terakhirnya tepat di usia 57 tahun pada 30 Maret 2007. Sepanjang kariernya, ia berkontribusi di 9 album proyek, 4 album soundtrack (termasuk Ali Topan Anak Jalanan), dan menghasilkan 20 album solo.

Melihat semua perjalanannya, tak heran bila hari ini Google Doodle ikut merayakan ulang tahun Chrisye. Hari ini, lagu-lagunya kembali menggema di hati penggemarnya.

Baca juga artikel terkait MUSISI INDONESIA atau tulisan lainnya dari Alexander Haryanto

tirto.id - Musik
Penulis: Alexander Haryanto
Editor: Agung DH