Menuju konten utama

60 Pos Baru TNI, karena Semua Ingin Jadi Jenderal?

60 jabatan baru adalah taktik baru untuk menyerap surplus tentara. Di samping itu, dinilai bisa bikin untung Jokowi secara politik.

60 Pos Baru TNI, karena Semua Ingin Jadi Jenderal?
Presiden Joko Widodo (tengah) berbincang dengan Menkopolhukam Wiranto (ketiga kanan), Kapolri Jenderal Pol Tito Karnavian (ketiga kiri) dan Panglima TNI Marsekal TNI Hadi Tjahjanto (kedua kanan) usai Rapat Pimpinan Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan Polri Tahun 2019 di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Selasa (29/1/2019). ANTARA FOTO/Puspa Perwitasari/pd.

tirto.id - Pada masa Orde Baru, seorang tentara bisa jadi apa saja, termasuk menduduki jabatan-jabatan yang sebenarnya untuk sipil seperti kepala daerah. Jenderal bintang dua, misalnya, bisa jadi gubernur; dan menteri dijatah untuk mereka yang telah berpangkat bintang tiga.

Ini adalah bagian dari pembinaan personel. Artinya, meski telah menduduki jabatan sipil, mereka masih berpeluang terus naik pangkat.

Namun, itu tak terjadi di era reformasi. Jumlah personel tentara dalam birokrasi sipil disunat; berkurang signifikan. Akibatnya—seperti hukum ekonomi—penawaran yang lebih besar dari permintaan menciptakan surplus.

Ini beda dengan surplus di tubuh Polri, terutama yang berpangkat komisaris besar alias kombes (setara kolonel). Polri masih bisa menyalurkan SDM-nya ke jabatan fungsional lain/arena sipil seperti KPK, BPK, dan sejenisnya. Ini jelas tak bisa dilakukan TNI.

Surplus

Beberapa upaya restrukturisasi pun dilakukan untuk tetap mengakomodir kelebihan surplus ini. Salah satunya adalah menggemukkan staf khusus, yang tidak masuk ke formasi struktural dan tinggal tunggu waktu untuk di-non-job-kan.

Atau yang baru-baru saja ditetapkan Presiden Joko Widodo: menambah 60 jabatan baru untuk posisi perwira tinggi (pati). Jabatan ini akan diisi pati yang berpangkat bintang satu, dua, dan tiga.

Bagi pengamat militer Aris Santoso, apa yang diputuskan Joko Widodo bermula dari upaya sejumlah petinggi TNI untuk memperbanyak jenderal. "Ya, karena semuanya ingin jadi jenderal," kata Aris kepada reporter Tirto, Rabu (30/1/2019).

Perkara "ingin jadi jenderal" pernah Aris bahas pada salah satu opininya di Tirto. Katanya, semua ingin jadi jenderal karena pangkat bintang satu (brigjen) sudah diraih, "hidup akan terasa lebih indah—terlepas posisi apa yang sedang mereka pegang."

"Mereka [perwira berpangkat kolonel] baru akan berhenti bermimpi sebagai jenderal ketika mendapati dirinya tidak pernah mengikuti pendidikan setara sesko angkatan (Seskoad, misalnya) dan Sesko TNI." Sebaliknya, jika pernah ikut pendidikan Seskoad, mimpi jadi jenderal tetap hidup.

Pada sisi lain, kata Aris, Jokowi pun merestui ini karena alasan politis. Bahwa mengakomodir keinginan para elite TNI bisa membuat dia semakin dihormati di kalangan angkatan bersenjata. Dan itu baik.

"Bisa juga ditafsirkan Jokowi sedang melakukan upaya mencari simpati. Mudah-mudahan Jokowi bukan mencari simpati dengan jalan seperti ini," tambah Aris.

Aris mengingatkan meski TNI tak punya hak politik, tapi keluarga mereka sama seperti sipil biasa. "Mereka, kan, punya anak istri. Pasti mereka dorong keluarganya memilih Jokowi [pada hari pencoblosan Pemilu 2019]. Belum saudaranya," tambah Aris.

"Harus Netral"

Selain mengumumkan penambahan 60 jabatan baru, pada kesempatan yang sama Jokowi juga mengumumkan memperpanjang usia aktif bintara tamtama dari 53 tahun menjadi 58 tahun. Alasannya, kata Jokowi, usia 53 masih terlalu muda dan justru sedang produktif-produktifnya. Untuk menerapkan ini, Jokowi mengusulkan Pasal 53 dan Pasal 47 UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI direvisi.

Bagi Aris kebijakan ini punya tujuan tersembunyi yang sama dengan penambahan jabatan baru tadi.

Jokowi bisa jadi sadar kalau apa yang ia lakukan akan dianggap mencari simpati seperti yang disinggung Aris. Oleh karena itu pada saat mengumumkan kebijakan baru ini Selasa (29/1/2019) kemarin di Istana Negara, ia menekankan baik TNI maupun Polri harus tetap netral. Ini ia bicarakan dalam konteks pemilu.

"Politik TNI/Polri adalah politik negara, sehingga netralitas itu perlu sekali dijaga. Dan terpenting adalah lancarnya pemilu," kata Jokowi. Apabila TNI Polri solid maka keamanan dan ketertiban akan terjaga, tambah Jokowi.

Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto, yang hadir saat pengumuman mengatakan restrukturisasi ini baik dan tak akan mengganggu stabilitas organisasi. Hadi menjelaskan apa saja 60 jabatan baru itu. Misalnya, akan ada penambahan jabatan pati di semua matra.

21 Komandan Korem Tipe B, misalnya, akan naik jadi Tipe A, dan otomatis naik jadi bintang satu. Ada pula satuan baru bernama Kogabwilhan yang akan dipimpin tentara bintang tiga, wakil bintang dua, dan 6 asisten bintang satu.

Baca juga artikel terkait TNI atau tulisan lainnya dari Rio Apinino

tirto.id - Politik
Reporter: Andrian Pratama Taher
Penulis: Rio Apinino
Editor: Mufti Sholih