Menuju konten utama

70 Persen Perusahaan Sawit Belum Kantongi ISPO

Sekitar 70 persen perusahaan sawit di Indonesia belum kantongi ISPO. Padahal pada 2020 bakal menjadi syarat mutlak negara-negara Eropa.

70 Persen Perusahaan Sawit Belum Kantongi ISPO
Pekerja memperlihatkan biji buah sawit di salah satu perkebunan sawit di Topoyo, Kabupaten Mamuju Tengah, Sulawesi barat, Sabtu (25/3). Menurut pedagang pengepul di daerah tersebut, harga sawit mengalami penurunan dari harga Rp1.400 menjadi Rp1.000 per kilogram akibat kualitas buah tidak terlalu bagus. ANTARA FOTO/Akbar Tado.

tirto.id - Sekitar 70 persen dari lebih 1000an perusahaan sawit belum mengantongi Indonesia Sustainable Palm Oil System (ISPO).

"Saat ini yang sudah memiliki sertifikat ISPO baru 226 perusahaan, sementara 527 perusahaan sedang mengajukan dan baru 376 perusahaan diproses,” kata Kepala Auditor ISPO Heri Moerdiono di Palembang, Selasa (25/4/2017).

Berbicara usai menjadi pembicara pada workshop "Peningkatan Kemampuan Perkebunan Kelapa Sawit dengan Praktek Bisnis Berkelanjutan" Heri berharap, ke depan permohonan diperkirakan bertambah seiring dengan kesadaran dari perusahaan.

Kata Heri, ISPO dibutuhkan untuk meningkatkan daya saing produk Indonesia di pasar internasional. Selain itu, negara-negara pembeli yang ingin memastikan produk kelapa sawit diciptakan dengan ramah lingkungan.

Hal ini dilatarbelakangi posisi Indonesia sebagai negara produksi CPO terbesar di dunia dengan produksi 33,5 juta ton pada 2016. Indonesia berkeinginan menjaga keberlangsungan sektor perkebunan dan industri ini yang diperkirakan bakal pesat di masa datang seiring dengan peningkatan kebutuhan minyak nabati dunia.

Ia menjelaskan melalui sertifikat ISPO ini, Indonesia menunjukkan komitmen tegas atas penurunan gas rumah kaca, dan kepedulian terhadap pelestarian lingkungan karena menerapkan cek list terkait legalitas lahan, penggunaan tenaga kerja yang sesuai, pemanfaatan lingkungan berkelanjutan, dan lainnya.

Berbeda dengan sertifikat RSPO (didirikan lembaga bentukan buyer), sertifikat ISPO ini sifatnya mandatory dari pemerintah Indonesia sehingga perusahaan yang tidak memilikinya dapat dikenakan sanksi berupa pencabutan izin dan lainnya dengan cara merekomendasikan ke pemerintah daerah setempat.

"Target ke depan, seluruh perusahaan sawit di Indonesia setidaknya bersertifikat ISPO karena pada 2020 bakal menjadi syarat mutlak negara-negara Eropa," kata dia.

Meski ekspor ke negara Eropa hanya 4-5 persen, dan sisanya lebih banyak ke India, Cina, dan Timur Tengah, menurut Heri tuntutan ini tidak bisa dipandang sebelah mata karena hingga kini produk CPO tidak lepas dari isu lingkungan.

Kampanye antisawit mengemuka di Eropa sejak 2014 lalu dengan slogan no oil palm, zero percent oil palm. Sejumlah negara-negara Eropa mulai beralih ke produk-produk yang berlabel palm oil free alias produk bebas dari kandungan minyak sawit.

Ada yang mengaitkan kampanye hitam itu dengan persaingan bisnis. Sawit telah jadi pesaing kuat produk minyak nabati yang dihasilkan Eropa seperti sunflower, soybean, dan rafeseed oil. Minyak sawit menguasai 65 persen perdagangan minyak nabati dunia yang kerap dipakai untuk bahan baku produk kebutuhan sehari-hari seperti sabun, sereal, kosmetika, minyak goreng, bahan bakar (biodiesel) dan banyak lainnya.

Terlepas dari itu, kampanye hitam terhadap sawit Indonesia membuat Pemerintah Indonesia cemas. Menteri perdagangan (Mendag) dari waktu ke waktu sudah sering mondar-mandir ke Eropa untuk kampanye positif soal sawit Indonesia.

Termasuk yang dilakukan Mendag Thomas Lembong pada awal Februari 2016 lalu. Ia secara khusus berkunjung ke Prancis dengan agenda utamanya melobi pemerintah dan parlemen Prancis untuk membatalkan rancangan amandemen aturan pajak impor tentang sawit.

Baca juga artikel terkait PERKEBUNAN

tirto.id - Ekonomi
Sumber: antara
Penulis: Agung DH
Editor: Agung DH