Menuju konten utama

6.500 Buruh Migran di Qatar Meninggal demi Piala Dunia 2022

Sebanyak 5.927 migran asal India, Bangladesh, Nepal dan Sri Lanka meninggal dunia di Qatar 2011-20. Belum mencakup 824 dari Pakistan.

Para pekerja berjalan kembali ke tempat kerja Stadion Al-Wakra yang sedang dibangun untuk Piala Dunia 2022, di Doha, Qatar. AP Photo / Maya Alleruzzo

tirto.id - Nirmala tak paham bagaimana bisa suaminya yang sehat bugar, Rupchandra Rumba (24), dikabarkan meninggal dunia begitu saja. Pada Oktober 2019, Guardian mengabarkan Rumba mengadu nasib ke Qatar demi penghidupan lebih baik buat anak-istri di Kathmandu, Nepal. Selama beberapa bulan, ia bekerja untuk konstruksi stadion Education City. Suatu malam, teman-temannya mendapatinya kesulitan bernapas. Rumba dinyatakan meninggal karena sebab alamiah, tepat pada musim panas 2019.

Nirmala tak sendirian. Masih ada ratapan dan isak tangis keluarga pekerja migran lain di balik gegap gempita persiapan Qatar menyambut Piala Dunia 2022.

Selama satu dasawarsa terakhir, negara Teluk kaya raya tersebut menggencarkan proyek pembangunan besar-besaran demi menciptakan pengalaman berkesan untuk tim sepak bola, suporter, dan tentu saja korporat. Tak hanya mendirikan stadion, mereka juga membangun fasilitas penunjang seperti jalan raya, jaringan kereta, pelabuhan, bandara, sampai rumah sakit, yang kabarnya meraup biaya sampai USD 200 miliar.

Miris, sepanjang durasi pembangunan mega proyek, terungkap sedikitnya 6.500 pekerja migran sudah berguguran. Demikian temuan terbaru dari media Inggris Guardian (23/02/2021). Berdasarkan dokumen dari otoritas Qatar dan pihak-pihak kedutaan, mereka berhasil mengumpulkan data kematian 5.927 migran asal India, Bangladesh, Nepal dan Sri Lanka selama 2011-20, ditambah 824 korban jiwa dari Pakistan antara 2010-20.

Menanggapi berita tersebut, otoritas Qatar menerangkan, “Tingkat kematian dalam komunitas-komunitas ini berada di kisaran yang diprediksi untuk ukuran dan demografi populasinya. Akan tetapi, setiap nyawa yang melayang adalah tragedi, dan tidak ada upaya yang dikecualikan untuk mencegah setiap kematian di negara kami.”

Buramnya Statistik

Perlu dicatat, data dari Guardian merepresentasikan seluruh pekerja dari kawasan Asia Selatan di berbagai sektor industri di Qatar. Angka kematian belum dilengkapi dengan informasi tentang profesi atau lokasi kerja. Sejak 2019, Human Rights Watch sudah meminta otoritas Qatar agar merilis data yang lebih lengkap tentang kematian pekerja migran selama enam tahun terakhir—dengan kategori usia, jenis kelamin, jenis pekerjaan dan penyebab kematian menurut otopsi.

Namun demikian, sampai hari ini belum tersedia data yang spesifik. Oleh karena itu, sulit untuk memverifikasi berapa banyak pekerja yang kematiannya berhubungan—baik secara langsung maupun tidak langsung—dengan proyek-proyek infrastruktur penunjang Piala Dunia. Sementara itu, Guardian dapat memastikan bahwa 37 kematian berkaitan langsung dengan pembangunan stadion sepak bola.

Dalam laporan sudah memperkirakan bahwa angka kematian migran di Qatar bisa mencapai 4.000 jiwa sampai 2022, apabila kondisi kerja mereka tidak segera diperbaiki. Berdasarkan data kematian dari pemerintah India dan Nepal, mereka mendapati total 1.200 pekerja sudah meninggal di sana sejak tahun 2010, ketika negara tersebut didapuk sebagai tuan rumah Piala Dunia 2022.

Pada 2015, Washington Post merilis artikel yang membuat kesan seakan-akan 1.200 pekerja migran sudah meninggal di Qatar sehubungan dengan persiapan menjelang Piala Dunia 2022. Pernyataan itu membuat murka otoritas Qatar. Mereka tegaskan saat itu, tidak ada korban meninggal di lokasi konstruksi Piala Dunia. Besaran angka kematian dinilai tidak mengejutkan karena populasi migran memang tinggi.

Masih pada 2015, Mustafa Qadri dari Amnesty International menyampaikan kepada Foreign Policy bahwa kematian pekerja migran tidak bisa dibatasi pada kasus di lokasi konstruksi stadion saja. Pasalnya, aktivitas pembangunan yang membludak di Qatar dalam beberapa tahun terakhir jelas-jelas didorong oleh berbagai kepentingan untuk menyokong perhelatan Piala Dunia. Proyek-proyek penunjangnya banyak, seperti pembangunan jalan, taman dan hotel. Qadri menambahkan, “Tak diragukan lagi, terlalu banyak pekerja migran yang meninggal di Qatar, apa pun penyebabnya.”

Terkait temuan terbaru Guardian, komentar senada diungkapkan oleh Nick McGeehan, direktur FairSquare Projects—organisasi pembela hak pekerja di negara-negara Teluk. Sangat mungkin, banyak korban jiwa ikut terlibat proyek infrastruktur bagian dari persiapan Piala Dunia, ujarnya. Sejumlah besar pekerja migran yang meninggal sejak 2011 “hanya berada di sana karena Qatar memenangkan tiket sebagai tuan rumah Piala Dunia”, ujar McGeehan.

Meninggal Alamiah?

Kebanyakan korban jiwa tercatat meninggal karena sebab alamiah. Biasanya mengarah pada dugaan cardiac arrest atau gagal jantung, istilah umum yang belum dapat menjelaskan alasan spesifik kematian. Di satu sisi, kebanyakan angkatan kerja yang direkrut untuk bekerja di sektor konstruksi Qatar sudah lolos uji kesehatan dan usianya relatif muda.

Dalam laporan terpisah pada 2019, Guardian menyorot korelasi antara kematian ratusan pekerja migran setiap tahunnya dengan kondisi panas ekstrem di Qatar. Terutama pada musim panas, suhu udara bisa memuncak sampai 45 derajat Celsius selama 10 jam lamanya. Otoritas Qatar sudah meregulasi, pada jam-jam tertentu pekerja dilarang bekerja di bawah terik matahari langsung. Namun, Guardian menemukan, di luar jam-jam terlarang pun pekerja masih terpapar panas tinggi yang berisiko.

Studi di Cardiology Journal (2019) mengungkap bahwa kematian ratusan pekerja Nepal sepanjang tahun 2009-17 berkaitan dengan paparan panas matahari. Suhu tinggi diketahui menimbulkan tekanan hebat pada sistem kardiovaskular manusia, yang bisa mengarah pada serangan jantung fatal atau gangguan jantung lainnya.

Selain itu, Guardian sudah mengkritik bagaimana “sindrom mati mendadak” di kalangan pekerja migran ini tidak diusut serius, padahal jumlah kasusnya besar. Dari 1.025 pekerja asal Nepal yang meninggal di Qatar antara 2012-17, sebanyak 676 tercatat meninggal alami, sementara di kalangan pekerja India jumlahnya mencapai 1.345 dari 1.678 korban jiwa sepanjang 2012-18. Sayangnya, hukum di Qatar melarang tindakan otopsi kecuali terdapat dugaan unsur kriminal atau almarhum tercatat punya riwayat sakit. Akibatnya, banyak keluarga bingung dan curiga bagaimana anak, suami, atau saudara mereka yang tergolong masih muda dan selama ini sehat-sehat saja bisa meninggal dunia.

Pihak Qatar menjelaskan bahwa otopsi harus dilakukan seizin keluarga almarhum, yang kebanyakan meminta jenazah cepat-cepat dipulangkan agar bisa segera diupacarakan. Investigasi untuk memastikan sebab kematian pun akhirnya dianggap sulit dilakukan. Guardian mencoba mengonfirmasinya kepada keluarga-keluarga dari tiga almarhum asal Nepal. Tak satu pun mengaku diinformasikan demikian.

Eksploitasi Bertahun-tahun

Terbongkarnya angka kematian pekerja migran di Qatar ini jadi pengingat paling baru—dan paling menyakitkan—tentang kondisi pekerja migran di salah satu negara dengan Produk Domestik Bruto per kapita tertinggi di dunia ini.

Pada waktu yang sama, tidaklah berlebihan menyebut Qatar sebagai negara para migran. Dari sekitar 2,6 juta populasi jiwa di Qatar, jumlah warga negara Qatar diperkirakan hanya 300 ribuan. Kebanyakan penduduk di Qatar datang dari kawasan Asia Selatan. Menurut lembaga konsultan Priya Dsouza, 20 % dari total populasi Qatar adalah orang India, sementara persentase orang Nepal dan Bangladesh masing-masing 12,5 persen. Di balik kontribusinya terhadap kemajuan ekonomi di negara kaya minyak dan gas alam tersebut, mereka juga kelompok yang rentan dieksploitasi salah satunya di dunia konstruksi.

Guardian menjadi media paling gencar yang menginvestigasi kondisi kerja pekerja migran di Qatar. Sejak September 2013, mereka sudah melaporkan dugaan eksploitasi terhadap pekerja asal Nepal di proyek-proyek infrastruktur penunjang Piala Dunia: upah yang ditahan berbulan-bulan, penyitaan paspor, akomodasi tak layak, dan berbagai penindasan lain di tempat kerja.

Temuan diperkuat dengan laporan (PDF) Amnesty International yang mengkritisi sistem sponsor “kafala” karena berpotensi menjadi celah eksploitasi. Hukum ketenagakerjaan di Qatar mewajibkan setiap ekspatriat disponsori oleh pemberi kerja (perusahaan atau majikan). Sponsor punya kuasa untuk melarang pegawainya pindah kerja, menghalanginya keluar negeri, memutus kontrak secara sepihak lalu mendeportasi mereka. Hal itu disinyalir membuat sejumlah pekerja merasa tak berdaya melawan atau menuntut perlindungan.

Di sisi lain, pekerja migran harus mendapatkan “surat izin keluar” dari sponsor apabila ingin mudik atau meninggalkan Qatar. Amnesty menuturkan, pekerja asing yang gajinya tinggi bisa memperoleh surat izin dari sponsor untuk pemakaian berkali-kali. Hanya saja, keistimewaan itu tidak ditemui pada mayoritas pekerja migran yang umumnya dibekali surat jalan sekali pakai.

Pada 2016, Amnesty mengungkap temuannya lagi dalam artikel berjudul “Qatar World Cup of Shame”. Artikel itu salah satunya mengungkap betapa besar “modal” yang diperlukan seorang calon migran untuk bisa kerja ke Qatar. Sekiranya USD 500 sampai USD 4.300 sudah dikeluarkan oleh tiap-tiap calon pekerja kepada agen rekrutmen di negara asal. Banyak yang harus berhutang untuk membayarnya. Tekanan itu disinyalir membuat sejumlah pekerja ketakutan melepas pekerjaan yang sudah diperoleh di Qatar, mau separah apapun kondisinya.

Masih dikutip dari artikel di atas, Amnesty mengambil contoh proyek renovasi Stadion Khalifa di kompleks Aspire Zone, venue olahraga paling ikonik di Qatar. Menurut perhitungan Amnesty, dalam satu hari, sedikitnya 3.200 orang—mayoritas migran—terlibat dalam proyek tersebut. Dari wawancara dengan sejumlah pekerja di sana, diketahui gaji rata-rata per bulan sebesar USD 220 (nilainya waktu itu tak sampai Rp3 juta). Amnesty juga melaporkan, lebih dari 234 pekerja proyek Stadion Khalifa dan Aspire Zone pernah dieksploitasi.

Infografik Pekerja Migran di Qatar

Infografik Pekerja Migran di Qatar. tirto.id/Quita

Upaya Otoritas Qatar

Di bawah berbagai tekanan internasional, otoritas Qatar berusaha membenahi sistem tenaga kerjanya. Disampaikan di situs resmi pemerintah, sistem sponsor “kafala” mulai direformasi sejak 2015. Syarat-syarat dilonggarkan bagi pekerja untuk pindah kerja dan mengundurkan diri. Aturan juga diperketat agar perusahaan tidak bisa sewenang-wenang menyita paspor pekerja. Pada 2018, pemerintah mendirikan Dana Asuransi dan Dukungan Pekerja untuk menjamin hak-hak pekerja akan lingkungan kerja yang sehat dan aman, termasuk ketika mereka tak kunjung menerima upah dari perusahaan.

Akomodasi bagi pekerja terlihat lebih baik, seperti diamati jurnalis David Conn dari Guardian dalam laporan yang rilis akhir 2018. Di salah satu asrama yang menampung 4.500 pekerja di daerah al-Khor, Conn mendapati kamar tidur layak dengan kasur dipan, maksimal untuk 4 orang. Makanan bergizi disediakan, termasuk klinik kesehatan, fasilitas gym, layanan laundry gratis, sampai ruang komputer dengan akses internet gratis supaya para pekerja bisa berkomunikasi dengan anak-istri. Hanya saja, Conn masih menemukan keluhan pekerja tentang upah pas-pasan. Sampai saat itu, upah masih berkisar 750 riyal Qatar per bulan atau sekitar Rp3 juta.

Terlepas dari itu, masih ada temuan-temuan tak mengenakkan. Pada 2019, sineas-jurnalis Jerman bernama Benjamin Best merilis seri pertama dari trilogi film dokumenter Trapped in Qatar. Di dalamnya, Best mewawancarai dua laki-laki asal Nepal, yang bercerita sudah tak diupah selama empat bulan lebih. Asrama mereka kumuh, toiletnya bau pesing. Satu kamar tidur dihuni delapan orang, yang harus berbagi kasur tingkat. Sejumlah pekerja lain bergabung. Mereka juga menyatakan belum diupah berbulan-bulan dan paspornya ditahan. Para pekerja yang ditemui Best terlibat dalam proyek stadion Piala Dunia dan pembangunan jalur kereta.

Best juga meliput pemakaman salah seorang migran Nepal bernama Bishnu Bahadur, pemuda sehat yang menurut keluarganya sehat tanpa penyakit bawaan. Sanak-saudaranya mengungkapkan sebelum meninggal, Bahadur suka mengeluh tentang suhu udara yang panas saat bekerja sebagai teknisi listrik di sejumlah proyek konstruksi di Qatar.

Sepanjang 2020, muncul dua gebrakan baru dari otoritas Qatar. Masih dilansir dari situs resmi pemerintah, “surat izin keluar” resmi dibatalkan. Artinya, para pekerja asing, termasuk yang berprofesi sebagai asisten rumah tangga, boleh meninggalkan Qatar tanpa mendapat surat izin dari pemberi kerja. Namun, mereka wajib memberitahu atasannya paling tidak 72 jam sebelum pergi.

Selain itu, muncul pemberlakuan aturan upah minimal 1.000 riyal Qatar per bulan, atau hampir senilai Rp4 juta. Perusahaan juga harus menambahkan uang akomodasi 500 riyal dan jatah makan 300 riyal per bulan, seandainya fasilitas tersebut belum disediakan oleh pihak pemberi kerja. Masih tertulis di situs pemerintah Qatar, regulasi upah minimum demikian baru kali pertama kali dicetuskan di kawasan Timur Tengah, yang diharapkan dapat meningkatkan stabilitas pasar tenaga kerja dalam negeri.

Baca juga artikel terkait BURUH MIGRAN atau tulisan lainnya dari Sekar Kinasih

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Sekar Kinasih
Editor: Windu Jusuf
-->