Menuju konten utama

54 Guru Besar Minta Ketua MK Mundur

Pendiri Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Bivitri Susanti berkata ada 54 guru besar menandatangani surat desakan agar Ketua MK Arief Hidayat mundur dari jabatannya.

54 Guru Besar Minta Ketua MK Mundur
Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Arief Hidayat dan Hakim MK Suhartoyo. ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A

tirto.id - Puluhan profesor dari sejumlah perguruan tinggi mendesak Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Arief Hidayat mundur dari jabatannya. Mereka juga berharap bisa bertemu langsung dengan Arief untuk membicarakan desakan tersebut.

Pendiri Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Bivitri Susanti berkata, ada 54 guru besar yang setuju menandatangani surat desakan agar Arief mundur dari jabatannya. Desakan dilayangkan setelah Arief dua kali mendapat sanksi etik selama menjabat sebagai Ketua MK, yakni pada 2016 dan awal 2018.

"Kalau memang beliau (Arief) ada waktu, para guru besar juga pasti akan sangat senang sekali (bertemu dengannya). Tapi kalaupun tidak tentu saja ini (surat tuntutan) akan sampai ke MK. Hari ini secara fax, fisiknya dikirimkan selasa mendatang," ujar Bivitri di Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera, Kuningan, Jumat (9/2/2018).

Menurut Bivitri, pengumpulan tandatangan dan dukungan dari 54 profesor telah dilakukan sejak dua pekan lalu. Aksi mendorong Arief mundur diklaim tak direncanakan berbarengan dengan keluarnya putusan MK ihwal uji materi pasal 79 ayat (3) Undang-Undang tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3).

Pada Kamis (8/2/2018) lalu, MK telah memutuskan bahwa KPK dapat menjadi objek dari pansus hak angket DPR. Lembaga hukum itu menolak gugatan uji materi UU MD3 yang mempermasalahkan kedudukan pansus angket KPK.

Arief tercatat menjadi satu dari lima hakim yang memilih opsi tak mengabulkan gugatan terhadap UU MD3. Dalam pengambilan keputusan di perkara itu, perbedaan pendapat (dissenting opinion) antar hakim konstitusi MK memang terjadi.

" Itu yang kami takutkan kalau keputusannya terus menerus dipertanyakan. Pilkada tahun ini, tahun depan pileg dan pilpres, sengketa hasil kan akan dibawa ke MK. Itu kan berkaitan erat dengan politisi, sangat politis, dan potensi ketidakpercayaannya lebih besar sekali," katanya.

Pada kesempatan yang sama, Guru Besar Antropologi Hukum UI Sulistyowati Irianto berkata bahwa para profesor memang tak memiliki wewenang untuk memecat Arief. Namun, gerakan moral untuk mendesak Arief mundur bisa terus dilakukan mereka.

"Barangkali dia tidak membuat pelanggaran hukum, tapi kami concern pada pelanggaran etika. Kalau ada sesuatu yang tidak beres dengan etika kami tak bisa berdiri di depan kelas," kata Sulistyowati.

Sulistyowati menilai MK sebagai suatu lembaga yang agung. Ia juga menilai tingginya kedudukan hakim MK membuat ada istilah "kedudukan hakim MK hanya satu level di bawah Tuhan, di dunia."

Tingginya posisi MK membuat para hakim konstitusi dituntut memiliki etika baik. Menurutnya, sanksi moral terhadap hakim konstitusi yang dianggap tak beretika akan jauh lebih berat dibanding sanksi fisik.

"Persoalannya bukan segera atau lama (Arief mundur), soalnya kalau ada etika yang dilanggar berarti tidak memberikan pembelajaran yang lebih baik bagi calon penerus mereka nanti. Itu kan para penerus musti punya panutan, punya tokoh yang wajib dicontoh," ujarnya.

Baca juga artikel terkait PELANGGARAN ETIK KETUA MK atau tulisan lainnya dari Lalu Rahadian

tirto.id - Hukum
Reporter: Lalu Rahadian
Penulis: Lalu Rahadian
Editor: Yantina Debora